Jakarta. Dua isu yang tengah menghangat saat ini di Indonesia dan negara-negara wilayah sekitarnya adalah isu kemaritiman dan isu Laut Cina Selatan. Indonesia berkeinginan mengurangi ketegangan dalam konflik Laut Cina Selatan karena 70 persen wilayah Indonesia adalah kelautan. “Bagi Indonesia, laut bukan untuk memisahkan pulau-pulau, tetapi menyatukan pulau-pulau, bagaimana laut menyatukan negara kita. Laut bukan hanya pemersatu bangsa, tetapi juga negara-negara Asia lainnya melalui kerjasama yang saling menguntungkan,” kata Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada Public Forum on “Maritime Cooperation in East Asia: Opportunities and Challenges”, di Auditorium Wapres, Selasa, 2 Desember 2014.

Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi bahwa salah satu program pemerintah saat ini adalah bagaimana maritim di Indonesia dapat berguna bagi bangsa dan negara-negara lain, yakni sebagai sumber daya alam dan jalur trasnportasi. “Laut adalah bagian dari sejarah Indonesia. Semboyan lama Jalasveva Jayamahe jayalah kita di laut, akan diangkat kembali oleh pemerintah sekarang,” ujar Wapres.

“Oleh karena itu, saat ini Menteri Kelautan dan Perikanan sangat kritis dan sering memberikan komentar yang tajam bagaiman laut atau maritim Indonesia dapat menyejahterakan rakyat,” ungkap Wapres menambahkan.

Untuk isu Laut Cina Selatan, Wapres mengkorelasikannya seperti Malacca Strait, yang digunakan sebagai jalur perdagangan untuk Asia dan Eropa. “Saya kira kebijakan Asia termasuk Cina dapat dikorelasikan dengan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan negara-negara Asia lainnya. Cina juga seharusnya dapat menjadi lalulintas ekonomi dan perdagangan dunia yang lebih baik dari sebelumnya,” harap Wapres.

Wapres menggarisbawahi bahwa konflik-konflik kelautan yang terjadi saat ini bukan karena faktor lalulintas tetapi faktor sumber daya alam. “Saya mengerti konflik Laut Cina Selatan bukan karena sebagai media transportasi tetapi karena apa yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu salah satu solusi untuk menangani masalah ini adalah peningkatan kerjasama ekonomi antara negara-negara regional,” tutur Wapres

Melalui forum ini, Wapres berkeyakinan akan menghasilkan ide-ide yang dapat menguntungkan bagi semua pihak. “Di sini telah hadir sebagai panelis, Hasyim Djalal, sebagai Bapak Hukum Maritim Indonesia dan juga sumber ensklopedia bagi kemaritiman Indonesia,” pungkas Wapres.

Forum Publik ini merupakan bagian dari pertemuan tahunan yang kedua bagi Asian Peace and Reconcilitation Council (APRC). Ketua APRC Surakiart Sathirathai dalam sambutannya menyampaikan APRC adalah organisasi swadaya internasional yang terdiri dari 24 mantan pemimpin dunia dan menteri serta 2 akademia internasional dari berbagai wilayah di dunia. Melalui soft diplomacy, APRC berusaha mencari solusi untuk mengurangi ketegangan di wilayah, meningkatkan dialog, dan mencegah situasi yang berpotensi menimbulkan konflik. Salah satu isu yang menjadi fokus APRC dalam dua tahun terakhir adalah Laut Cina Selatan.

“Sebesar USD 5,3 Triliun untuk perdagangan melalui Laut Cina Selatan setiap tahunnya, dengan lebih dari setengah pengiriman dunia. Pada tahun 2035, 90% ekspor minyak negara-negara Timur Tengah akan datang ke Asia, dan hampir semuanya dikirim melalui Jalur Cina Selatan. Apabila ada konflik bersenjata di Laut Cina Selatan akan merusak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Asia Tenggara, mengganggu Masyarakat Ekonomi ASEAN dan seluruh wilayah,” jelas Sathirathai.

Melalui Forum Publik ini, dikatakan Sathirathai, APRC mengundang para pemangku kepentingan yang akan berbagi pengetahuan dan pemikiran mereka untuk membahas isu prioritas, yaitu kerjasama maritim di Asia Tenggara.

Lima hal penting dalam forum ini adalah pertama kerjasama fungsional, yaitu kerjasama nyata yang diperkuat dengan political will dari pihak masing-masing, misalnya kerjasama dalam hal minyak dan gas, perikanan, dan perlindungan lingkungan yang akan membawa manfaat nyata. Isu kedua, sentralitas ASEAN, yaitu ASEAN menjadi basis kekuatan dan pertahanan bagi negara-negara di wilayah ASEAN. “Ini berarti negara-negara didalamnya dapat menentukan masa depan sendiri tanpa khawatir dengan campur tangan luar,” tegas Sathirathai.

Ketiga, konektivitas, perdagangan, dan investasi, yaitu meningkatkan fungsi pelabuhan untuk perdagangan antar-pulau dan jalur transportasi regional. Keempat, konektivitas non-fisik, yaitu meningkatkan bisnis infrastruktur melalui dunia maya, seperti e-commerce. Kelima, kebijakan oriental, yaitu mengadopsi pemikiran-pemikiran bijak para pendahulu dalam menghadapi tantangan di Asia Tenggara saat ini. “Seperti pepatah bijak Indonesia, Ada Asap ada Api, setiap masalah ada alasannya, tidak ada akibat tanpa sebab,” kata Sathiratai.

Hadir sebagai moderator Dewi Fortuna Anwar, dan sebagai panelis Hashim Djalal, Rokhmin Dahuri, dan Rizal Sukma. (Siti Khodijah)