Bangkok-wapresri.go.id Bisnis (swasta) dan pemerintahan memiliki persamaan dan perbedaan. Swasta memprioritaskan hasil di atas prosedur, sementara lembaga pemerintah menganggap prosedur sebagai prioritas utama.

“Jika kita bisa menggabungkan kekuatan dan menghilangkan kelemahan pada dua sektor tersebut, kita akan memiliki lembaga yang luar biasa,” ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika menyampaikan orasi ilmiahnya pada Jamuan Santap malam di Wipanwadee Ball Room B, Centara Grand, Centra Plaza Ladprao, Bangkok,Thailand, Rabu (21/3/2017).

Berdasarkan pengalamannya, yakni 30 tahun di sektor bisnis dan 18 tahun di pemerintahan, Wapres menilai, sikap kewirausahaannyalah yang mendukung kedua sektor yang digelutinya selama hampir 50 tahun tersebut.

“Pengalaman saya dalam bisnis telah memberi saya bimbingan yang berharga dalam menjelajahi sektor pemerintahan. Hal ini juga memperkuat keyakinan saya bahwa sikap kewirausahaan itu relevan baik untuk sektor swasta dan pemerintahan,” ungkapnya.

Wapres menambahkan, menurut sejarah, bisnis dan pemerintahan memiliki keterkaitan yang erat. Keberhasilan sektor swasta akan menentukan keberhasilan pemerintahan, demikian pula sebaliknya. Keterkaitan tersebut, terlihat dari peran pemerintah yang mengandalkan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja, dimana hal ini merupakan faktor yang penting dalam mengentaskan kemiskinan.

“Melalui mekanisme pasar, sektor swasta menetapkan rantai pasokan yang memungkinkan adanya distribusi barang dan jasa yang efisien ke seluruh negeri,” kata Wapres.

Namun sebaliknya, Wapres melihat, banyak krisis besar disebabkan oleh kegagalan di sektor swasta. Mayoritas rakyat Indonesia tidak akan pernah lupa bagaimana utang sektor swasta yang berlebihan telah menciptakan krisis perbankan yang puncaknya adalah gejolak ekonomi dan politik yang berkepanjangan di tahun 1998.

“Fenomena serupa telah memicu krisis besar lainnya, termasuk krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS tahun 2008, krisis mata uang Meksiko tahun 1994, dan krisis perbankan di Jepang tahun 1991,” papar Wapres

Oleh karena itu, Wapres menegaskan, pemerintah harus menciptakan lingkungan ekonomi yang menstimulasi baik ekspansi bisnis maupun praktik bisnis yang sehat. Dalam kaitan ini, kerangka peraturan yang solid, infrastruktur yang efisien, serta situasi yang damai dan harmonis sangat diperlukan.

Setelah krisis ekonomi Asia, menurut Wapres, Indonesia memasuki salah satu babak tersulit dalam sejarahnya. Krisis tersebut telah menghancurkan banyak kemajuan ekonomi yang telah dibangun selama beberapa dekade.

“Kemiskinan dan pengangguran meningkat. Ketidakstabilan politik jelas terjadi. Pada awal 2000-an, konflik sosial meletus di banyak daerah di Indonesia, termasuk insiden besar di Poso, Aceh, dan Ambon,” ungkapnya.

Meskipun menghadapi banyak tantangan, Wapres mengatakan, perekonomian Indonesia secara bertahap pulih berkat kebijakan yang tepat dan kemampuan untuk mengubah konflik menjadi perdamaian.

“Tanpa perdamaian, kebijakan yang baik hanya bagus di atas kertas, membuat kesejahteraan menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan,” tegas Wapres.

Wapres pun menggarisbawahi, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa ketidakseimbangan ekonomi dan politik dapat menciptakan ketidakpercayaan dan ketegangan di masyarakat yang berpotensi untuk meningkat menjadi konflik.

“Kami mengakhiri berbagai konflik dengan memperkenalkan akses yang merata terhadap sumber daya ekonomi dan pembagian kekuasaan yang lebih adil dalam politik lokal. Kita tidak harus meniru demokrasi gaya Barat. Sebaliknya, kita harus menerapkan nilai-nilai lokal kita dalam proses demokrasi,” imbau Wapres.

