Jakarta-wapresri.go.id. Berbicara mengenai tax, investment dan business, berarti berbicara tentang keseimbangan. Jika pajak terlalu tinggi akan merusak suasana investasi. Namun investasi juga membutuhkan dana atau pajak untuk memperbaiki infrastuktur, usaha, dan perbaikan lainnya. Begitu juga halnya dalam bisnis, jika pajak terlalu tinggi, maka bisnis akan lari ke tempat yang pajaknya rendah, jika pajaknya terlalu rendah, maka fasilitas tidak ada.

“Jadi pada dasarnya formula pajak ialah bagaimana membuat keseimbangan, keseimbangan antara penerimaan dan investasi, keseimbangan untuk menjaga keadilan antara orang kaya dan orang yang kurang, keseimbangan untuk menjaga daerah yang mampu dan daerah tidak mampu, keseimbangan untuk negara [agar] jangan [menghabiskan dana] terlalu besar, boros, dan keseimbangan juga untuk menjaga rakyatnya untuk yang mampu dan tidak mampu,” jelas Wapres ketika meresmikan Pembukaan International Conference on Tax, Investment and Business (ICTIB) 2016 dan 13th Asia Pacific Tax Forum (APTF), di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (23/5/2016).

Wapres mengungkapkan pentingnya pajak itu seperti riwayat Romawi kuno yang mengatakan, suatu negara untuk menjadi kuat butuh tentara, tentara yang kuat butuh kuda yang baik dan banyak. Untuk membiayai serdadu dan kuda harus ada yang bayar, dan yang bayar itu lewat pajak.

“Nah, itulah pentingnya pajak, untuk negara [yang] kuat. Sekarang tentu pajak bukan hanya untuk bayar kuda dan tentara, tapi bayar apa saja, gaji pegawai, bayar jalan, bayar pelabuhan, infrastruktur, dan sebagainya, sehingga tentu kta melihat bagaimana pentingnya pajak ini,” tegas Wapres.

Wapres mencermati, pada negara-negara yang maju tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Semakin sehat seseorang, semakin lama hidupnya. Ini berarti, negara makin banyak menanggung sosialnya, karena makin sedikit orang bekerja.

“Karena itu maka terkadang butuh pajak yang tinggi, menanggung orang yang tidak bekerja. Semua itu membutuhkan suatu keseimbangan-keseimbangan,” ucap Wapres.

Sementara, lanjut Wapres, fenomena yang terjadi di Indonesia dengan banyaknya digital commerce akibat dari majunya informasi teknologi (IT), menyebabkan sulitnya menentukan pajak. Transaksi online saat ini banyak dilakukan oleh multinational company yang tidak hanya melibatkan pelaku atau perusahaan di dalam negeri tetapi juga antar negara, sehingga pembayaran pajak dengan benar di masing-masing negara, masih menjadi pertanyaan besar.

“Keseimbangan seperti disampaikan tadi, digital commerce, yang menjadi masalah atau tidak jelas, harus dijelaskan. Dan juga bisnis-bisnis yang berjalan dengan teknologi lainnya. Itulah suatu hal keseimbangan yang perlu kita perbaiki. Maka apa yang [menjadi] masalah kalau Indonesia yang dilanda hal tersebut?” seru Wapres.

Wapres mengharapkan, pajak bukan hanya menjadi penghalang, tetapi juga dapat menjadi insentif, namun dengan penempatan yang tepat. Misalnya, pemberian tax holiday, atau keringanan pajak bagi labour incentive dibandingkan dengan capital incentive.

“Karena apabila tidak tepat menjadi ketidakadilan,” ungkapnya.

Untuk mencapai keseimbangan dalam pajak tersebut, Wapres menekankan langkah yang harus diambil adalah bagaimana peningkatan informasi dan data pembayar pajak dengan IT yang baik. Wapres melihat ada perbedaan besar antara dulu dan sekarang. Dulu transaksi keuangan terbatas, namun sekarang transaksi sudah jutaan, ratusan juta, bahkan mungkin milyaran transaksi perhari. Sehingga tidak mungkin lagi informasi pembayar pajak dilakukan dengan cara manual, melainkan harus dengan IT.

