Tanggerang Selatan-wapresri.go.id. Indonesia memiliki pengalaman yang panjang dalam menjalankan demokrasi. Karena sejak merdeka, bangsa ini sudah bersepakat untuk menjadi negara republik yang demokratis. Namun ternyata dalam perjalanannya penuh dengan tantangan.
Selama tujuh puluh tahun, Indonesia mengalami banyak perubahan-perubahan dan pengalaman. Pada saat Indonesia merdeka dengan sistem demokrasi, malah demokrasi parlementer, puluhan partai, dan telah melaksanakan pemilihan umum yang sangat demokratis pada tahun 1955. Namun presiden pertama, setelah lebih dari sepuluh tahun, cenderung untuk menjadi otoriter. Jadi, demokrasi berjalan dengan baik, hanya 10 tahun, diganti oleh presiden ke dua, yang juga demokratis, selama hampir 5 tahun. Setelah itu, 20 tahun lebih, berjalan dengan lebih otoriter dan juga berakhir dentan otoritarian, kata Wakil Preiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menjadi keynote speech dalam acara Bali Democracy Forum ke-10 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang Selatan, Banten, Kamis , 7/12/.

Barulah setelah krisis tahun 1997 sampai sekarang, kata Wapres, demokrasi terbuka dijalankan dengan baik di Indonesia dengan menggelar pemilu setiap 5 tahun sekali.
“Belajar dari itu, maka Indonesia menetapkan kenapa presiden untuk Indonesia hanya boleh 2 kali, maksimum 10 tahun. Karena cenderung, presiden yang berkuasa lebih lama, cenderung dia berubah dari demokrasi ke otoritarian. Itu satu pengalaman yang kita pelajari dari pengalaman bangsa ini. Jangan seperti pemerintah yang lama, mengubah kondisi yang seharusnya terjadi. Karena itulah maka, pengalaman ini penting untuk kita ajari semua. Dan saya yakin juga di negara-negara yang besar, negara yang demokratis yang lain, yang juga memiliki batasan-batasan seperti itu. Itulah pelajaran yang pertama yang ditempuh oleh Indonesia, yang dipelajari selama ini, paparnya.

Di bagian lain, Wapres mengungkapkan bahwa demokrasi harus disesuaikan dengan tradisi, gaya hidup di daerah masing-masing karena yang terpenting adalah prinsip pokok demokrasi yaitu rakyat yang menentukan, dan pembangunan dari rakyat untuk rakyat.
Karena bagi kami, demokrasi bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai tujuan, Banyak bangsa besar, yang seakan-akan membawa demokrasi itu sebagai agama, sebagai tujuan. menyerang negara lain untuk demokrasi, sehingga demokrasi dijadikan sebagai tujuan, sehingga kemudian kehidupan bangsa itu menjadi jauh lebih buruk dibanding sebelumnya. lihat Irak, Suriah, karena dipaksakan untuk demokrasi, diserang oleh Amerika, kemudian kehidupan negeri itu jauh lebih buruk dibanding sebelumnya. Begitu juga dengan Libya ? Saya kira tujuannya lebih jelek daripada yang dipikirkan untuk demokrasi. Jadi demokrasi juga bukan agama yang harus tentu memiliki ketentuan yang sama. Demokrasi adalah alat yang disesuaikan dengan kondisi yang berada, katanya seraya mengingatkan bahwa demokrasi harus menghasilkan kemakmuran bagi bangsa itu sendiri.
Karena itulah, Indonesia sebagai tuan rumah Bali Democracy Forum berharap dapat dihasilkan sesuatu yang baik dalam demokrasi itu. Sehingga kita dapat menjalankan demokrasi dengan nyaman dan konstruktif sebagai esensi dari demokrasi yang kita pahami.

Memang, lanjutnya, dalam menjalankan demokrasi tidaklah harus black and white. Pengalaman Indonesia dalam menuju demokrasi yang terbuka seperti sekarang ini tentu dengan harapan agar demokrasi dapat berjalan sesuai tujuannya yakni menciptakan persatuan dan harmoni.

Apabila demokrasi terlalu ditekankan kepada the winner take all, itu akan menghilangkan harmoni yang ada di negeri ĺitu. demokrasi harus menghilangkan diskriminasi. Tetapi apabila demokrasi dijalankan sesuai hukum the winner take all, maka akan menyebabkan disharmoni. Kita pernah mengalami yang hitam, sulit, pada awal demokrasi terbuka yang dijalankan 20 tahun lalu di Indonesia ini. Karena sebelumnya ada harmoni dalam mengatur pimpinan daerah, tiba the winner take all, menyebabkan banyak kehilangan harmoni di daerah tersebut. Ini juga menyebabkan banyak pelajaran daripada kita semua, paparnya.

Dalam berdemokrasi, menurut Wapres di dalamnya terdapat penghargaan terhadap kemajemukan dan toleransi dan generasi muda yang cinta damai adalah agen perdamaian.
Bila kita tidak menjalankan demokrasi seperti itu, pada akhirnya juga muncul radikalisme, yang hampir radikalisme semua dimulai daripada generasi muda yang diajarkan tentang radikalisme hanya mencapai tujuan tanpa suatu proses yang baik, pungkasnya.

Hadir mendampingi Wapres Menteri luar Negeri Retno L Marsudi, Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar, Tim Ahli Wapres Sofjan Wanandi (KIP-Setwapres).