Jakarta. Pemerintah akan memperbaiki dan mengatur kembali tata kelola ekspor, agar dana yang masuk dari hasil ekspor tersebut, dapat meningkatkan cadangan devisa negara yang saat ini tengah menurun nilainya.

“Ekspor kita kan memang sedang menurun, jadi nanti kita perbaikilah bagaimana supaya ekspor itu devisanya harus masuk [ke dalam negeri],” ucap Wapres dalam kesempatan doorstop dengan para jurnalis seusai shalat Jumat di Kantor Wakil Presiden, Merdeka Utara, Jumat 12 Februari 2016.

Menurut Wapres, penurunan cadangan devisa negara yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh banyaknya perusahaan yang membayar hutangnya, tak luput juga pemerintah membayar hutang yang jatuh tempo.

“Memang biasanya awal tahun, atau akhir tahun, itu sebenarnya banyak perusahaan yang mau bayar hutang. Atau juga Pemerintah ingin menyelesaikan transaksi dengan luar negeri,” jelas Wapres.

Dalam mengamankan cadangan devisa, Wapres juga menekankan pentingnya mengurangi dan memperketat impor barang dengan skala prioritas, agar kebutuhan akan US Dollar dapat terkendali dan pergerakan nilai rupiah pun terjaga dengan baik.

Menilik catatan Bank Indonesia, posisi cadangan devisa pada akhir Januari 2016 menurun 3,8 miliar dolar AS menjadi 102,1 miliar dolar AS dari nilai sebelumnya 105,9 miliar dolar AS pada akhir Desember 2015.

Posisi cadangan devisa per akhir Januari 2016 tersebut dinilai masih cukup membiayai 7,5 bulan impor atau 7,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Pada kesempatan lain, Presiden Asian Development Bank (ADB), Takehiko Nakao melihat cadangan devisa Indonesia semakin membaik dan kondisi nilai mata uang Rupiah juga cukup stabil.

Berdasarkan data yang dimiliki, ADB berpendapat Indonesia masih belum membutuhkan peningkatan nilai pinjaman dari posisi yang sudah ditentukan saat ini, sebesar USD 10 miliar dalam 5 tahun ke depan. (Taufik Abdullah)