HIPPI

Jakarta. Menghadiri Rakernas Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Ke-2 Tahun 2015. Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menggugah para pengusaha nasional yang tergabung dalam HIPPI untuk membantu pemerintah menjaga keadilan dan stabilitas nasional, terutama dalam bentuk keseimbangan ekonomi. Hal tersebut penting untuk dilakukan dalam menghadapi melambatnya pertumbuhan ekonomi saat ini.

“Sekarang kita maknai semangatnya. Jangan sampai ada pengusaha berpikir, berusaha di Indonesia tetapi menyimpan uangnya di luar. Itu berarti un-nasionalis, tetapi pengusaha pribumi agar menyimpan dana di bank-bank di Indonesia. Ini untuk memperkuat likuiditas di dalam negeri,” pesan Wapres saat membuka Rakernas HIPPI ke-2 tahun 2015 di Hotel Aryaduta pada Selasa, 27 Oktober 2015.

Keseimbangan ekonomi yang terjaga baik, lanjut Wapres, dapat diwujudkan pula dengan menjaga persaingan yang sehat dan adil di antara pengusaha. “Pengusaha pribumi tentu harus menjalankan usahanya dengan tidak menarik turun pengusaha yang lain. Dan pengusaha yang besar mengangkat pengusaha yang kecil. Pengusaha kecil harus menaikkan semangat dan keahliannya. Tumbuh yang tanpa menginjak lain,” jelas Wapres.

Di tengah terpuruknya kondisi ekonomi dunia saat ini, seperti juga dialami Amerika Serikat, Eropa dan China, Wapres mengharapkan pelaku usaha untuk mampu menangkap setiap peluang yang ada. “Tantangan tidak mungkin kita atasi sendiri, tetapi bagaimana potensi yang besar dijadikan peluang produktif,” terang Wapres.

Lebih lanjut, Wapres menekankan pentingnya menghadapi tantangan dan persaingan global ke depan dengan strategi yang efektif. “Sekarang zaman globalisasi dengan persaingan harus memperhatikan lebih baik, lebih murah dan lebih cepat,” tegas Wapres.

Terkait menghadapi persaingan global tersebut, Wapres meminta kerjasama dari pihak perbankan, terutama BUMN untuk memberikan bunga yang kompetitif kepada Usaha Kecil Menengah (UKM). Wapres beberapa waktu lalu meminta salah satu bank BUMN untuk menurunkan suku bunga acuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari 22 persen menjadi 11 persen.

“Kita mahal dari segi keuangan, bunga lebih tinggi dari pada negara lain. Malah KUR dulu 22 persen, saya marah. Jadi jangan sampai membebani rakyat kecil,” seru Wapres.

Suku bunga yang tinggi, kata Wapres, menunjukkan ketidakadilan terhadap masyarakat kecil. Atas dasar itu, pemerintah harus memberikan subsidi agar bank-bank menurunkan suku bunganya untuk KUR. “Pengusaha besar dapat bunga 10 persen atau 11 persen, pengusaha kecil dapat 22 persen, sangat tidak adil. Sampai saya marah betul selama ini, ada perilaku bank sampai begini, tidak adil pada yang kecil. Turunkan, terpaksa dengan beban pemerintah,” tegas Wapres.

Namun demikian, Wapres mengingatkan juga bahwa pemerintah tidak bisa selamanya menanggung beban subsidi bunga. Semakin lama, subsidi bunga kredit akan diturunkan hingga akhirnya pemerintah menghapuskan subsidi tersebut. “Besok subsidinya makin lama makin turun, lama-lama tidak ada subsidinya. Di situlah baru namanya bankir,” tutur Wapres.

Kemudian Wapres juga menilai pentingnya penurunan suku bunga, sehingga bank-bank di Indonesia bisa bersaing dengan bank di negara lain. “Bagaimana bisa bersaing, kalau di China, Malaysia, bunganya empat persen, lima persen, kita masih 11 persen. Kita turunkan walaupun dengan subsidi juga,” lanjut Wapres.

Untuk menghidupkan sektor riil, terutama pelaku usaha kecil menengah, pemerintah mengalokasikan dana Rp 30 triliun untuk penyaluran KUR. Pemerintah menyerahkan penyaluran KUR kepada empat bank berbentuk BUMN, yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara, dan Bank Negara Indonesia.

Restorasi Lahan Gambut

Dalam kesempatan ini, Wapres mengemukakan bahwa pemerintah akan bertanggung jawab atas kesalahan pengelolaan lahan gambut yang selama ini terjadi, sehingga lahan gambut yang telah rusak mengakibatkan kebakaran berkepanjangan pada musim kemarau sekarang ini.

“Gambut yang salah jalan, salah pakai, salah urus, atau salah izin. Jadi, pemerintah sekarang dan masa lalu juga punya kesalahan besar. Saya juga tanggung jawab karena saya pemerintah masa lalu juga,” ungkap Wapres.

Menurut Wapres, selama ini banyak izin pengelolaan lahan yang dikeluarkan pemerintah tanpa sesuai dengan aturan perundang-undangan. Atas dasar itu, Wapres menilai pemerintah saat ini perlu melakukan restorasi atau perbaikan fungsi lahan gambut.

Program restorasi lahan gambut ini kemungkinan memakan waktu kurang lebih lima tahun. Biaya yang dikeluarkan pemerintah pun bisa mencapai puluhan triliun rupiah untuk melakukan restorasi lahan gambut. “Mengembalikan ke asalnya gambut itu, karena lebih besar korbannya kalau kita tidak restorasi gambut,” jelas Wapres.

Meskipun demikian, lanjut Wapres, pemerintah juga meminta agar perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembakaran lahan ikut bertanggung jawab dengan membayar denda yang diatur dalam undang-undang.

Kemudian Wapres mengingatkan pengusaha-pengusaha perkebunan sawit untuk memperbaiki kerusakan lingkungan sebelum pemerintah mengambil tindakan tegas. “Kita akan keras itu, apa boleh buat daripada rakyat menderita. Kita harus kembalikan ke asalnya gambut itu, heterologinya, dan sebagainya,” pesan Wapres.

Wapres menekankan perlunya upaya bersama baik pemerintah maupun pengusaha dalam mengembalikan fungsi lingkungan. Pengusaha, kata Wapres, diminta untuk tidak hanya menyampaikan protes ataupun kritikan kepada pemerintah, tetapi juga mencari solusi dan bergerak bersama.

Sebagai gantinya, pemerintah siap mendorong berkembangnya bisnis para pengusaha, termasuk dengan memberikan subsidi bunga kredit. “Perusahaan besar yang punya CSR, silakan. Jangan hanya minta diturunkan bunga, tetapi juga bagaimana mengatasi secara bersama-sama. Oleh karena itu, jangan PHK karena kalau harga turun, PHK lagi, kena asap lagi,” pungkas Wapres. (Romansen)