Jakarta-wapresri.go.id Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla memimpin Rapat Tindak Lanjut Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Kantor Wakil Presiden, Merdeka Utara, Senin (13/2/2017).

Hadir dalam rapat Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Darmin Nasution, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menteri PUPR) Basuki Hadimuljono, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, Menteri Agraria dan Tata Ruang (Menteri ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) Siti Nurbaya, Direktur Utama Bank Tabungan Negara (Dirut BTN) Maryono, dan perwakilan dari Kementerian dan Lembaga terkait.

Wapres mengatakan, walaupun sudah ada PP No. 64 Tahun 2016, tetap perlu implementasi yang baik agar dicapai hasil yang maksimal.

“Mengurangi kesenjangan merupakan bagian yang sangat penting. Tiap hari kita lihat iklan rumah hebat, pembangunan apartemen hebat dan lancar, tapi rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah sulit dibangun, tentunya ini yang menjadi perhatian kita,” tegas Wapres.

Lebih jauh Wapres mengungkapkan, pemerintah telah menyediakan anggaran sebesar 9,7 triliun rupiah untuk pembiayaan perumahan, namun belum sepadan dengan kebutuhan. Pemerintah juga pernah meminta BPJS Ketenagakerjaan membantu pembiayaan sebesar 40 triliun rupiah, tetapi masih terkendala banyak hal. Sedangkan anggaran yang disediakan oleh Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga saat ini adalah sebesar 19 triliun rupiah.

Wapres menambahkan, tidak ada masalah perumahan di daerah seperti di desa-desa, masalah perumahan justru terjadi di perkotaan karena jumlah penduduk kota semakin banyak seiring dengan arus urbanisasi yang terus naik, diperkirakan pada tahun 2020 orang yang tinggal di kota mencapai 60%.

“Supaya tidak terjadi arus urbanisasi yang tinggi, maka desa harus diperbaiki, untuk memperbaiki desa saat ini lebih mudah karena sudah tersedia dana desa,” ujarnya.

Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam paparannya menyatakan bahwa pemerintah sudah menerbitkan Paket Kebijakan 13 mengenai perumahan bagi MBR. Tujuan Paket Kebijakan 13 bila dibandingkan dengan kebijakan pemerataan dan kebijakan berkeadilan sudah sejalan, namun beberapa hal perlu diharmoniskan. Misalnya, saat ini sedang disiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang kebijakan rumah untuk MBR yang di dalamnya terdapat aturan mengenai lahan untuk rumah MBR, bisa di pedesaan atau perkotaan dengan luas 0,5 s.d. 5 ha. Sehingga, ukuran luas rumah lebih longgar, tidak harus dipatok minimal 5 ha.

Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan pemerataan, Darmin menegaskan, pemerintah harus membangun land bank, yang bisa dimulai dengan memanfaatkan lahan-lahan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti lahan milik PT. Kereta Api Indonesia (KAI) di stasiun-stasiun kereta, dan lahan-lahan milik Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) atau PT. Perkebunan Nusantara yang cocok dijadikan pemukiman. Perekonomian yang berkeadilan dimulai dari lahan-lahan milik BUMN dengan konsep rumah susun dengan daya tampung lebih banyak.

“Lahan milik BUMN mulai dibangun untuk menampung masyarakat perkotaan yang hidup di daerah kumuh, nanti lahan bekas mereka diambil alih pemerintah (dijadikan land bank) dengan perhitungan harga yang jelas. Jadi rumah susun itu dibangun terlebih dahulu, setelah itu masyarakat dipindahkan. Langkah awalnya adalah membangun keyakinan masyarakat untuk bersedia dipindahkan ke tempat yang lebih baik,” jelas Darmin.

Menanggapi hal tersebut, Menteri ATR Sofyan Djalil menyatakan bahwa terdapat fenomena urban sprawling atau pembangunan kota yang tidak teratur di Jakarta. Pada tahun 2000 urban area di Jakarta 1.338 km2 sedangkan pada tahun 2016 sudah meningkat menjadi 3.225 km2. Salah satu solusi dari hal tersebut adalah dengan urban renewal.

Sofyan menjelaskan, kawasan Kemayoran (lahan milik Perumnas) dijadikan pilot project dalam urban renewal. Di kawasan tersebut terdapat kawasan kumuh seluas 14,4 ha dan rumah susun seluas 8 ha, sehingga total lahan adalah seluas 22 ha, rumah susun saat ini hanya dihuni oleh 1.500 KK.

“Dengan program urban renewal, dapat dikembangkan lebih dari 40 tower dengan 24 lantai, sehingga nantinya tersedia 20.000 unit hunian dengan kapasitas bisa mencapai 80.000 jiwa,” jelas Sofyan Djalil.

Sementara itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono melaporkan bahwa selama dua tahun menangani MBR, hal yang paling sering dikeluhkan adalah masalah perizinan. Saat ini Real Estate Indonesia (REI) sudah mulai fokus dalam pembangunan rumah MBR, sementara BTN sudah banyak sekali mendukung program ini. Meskipun banyak keluhan dalam urusan perizinan, ada beberapa kota yang pengurusan perizinannya cepat dan gratis yaitu Kota Balikpapan dan Kota Tangerang.

Terkait perizinan yang menyangkut lingkungan, Menteri LHK Siti Nurbaya mengungkapkan, bahwa di dalam PP 64 Tahun 2016 sudah dijelaskan, cukup dibuat surat pernyataan tentang pengelolaan dan pemantauan lingkungan maka izin dapat selesai. Siti menambahkan, bawa dalam waktu dekat dirinya akan membuat peraturan menteri yang lebih detail dan membuat surat edaran kepada bupati/walikota untuk mentaati PP 64 tersebut.

Sedangkan dalam hal kemudahan transportasi, Menhub Budi Karya Sumadi menyarankan, agar pembangunan perumahan sebaiknya difokuskan pada titik-titik yang berada di sekitar Jakarta seperti di daerah Maja, Bojonggede, Bekasi dan daerah lainnya. Menurutnya, daerah-daerah tersebut memiliki prospek yang baik untuk mempercepat proses pembangunan rumah MBR, karena selain ada akses commuter line, lahan yang tersedia relatif masih luas.

Dari segi pembiayaan, Dirut BTN Maryono mengungkapkan, tantangan yang masih terjadi adalah menyangkut kemampuan dari masing-masing masyarakat. Untuk itu, BTN senantiasa berusaha memberikan kemudahan kepada masyarakat dengan menurunkan suku bunga sesuai kemampuan masyarakat dalam mengangsur.

“Saat ini rumah rumah bersubsidi dari sisi demand masih tinggi, namun dari sisi supply banyak developer yang masih belum mengerjakan rumah bersubsidi karena kendala di perizinan dan lahan yang mahal,” ungkap Maryono.

Di akhir paparannya, Maryono mengharapkan agar proses perizinan dan penyediaan lahan cepat diselesaikan, sehingga supply terwujud sesuai target pemerintah yaitu sebanyak satu juta rumah. (KIP, Setwapres)