Fahmi Idris

Menghadiri Peluncuran Buku Karya Fahmi Idris

Jakarta. Jika kita ingin mengetahui apakah reformasi sudah berjalan pada jalurnya atau masih perlu dilakukan reformasi ulang untuk memperbaiki kekurangannya, maka buku karya Fahmi Idris dapat menjadi referensi. Hal ini disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika berbicara dalam peluncuran dua buah buku karya Fahmi Idris di Panti Prajurit Balai Sudirman, Kamis malam 16 April 2015.

Kedua buku itu berjudul “Saudagar Dalam Lintasan Sejarah Politik Indonesia” dan “Konflik Interpretasi Konstitusi Dibalik Berbagai Peristiwa Politik di Era Awal Reformasi,”

Wapres menyampaikan bahwa buku tersebut perlu menjadi bahan referensi penting dalam membangun negeri dari berbagai aspek. Buku ini,kata Wapres, perlu jadi pembelajaran, karena negeri ini perlu dibangun dari beberapa sisi, sisi politik, ekonomi, enterpreneurship, apalagi tentang saudagar. “Meskipun kelihatan istilah lama, tapi artinya penting, karena saudagar itu seribu akal,” kata Wapres.

Wapres menghimbau agar kita semua melihat kedua buku tersebut sebagai referensi yang baik untuk mendorong kembali pengalaman-pengalaman ke depan, karena bangsa ini membutuhkan banyak perubahan secara terus-menerus. Apabila konstitusi dibentuk dalam situasi emosional meskipun saat itu dianggap tepat, tetap memerlukan penilaian-penilaian apakah sesuai untuk masa yang akan datang. “Itulah pentingnya, karena buku berdasarkan pengalaman, dan beberapa penelitian keilmiahan,” pungkas Wapres.

Menurut Ketua Panitia Peluncuran Buku Fahira Idris, naskah kedua buku tersebut memang sudah cukup lama tersimpan, namun karena Fahmi Idris mendapat kepercayaan menjabat sebagai menteri di era Kabinet Indonesia Bersatu, maka penyelesaiannya tertunda. “Kemudian setelah Fahmi Idris tidak lagi di pemerintahan ia lebih banyak aktif di dunia pendidikan tinggi, ia memiliki waktu cukup untuk menyelesaikan naskah buku tersebut,” ucap Fahira dalam sambutannya.

Buku “Konflik Interpretasi Konstitusi” yang memiliki ketebalan 322 halaman ini menurut Fahira, berawal dari catatan Fahmi Idris sebagai politisi yang mengalami dan melihat secara langsung dinamika politik praktis dan konflik interpretasi pasca rezim Soeharto.

Bahkan di dalam buku itu, ucap Fahira, Fahmi menulis bahwa di era Presiden BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri adalah merupakan masa-masa ketika reformasi diwarnai oleh adanya dinamika yang sangat tinggi. Kehidupan politik sangat riuh, ratusan partai politik didirikan, konflik interpretasi konstitusi pun terjadi antara pemerintah dan parlemen, yang dilatarbelakangi oleh interes masing-masing. “Buku ini merupakan catatan atas dinamika politik yang terjadi pada masa-masa awal reformasi,” kata Fahira.

Sementara buku berjudul “Saudagar Dalam Lintasan Sejarah Politik Indonesia”, memiliki ketebalan 673 halaman, yang juga merupakan hasil observasi oleh Fahmi Idris atas realita bahwa dalam kontestasi menduduki jabatan politik, kaum saudagar memiliki peluang lebih besar dibandingkan dengan kaum lainnya yang tidak memiliki cukup kemampuan finansial.

Pada era kebangkitan nasional, kaum saudagar umumnya memberikan dukungan finansial pada berbagai aktivitas yang dilakukan oleh berbagai kelompok, yakni kaum pergerakan, partai politik, dan kegiatan penyediaan dana pendidikan bagi para pelajar. Penyusunan buku ini, kata Fahira, dilakukan dengan pendekatan kronologis kesejarahan, ditulis dengan langgam bahasa populer dan sederhana, berdasarkan kaidah-kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Penulisan buku ini merupakan upaya pendokumentasian peran saudagar sebagai salah satu elemen penting untuk bangsa. “Penulis berharap buku tersebut dapat menambah khasanah tertulis tentang kontribusi saudagar dalam perjuangan meraih, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia,” kata Fahira. (Supriyanto)

****