Jakarta-wapresri.go.id. Kekuatan teknologi informasi memberikan dampak seiring perkembangan zaman. Banyak konflik yang berujung pada kesedihan dan kesulitan terjadi akibat dipicu media sosial. Untuk itu Kepolisian Republik Indonesia diharapkan dapat membangun kekuatan Information Technology (IT) dengan baik agar dapat merespon dengan cepat.

“Kita harus bangun kekuatan IT yang baik. Jangan terlambat, begitu terlambat dikalahkan media sosial,” pesan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) dan Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri Tahun 2016 yang mengambil tema “Kajian Strategi Penanganan Konflik Dalam Negeri (Vertikal, Pengelolaan SDA, Pertanahan, Kehutanan SARA, Komunal, Pemilu dan Separatis)”, di Istana Wakil Presiden, Merdeka Selatan, Jakarta, Senin, (29/8/2016).

Wapres menjelaskan, dulu setiap ada konflik pasti selalu ada pemimpinnya. Namun kini kondisi telah berubah, masyarakat telah menganggap media sosial sebagai ‘pemimpin’ pemberontakan maupun konflik.

“Dunia sekarang boleh berontak, dulu setiap konflik selalu ada pemimpin. Sekarang dunia revolusi tanpa pemimpin lagi, yang pimpin Facebook, SMS [Short Message Service], WA [WhatsApp], media sosial, itu yang terjadi,” papar Wapres.

Lebih jauh Wapres memberikan contoh peristiwa beredarnya isu pelecehan seksual seorang siswi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Kerusuhan dikendalikan oleh SMS, namun berita yang berkembang terlalu liar sehingga memicu amarah publik.

“Jadi, ini dikendalikan oleh SMS, artinya konflik semakin cepat. Kalau dulu, dari mulut ke mulut butuh waktu seminggu untuk sampai ke seribu orang, sekarang dua-tiga menit bisa sampai ke seribu orang,” ungkap Wapres.

Saat ini, Wapres menuturkan, Indonesia sudah memasuki era dimana konflik muncul dipicu dari informasi yang tersebar di media sosial. Begitu juga di luar negeri.

“Revolusi di negara Arab, itu tidak ada pemimpin, yang mengendalikan Facebook, WA berantai. Revolusi di Iran dulu masih dengan tape recorder, kerusuhan Tiananmen masih dengan fax, sekarang makin cepat,” ujar Wapres.

Oleh karena itu, lanjut Wapres, untuk mencegah berkembangnya konflik yang sangat mudah dikendalikan oleh media sosial, seluruh jajaran kepolisian harus menguasai IT.

“Artinya Anda semua harus menguasai IT, kalau tidak kita akan kalah cepat. Karena kalau ada pemimpin pasti ada eselon-eselonnya, wakil-wakilnya, sekarang sudah enggak ada. Langsung saja kumpul, ya kumpul, enggak tahu siapa yang suruh kumpul. Jadi isunya makin cepat terjadi, jadi jangan kalah kecepatan. Memang tidak mudah, tapi itu terjadi,” tegas Wapres.

Wapres menekankan, konflik harus segera diselesaikan karena jika dibiarkan akan menimbulkan kerugian.

“Semua itu awalnya konflik, baik internal atau eksternal yang terjadi dan kita tahu semua kemudian muncul permasalahannya, kemanusian, permasalahan pengungsi, ketakutan, kemudian biaya. Itu semua menyebabkan banyak negara yang bangkrut, akibat konflik,” ucap Wapres.

Dihadapan 150 peserta, Wapres menuturkan, selama 71 tahun Indonesia merdeka tercatat sekitar 15 kali konflik besar terjadi di tanah air, bahkan konflik-konflik tersebut memakan korban tewas lebih 1.000 orang. Konflik tersebut antara lain, RMS, konflik di Aceh GAM, Permesta, Papua, Timtim, DI/TII. Bahkan beberapa waktu yang lalu, konflik dalam skala daerah seperti di Tanjung Balai dan Papua juga membuat keresahan dan kerugian banyak pihak.

Namun, Wapres mengajak peserta yang hadir untuk bersyukur, karena Indonesia masih dalam kondisi yang stabil.

“Tentu kita harus bersyukur bahwa bangsa kita telah melewati konflik-konflik yang besar ini. Meskipun, masih sering terjadi konflik yang bersifat lokal, komunal dan menyebabkan masalah kemanusiaan dan daerah. Itu masalah kita,” kata Wapres.

Dijelaskan Wapres, konflik vertikal itu terjadi antara masyarakat melawan hukum atau negara yakni dari bawah ke atas. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara sesama masyarakat.

“Seperti kerusuhan di Ambon, Poso, di Kalimantan Dayak dengan Madura, di Tragedi Mei ’98, itu masyarakat dengan masyarakat. Tentu melawan hukum, tapi antara masyarakat dengan masyarakat. Inilah yang terjadi sebagai gambaran kita,” jelas Wapres.

Untuk itu, Wapres Jusuf Kalla mengajak dan mengingatkan staf dan pejabat yang mengikuti Sespimti dan Sespimmen Polri untuk mencegah konflik dengan menciptakan keadilan dan kedamaian. Wapres menambahkan, sebagai salah satu aparat penegak hukum, polisi memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga keharmonisan suasana.

“Tugas kepolisian harus atasi itu, seperti halnya dalam bidang kesehatan. Lebih baik mencegah daripada mengobati,” imbau Wapres.

Aparat kepolisian, lanjut Wapres, wajib memahami inti dari permasalahan yang menimbulkan konflik tersebut. Karena menurutnya, beda konflik, beda juga penyelesaiannya. Ada konflik seperti di Aceh bukan karena agama, namun akibat ketidakadilan di daerah tersebut. Adapula yang diduga konflik diawali oleh isu agama, namun ternyata akibat faktor ideologi.

Wapres pun mengingatkan agar dalam internal kepolisian juga memberikan contoh kepada masyarakat dengan tidak berkonflik antara aparat polisi sendiri.

“Harus bersama-sama aparat penegak hukum memberikan contoh menjaga kondisi di masyarakat dengan menjaga wibawa di masyarakat,” pungkas Wapres.

Di akhir sambutannya, Wapres mengingatkan kembali peran polisi harus memberikan contoh yang baik, karena kepolisian memiliki tanggung jawab untuk menjaga kondisi negara agar selalu tetap baik. (KIP, Setwapres)