Jakarta. Suatu negara memerlukan ideologi, namun ideologi yang menakutkan harus dihindari. Perkembangan suatu ideologi layaknya penyebaran sebuah virus yang masuk ke tubuh manusia. Apabila tubuh lemah, maka virus akan mudah masuk. Begitupun ideologi, apabila negara lemah, maka ideologi yang ekstrim pun dapat tersebar luas di masyarakat. Untuk itu negara harus stabil dan tidak mudah dimasuki. “Bangsa Indonesia harus bersatu, memperbaiki iklim politik dan kesejahteraan yang adil, serta mencegah ideologi yang masuk,” ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika menghadiri International Conference on Terrorism and ISIS: Indonesia’s Response to the Challenges on Terrorism and ISIS, di Jakarta International Expo, Kemayoran, Senin, 23 Maret 2015.

Ideologi yang ekstrim, menurut Wapres, sejak dini harus dicegah masuk ke negara Indonesia. Dalam hal ini, para pemimpin agama memainkan peranan yang sangat penting, karena mereka memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk pola pemikiran pengikutnya. Apabila pola pikir sudah terbentuk, maka tidak ada apapun yang dapat menghalanginya, walaupun nyawa taruhannya. Wapres mengambil perumpamaan peristiwa yang dialami Malala Yousafzai, seorang aktivis remaja dari Pakistan yang ditembak kelompok Taliban karena memperjuangkan pendidikan. “They can shoot my body, but they can’t shoot my mind. Mereka bisa menembak tubuh saya, tetapi mereka tidak bisa menembak [membunuh] pikiran saya,” ucap Wapres mengutip Malala.

Wapres menegaskan, dalam memerangi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan berbagai bentuk terorisme lainnya, harus dilihat dulu latar belakangnya. Sebelum ISIS muncul, telah ada kelompok teroris yang sangat menarik perhatian dunia, yaitu Al-Qaida. Wapres mencermati, walaupun keduanya memiliki pemahaman Islam yang radikal, keduanya sedikit berbeda. “ISIS lebih menakutkan dibanding Al-Qaida,” ucap Wapres.

Lebih jauh Wapres menceritakan bagaimana kedua paham ini muncul dan berkembang pesat di masyarakat. Menurut Wapres, Al-Qaida awalnya ingin membebaskan Afganistan dari komunisme, namun setelah itu menjadi ideologi yang menakutkan. Sementara ISIS muncul setelah terjadi Arab Spring, gelombang revolusioner demonstrasi dan protes akibat ekonomi dan pelanggaran HAM yang tersebar di negara-negara Liga Arab dan sekitarnya, seperti Tunisia, Mesir dan Yaman. Revolusi lalu berlanjut di Suriah dan kemudian terjadi perang saudara karena  sikap Presiden Suriah Bashar Al-Assad yang otoriter. Pemerintah yang otoriter membuat negara lemah, memudahkan virus yang masuk. Suriah menjadi negara yang berkeping-keping. Akibatnya banyak relawan dari negara-negara lain yang membantu Suriah. Kemudian masuklah ideologi dari Iraq, dimana pada Perang Teluk ke-2 negara Iraq ini sudah hancur. Awalnya karena faktor ideologi tetapi sebenarnya karena lemahnya pemerintahan dan politik. “Terbentuknya ISIS buah dari kelemahan suatu negara. Setuju atau tidak setuju, pemimpin otoriterlah yang menyebabkan hal tersebut,” ungkap Wapres.

Menurut Wapres, sejarah kembali terulang. ISIS dibentuk karena adanya keinginan kembalinya Khalifah pada awal-awal Islam. Kelompok Islam yang radikal ini ingin mendirikan Daulah Islamiyyah fi Iraq wa Syam. Sebagaimana diketahui, lanjut Wapres, Iraq dan Syam (Suriah) mempunyai sejarah yang kuat. Syam menjadi pusat perdagangan Rasulullah selama 7 tahun, sedangkan kota Bagdad di Iraq menjadi pusat berkembangnya kebudayaan Islam. “Gerakan ISIS untuk kembali ke masa lalu, kehalifahan, padahal Islam harus menyesuaikan zamannya. Untuk itu kita tidak sepaham, apalagi gerakan ini mengganggu masyarakat,” tegas Wapres.

Wapres sangat prihatin dengan pesatnya pertumbuhan ISIS, dimana para pemimpinnya sangat murah menjual surga. Wapres mencatat saat ini ada 20.000 anggota ISIS yang datang dari 80 negara, melebihi jumlah anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam). ISIS yang paling cepat sekaligus menakutkan, lebih buruk dari Al-Qaida dan berkembang hanya dalam waktu 3 sampai 4 tahun. “Apa yang dikejar? Surga, paradise yang dijual dengan sangat murah,” sesal Wapres.

Selanjutnya Wapres mengisahkan pengalamannya ketika menangani konflik di Poso, dimana para pelaku pembunuhan juga diiming-imingi surga. Namun, Wapres meyakinkan meraka bahwa tindakan mereka salah, karena tidak ada agama apapun yang mengajarkan pembunuhan dapat masuk surga. “Kamu semua masuk neraka,” ucap Wapres ketika itu.

Untuk itu, Wapres menginginkan ke depan janji-janji surga seperti ini dapat ditepis dengan pemikiran yang moderat. Wapres juga berharap konferensi ini dapat menghasilkan langkah-langkah yang positif untuk mencegah hal-hal yang menjadi beban akibat ISIS dan gerakan terorisme lainnya.

Di awal konferensi, Irjen Pol (Purn) Benny Mamoto melaporkan bahwa pemprakarsa acara ini mantan Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) Hendropriyono. Diselenggarakannya konfrensi ini sebagai wujud komitmen yang kuat dan kepedulian berbagai institusi dan masyarakat untuk sama-sama menyikapi masalah ini. Konferensi ini mengundang pembicara dari luar negeri dan penanggap dalam negeri, dan juga melibatkan dua ormas terbesar di Indonesia Nahdatul Ulama, dan Muhammadiyah, serta akademisi dari Universitas Indonesia dari berbagai disiplin ilmu. “Sharing pengalaman ini nantinya dapat dijadikan action plan,” tutur Benny.

Hadir dalam acara tersebut Presiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri, Monkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Mendagri Tjahjo Kumolo, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Jaksa Agung HM Prasetyo, Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, Kepala BIN Marciano Norman, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Saud Usman Nasution, Ketua Majlis Ulama Indonesia sekaligus Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, Mantan Wakil Ketua BIN As’ad Said Ali, Chairul Tanjung, para Duta Besar negara sahabat, serta gubernur dari berbagai propinsi di Indonesia. (Siti Khodijah)

****