Dua sosok warga negara asing berjalan santai menikmati malam di Pantai Losari. Temaram lampu dengan semburat kemerahan membawa suasana gembira. Terdengar bahasa yang agak asing di telinga. Dari bahasa tubuhnya nampaknya bukan turis biasa. Ah, barangkali pengungsi yang sedang mencari angin mencairkan kepenatan menunggu panggilan dari negara impiannya. Ya, Makassar ramai didatangi para pengungsi.

Hampir 20% pencari suaka dan pengungsi Warga Negara Asing (WNA) berada di Kota Angin Mamiri, Makassar. Dari 13.110 jumlah pencari suaka dan pengungsi di seluruh Indonesia, 2.133 diantaranya menetap di kota ini. “Apa yang menjadi daya tarik jika dibandingkan dengan kota-kota lain? Keramahtamahan masyarakatkah? Atau penempatan (resettlement) yang lebih cepat?” Bagaimana pemerintah dan masyarakat Sulawesi Selatan menangani para irregular migrant tersebut?

Motivasi sebagian pencari suaka/pengungsi ke Makassar karena ingin lebih cepat ditempatkan ke negara ketiga. Pergerakan mereka ke Makassar terdeteksi, sebagian menumpang kapal maupun pesawat terbang (Lion Air dan Citilink). United Nations High Comissioner for Refugees (UNHCR) telah berkirim surat ke maskapai penerbangan dan PT PELNI untuk turut mencegah keberangkatan mereka ke Makassar. Sebenarnya, kartu pengungsi dari UNHCR tidak dapat digunakan sebagai identitas untuk menaiki angkutan udara.

Menurut Madya Lukri, Protection Associate UNHCR Makassar, pihaknya telah mengupayakan untuk mencegah perpindahan para pencari suaka dan pengungsi dari kota-kota lain, seperti Bogor misalnya. Pihaknya menampik anggapan bahwa proses wawancara dari pencari suaka menjadi pengungsi dan penempatan ke negara ke tiga di kota ini lebih cepat. Untuk mencegah arus pencari suaka dan pengungsi ke Makassar, maka UNHCR menempatkan mereka pada urutan dibawah dalam proses wawancara tersebut. Resettlement pengungsi ke negara ketiga sepenuhnya tergantung kepada negara penerima. UNHCR bertugas melakukan wawancara/ assesment untuk disampaikan kepada negara-negara ketiga.

Kadiv Keimigrasian, Kanwil Hukum dan HAM Sulsel, Ramli HS, S.E., M.A.P., menyampaikan bahwa besarnya angka pengungsi di Makassar harus dikurangi. Jumlah WNA pencari suaka dan pengungsi di kota ini sebesar 2.133 orang dari berbagai kebangsaan: Afganistan, Myanmar, Somalia, Iran, Sudan, Irak, Pakistan, Ethiopia, Srilanka, Palestina, Eritrea, Yaman, Syiria dan Mesir. Mayoritasnya adalah Afganistan sebesar 1.262 orang.

Masalah daya tampung Rumah Detensi Imigrasi (rudenim) dan SDM menjadi tantangan besar. Penanganan pengungsi tidak bisa dibebankan pada instansi imigrasi saja. Untuk pengawasan, di Provinsi Sulawesi Selatan telah dibentuk Tim Joint Community Monitoring (JCM) yang terdiri dari Kanwil Hukum dan HAM, Kepolisian, Pemerintah Daerah, Kesbangpol, Kelurahan, Kecamatan, Dinas Kesehatan Puskesmas, Dinas Sosial, Kantor Agama serta pihak International Organisation for Migration (IOM) dan UNHCR.

Saat Tim Asisten Hubungan Luar Negeri Setwapres berkunjung ke Makassar awal November 2015, Tim mendapatkan kapasitas rudenim yang jauh dari kapasitas, tempat yang seharusnya hanya untuk 81 orang dipaksakan ditempati oleh 217 orang (over capacity). Sebagian pengungsi menempati tenda-tenda darurat di halaman rudenim. Selain rudenim, pengungsi berada di Kantor Imigrasi 20 orang, di temporary shelter 1.050 orang, dan community houses 846 orang.