“Karena itu, salah satu program pemerintah yang harus dilaksanakan dalam waktu singkat ialah perbaikan IT pajak. Karena hanyalah dengan perbaikan IT pajak, pemerintah, kantor pajak dapat mengatur pajak itu sebaik-baiknya sehingga terjadi suatu pertumbuhan yang adil,” tegas Wapres.

Lebih jauh Wapres menjelaskan, tanpa informasi yang baik, maka tidak dapat menimbulkan pertumbuhan yang adil, karena sulitnya mengetahui siapa pihak-pihak yang terkena wajib pajak. Hal ini, lanjutnya, dikenal dengan istilah “memburu di kebun binatang”, yang berarti pembayar pajak tidak akan dikenai wajib pajak, kecuali memiliki masalah dalam perpajakan.

Wapres menekankan, masalah perpajakan tidak hanya dihadapi Indonesia tetapi juga menjadi isu internasional. Oleh karena itu Wapres mengimbau, untuk mengatur perpajakan secara global maka dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara.

“Tentu dibutuhkan interkoneksi yang baik, dibutuhkan informasi yang baik di antara semua negara, sehingga menimbulkan suatu sistem yang rapi, yang baik untuk kita semua. Karena itulah maka semua itu harus kita laksanakan secara cepat dan baik,” imbaunya.

Wapres berharap dengan adanya konferensi internasional tentang pajak, investasi, dan bisnis ini, akan memberikan kesempatan bagi peserta yang hadir untuk bertukar pikiran, pengalaman baik antar negara maupun antar perusahaan, untuk menciptakan pajak yang efisien dan juga adil.

“Itulah yang menjadi tujuan kita dan bagaimana negara mendapat penghasilan yang tepat dan sekaligus juga menjadi pendorong kemajuan ekonomi di negara kita, yang perlu kita jalankan.
Dan paling [penting] tentu bagaimana mendidik petugas-petugas pajak, melatih, menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada, teknologi yang ada dan juga bagaimana kita semua dapat menikmati secara adil daripada penghasilan negara tersebut secara baik,” pungkas Wapres.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, untuk mencegah terjadinya praktek-praktek penghindaran dan pengelakan pajak, Indonesia bersama dengan negara-negara G20 akan menerapkan  Automated Exchange of Information (AEOI) atau penukaran data secara otomatis berupa pembukaan data pajak antar negara.

Menurut Bambang, hal ini sangat penting karena saat ini sudah banyak bermunculan perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara, tidak dapat diketahui apakah sudah membayar pajak dengan benar.

“Konsepnya, pajak harus dikenakan di tempat terjadinya transaksi. Dengan adanya AEOI ini maka semua data akan terbuka. Orang tidak bisa lagi bersembunyi untuk menghindari pajak. Dan penerimaan pajak akan lebih optimal,” tegas Bambang.

Sementara Rektor Universitas Mercu Buana Arissetyanto Nugroho melaporkan, bahwa kegiatan ICTIB 2016 dan 13th APTF diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), International Tax and Investment Center (ITIC) dan Universitas Mercu Buana. Forum tersebut menghadirkan 400 peserta dari negara-negara Asia Pasifik dengan latar belakang yang berbeda mulai dari perwakilan sektor publik (eksekutif), legislatif, perusahaan nasional maupun perusahaan multinasional, dan akademisi dari berbagai universitas di Indonesia dan negara-negara Asia Pasifik. Forum tersebut akan diselenggarakan selama 3 hari, 23 sd. 25 Mei 2016, yang menghadirkan 19 sesi diskusi dengan berbagai topik, termasuk isu pengampunan pajak (tax amnesty).

Hadir dalam acara tersebut Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Ekonom dari INDEF Didik J. Rachbini, dan Chief of ITIC Daniel Witt. (KIP, Setwapres)