Jakarta-wapresri.go.id Perbudakan modern dan perdagangan manusia masih menjadi isu yang perlu penanganan serius. Meskipun berbagai upaya advokasi dilakukan, tetap harus ada tindakan yang konkrit untuk mengatasinya.

“Tidak cukup hanya advokasi, tapi perlu langkah nyata supaya tidak terjebak perbudakan,” ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika menerima Tim Penyiapan Deklarasi Menghapus Perbudakan Modern dan Perdagangan Manusia yang dipimpin oleh Rektor Universitas Paramadina Prof. Firmanzah, PhD.

Hadir bersama Firmanzah, Ketua Global Freedom Network (GFN), sebuah organisasi non profit yang bergerak dalam upaya penghapusan perbudakan, Andrew Forrest, Wakil Duta Besar Australia di Indonesia Justin Lee, serta perwakilan pimpinan agama-agama di Indonesia: Marsudi Syuhud dari Nahdhatul Ulama (NU), Romo Siswantoko dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Rusli Tan dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Agung Diatmika dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Peter Lesmana dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).

Dalam paparannya, Firmanzah menyampaikan, perbudakan modern masih terjadi di Indonesia. Dalam Global Slavery Index 2016, Indonesia masih dalam posisi yang cukup memprihatinkan. Akan sangat baik jika para pemimpin agama di Indonesia dapat menyatukan suara, karena hal ini dirasakan oleh semua umat dan menjadi perhatian dunia internasional. Ia mengharapkan penghapusan perbudakan modern dan perdagangan manusia ini mampu mempersatukan semua umat beragama.

”Tema ini bisa mempersatukan semua umat dalam kondisi saat ini yang terfragmentasi,” ungkapnya.

Ia juga mengharapkan kehadiran Wapres untuk memberikan keynote speech pada acara Deklarasi Menghapus Perbudakan Modern dan Perdagangan Manusia yang rencananya akan ditandatangani pada 14 Maret 2017 oleh para pimpinan organisasi keagamaan di Indonesia. Penandatangan deklarasi ini telah dilaksanakan di 3 lokasi, yaitu di Vatican pada 2 Desember 2014, di Canberra, Australia, pada 2 Desember 2015, dan di New Delhi, India, pada 3 Desember 2015.

Menurut Wapres, masih banyak pihak tidak memiliki pemahaman mengenai perbudakan modern. Oleh karena itu, penting untuk menunjukkan secara nyata kepada publik seperti apa perbudakan modern ini.

Terkait hal ini, Andrew Forrest menjelaskan secara singkat bahwa perbudakan modern adalah perlakuan kepada manusia yang hak untuk hidupnya dibatasi atau diambil.

Dalam Indeks Perbudakan Dunia 2016, perbudakan modern didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang dieksploitasi tanpa bisa menolak atau pergi karena adanya ancaman, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan penipuan, yang menyebabkan seseorang tersebut kehilangan kemerdekaannya untuk keuntungan pelaku perbudakan.

Istilah perbudakan modern ini mencakup juga anak-anak yang tidak bisa sekolah karena dipaksa bekerja atau menikah muda, orang-orang yang dipaksa bekerja karena terlilit hutang, dan perempuan baik tua maupun remaja yang dipaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga tanpa bayaran dan diperlakukan tidak manusiawi.
Lebih lanjut Forrest mengungkapkan, deklarasi ini adalah sebuah langkah awal. Pemerintah tidak akan mampu menghapuskan perbudakan sendirian, sehingga perlu keterlibatan para pemimpin agama.

“Keberadaan para pemimpin agama seperti ini tentunya akan mampu membawa perubahan,” tutur Forrest.

Mewakili NU, Marsudi Syuhud menyatakan dukungan atas gerakan ini. Ia menyampaikan, Islam mengajarkan untuk menghapuskan perbudakan. Apabila para pemimpin agama lain di Indonesia bersama-sama juga menyuarakan hal ini, diharapkan Indonesia bisa keluar dari daftar Global Slavery Index.

Agung Diatmika dari PHDI mengatakan bahwa GFN ini memiliki tujuan mulia, yang sejalan dengan ajaran Hindu yaitu Ahimsa, tidak menyakiti siapapun. Oleh karena itu PHDI mendukung inisiatif ini.

Romo Siswantoko dari KWI juga mendukung gerakan ini. Kejadian perbudakan ini banyak terjadi di daerah yang masih menjadi kantong kemiskinan seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Gereja Katolik di NTT saat ini kewalahan menghadapi hal ini. Gerakan ini, diyakini mampu berperan melindungi martabat manusia.

Menghapuskan perbudakan juga sejalan agama Buddha. Sejarah kemunculan agama Buddha adalah untuk menghilangkan sistem kasta di India yang pada masa itu menerapkan perbudakan.

“Disamping itu, kerjasama antar pimpinan umat beragama ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat,” ujar Rusli Tan, perwakilan dari Walubi.

Hal ini senada dengan pernyataan Peter Lesmana, perwakilan Matakin, yang menyampaikan dukungannya pada acara ini karena diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik.

Menutup pertemuan, Wapres mengingatkan bahwa perbudakan ini tidak berdiri sendiri, selalu terkait dengan kemiskinan dan juga budaya.

“Perlu tindakan pada kantong-kantong kemiskinan agar tidak lagi menjadi korban perbudakan,” pungkas Wapres.

Dalam kesempatan tersebut Wapres Jusuf Kalla didampingi Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohamad Oemar, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Bambang Widianto, serta staf khusus Wapres Azyumardi Azra dan Syahrul Udjud. (KIP, Setwapes)