Permasalahan penanganan irregular migrant cukup beragam: sumber daya manusia imigrasi yang ditugaskan secara mobile dan rutin terhadap tempat penampungan sementara sangat terbatas; tempat penampungan tersebut berada di tengah-tengah pemukiman masyarakat, dan dikhawatirkan dapat menimbulkan gesekan dengan warga; bagi WNA pencari suaka yang sudah berstatus pengungsi belum ada kepastian untuk diberangkatkan ke negara yang dituju dan selama mereka belum ditempatkan tentunya akan menjadi beban bagi pemerintah RI.

Dalam diskusi bersama pihak imigrasi Sulsel, IOM dan UNHCR muncul desakan percepatan payung hukum yang mengatur tentang penanganan WNA pencari suaka yang harus melibatkan banyak pihak. Inisiatif dari Walikota Makassar yang patut diacungi jempol adalah upaya penyusunan cetak biru penanganan pengungsi di wilayahnya. Peran pemangku kepentingan sangat diharapkan, karena masalah pengungsi tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja.

IOM membuat terobosan dengan melakukan MoU dengan Walikota Makassar guna memperkuat dan membangun hubungan kerjasama dalam penanganan migrasi yang lebih teratur dan manusiawi, seperti bantuan kebutuhan dasar dan akomodasi, kesehatan dan pendidikan untuk pencari suaka dan pengungsi serta bantuan dalam perawatan anak-anak pencari suaka dan pengungsi tanpa wali.

Sebagai kelanjutannya, Walikota Makassar berencana membuat blueprint penanganan masalah pencari suaka/pengungsi agar ada kejelasan tugas stakeholders secara komprehensif dan detail. Bahkan Dinas Pendidikan Makassar siap mengijinkan 22 pengungsi anak untuk mendapatkan pendidikan SD dengan bantuan dana dari IOM, selanjutnya anak-anak tersebut dapat melanjutkan ke tingkat SMP.

Para pengungsi memiliki hak perlindungan terutama anak-anak dan wanita. Rudenim Makassar tidak mendetensi perempuan dan anak-anak. Rudenim yang terletak di wilayah Gowa ini menempatkan anak-anak secara terpisah dari kelompok dewasa, serta menyediakan kegiatan positif seperti berolah-raga, berkebun dan beternak untuk mengurangi rasa bosan dan tertekan. Semua kebutuhan bahan makanan mentah didanai oleh IOM dan selanjutnya kegiatan memasak dilakukan masing-masing kelompok di Rudenim.

Partisipasi masyarakat di sini patut dicontoh, Palang Merah Indonesia (PMI) Sulawesi Selatan menggandeng UNHCR dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk mengajarkan keterampilan memasak bagi para pengungsi sebagai bekal memasuki pasaran kerja di negara baru. Selain itu IOM memberikan pelatihan pertukangan, kursus bahasa Inggris, dan forklift training kepada sebagian pencari suaka/pengungsi.

UNHCR Makassar menawarkan konsep untuk memanfaatkan keahlian para pengungsi melalui kerja sukarela, diantara pengungsi memiliki keahlian pertanian, IT, dan lainnya. Sehingga daerah setempat memperoleh manfaat positif dari kehadiran sementara para irregular migrant.

UNHCR secara aktif melakukan upaya untuk mencegah adanya gesekan dengan masyarakat melalui sosialisasi dan kuliah umum di universitas di Makassar. Selain itu, telah dibuat pamflet mengenai adat istiadat/kearifan lokal bagi pencari suaka/pengungsi agar mereka memahami apa yang boleh dan dilarang dalam tata pergaulan adat istiadat setempat, sehingga terhindar dari konflik dengan masyarakat

Penanganan pencari suaka/pengungsi dengan mengedepankan sisi kemanusiaan. Namun demikian, Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta tidak mudah untuk menangani mereka, karena pemerintah dituntut lebih mendahulukan perhatian kepada warga negaranya.

Nampaknya, model penanganan pencari suaka di Makassar dapat diikuti daerah-daerah lain. Pedoman penanganan pengungsi dan kerja sama dengan UNHCR, IOM dan komponen masyarakat sipil perlu dipererat untuk memberikan layanan kemanusian.

========