Oleh karena itu, Wapres menekankan, pemerataan ekonomi dan keadilan politik, harus menjadi prioritas dalam upaya mengurangi kesenjangan yang berpotensi menimbulkan konflik.

“Kesenjangan, perdamaian, dan kemajuan ekonomi memiliki korelasi yang kuat. Singkat kata, kurangnya keadilan adalah akar penyebab konflik sosial yang memiliki efek yang merugikan pada perekonomian. Oleh karena itu, kesenjangan pendapatan yang tinggi dan terus naik di banyak masyarakat, termasuk di Indonesia, sungguh mengkhawatirkan. Tidak diragukan lagi, upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan memelihara keadilan politik harus menjadi prioritas utama kita,” tutur Wapres.

Sebelumnya, di awal orasi ilmiahnya, Wapres menyampaikan simpati dan rasa duka yang mendalam atas Wafatnya Raja Bhumibol Adulyadej pada Kamis (13/10/2016) dalam usia 88 tahun.

“Izinkan saya, atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia serta atas nama saya sendiri, untuk menyampaikan simpati dan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya Raja Bhumibol Adulyadej. Saya meyakini sepenuhnya bahwa kontribusi yang diteladankan oleh almarhum Raja tak akan lekang dari ingatan,” kata Wapres.

Wapres juga menyampaikan apresiasi kepada Rajamangala University of Technology Isan, atas Doktor Honoris Causa yang dianugerahi langsung oleh Ouri Maha Chakri Sirindhorn.

“Saya sungguh merasa terhormat untuk menerima penganugerahan tersebut langsung dari Yang Mulia Putri Maha Chakri Sirindhorn. Kehormatan ini tidak hanya untuk saya, tetapi juga untuk masyarakat Indonesia,“ ucap Wapres.

Dalam kesempatan tersebut, Wapres juga menilai selain masakan dan budaya yang eksotis, Thailand dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Kedua negara ini, menurutnya, berada pada tahapan yang sama dalam pembangunan ekonomi.

“Keduanya juga memiliki pendapatan per-kapita yang sebanding,” tuturnya.

Wapres mengatakan, Indonesia dan Thailand merupakan negara pendiri ASEAN, dan memiliki keinginan kuat untuk menciptakan perdamaian di kawasan.

“Kita merupakan negara demokrasi yang dinamis dengan beragam etnis. Kedua negara ini juga dilanda krisis ekonomi yang parah pada tahun 1998, tetapi mampu pulih dengan cepat,” ungkapnya.

Sebelum Wapres menyampaikan orasinya, Ketua Dewan Universitas Dr. Surakiart Sathirathai menyampaikan ucapan selamat datang kepada Wapres, dan mengapresiasi atas kesediaan Wapres menerima gelar Doktor tersebut.

Selanjutnya Sathirathai menyampaikan bahwa Kiprah Wapres dalam berbagai perundingan seperti di Aceh, sangat membantu dalam penyelesaian konflik yang pada gilirannya menyumbangkan perdamaian di kawasan.

Selain itu, lanjutnya, Wapres juga berperan penting dan banyak memberikan kontribusi dalam pembentukan dan pengembangan ASEAN Peace and Reconciliation Council (APRC).

“Meskipun telah menjadi Wapres, namun tetap memberikan sumbangsih pemikirannya,” ujarnya.

Sathirathai juga berpandangan bahwa kontribusi Wapres tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga pengakuan dari dunia internasional sebagai pencipta perdamaian (peace maker) di Maluku dan Poso, serta perundingan Helsinki yang mengakhiri konflik di Aceh.

Ia juga mengungkapkan kebanggaannya menjadi sahabat Wapres yang mumpuni tidak hanya dalam dunia bisnis, tetapi juga.

“Saya bangga menjadi sahabatnya yang dikenal sebagai pribadi penuh integritas,” ucap Sathiratai.

Selain Ibu Mufidah Jusuf Kalla, Hadir mendampingi Wapres Duta Besar RI untuk Thailand Ahmad Rusdi, Dubes RI untuk Ukraina Yuddy Chrisnandi, Wakapolri Komjen Pol Syarifuddin, Kasetwapres Mohamad Oemar, Staf khusus Wapres Bidang Umum Alwi Hamu, dan Tim Ahli Wapres Sofjan Wanandi. (KIP, Setwapres)