Jakarta, wapresri.go.id – Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menggelar Knowledge Forum yang bertajuk, “Strategi Penanggulangan Kemiskinan: Tantangan Saat Ini dan Peluang di Masa Depan”. Kegiatan ini berlangsung di Auditorium Setwapres, Jl. Kebon Sirih No. 14, Jakarta Pusat, Rabu (15/05/2024).
Forum ini secara khusus mendiskusikan peluang kebijakan dan solusi khusus untuk pengentasan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem di masa depan. Dimoderatori oleh Asisten Deputi Penanggulangan Kemiskinan Setwapres Adyawarman, acara berjalan dengan pembahasan komprehensif dari ketiga pembicara. Pembicara yang mengisi acara, yaitu Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas Tirta Sutedjo; Kepala Tim Penasihat Kebijakan TNP2K Sudarno Sumarto; Ekonom Senior Bank Dunia Ririn Salwa Purnamasari; serta Ketua Dewan Professor Universitas Padjajaran Arief Anshory Yusuf.
Dalam sambutannya, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) RI sekaligus Sekretaris Eksekutif TNP2K Suprayoga Hadi mengatakan, pengintegrasian data menjadi salah satu kunci dalam penanggulangan kemiskinan.
“Mengenai data ini kami melihat bahwa selama ini masih cukup parsial, ada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dilakukan oleh Kemensos. Kemudian untuk kemiskinan ekstrem ada data P3KE (Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem). Kemudian ke depannya, sudah mulai dipersiapkan sekarang oleh Bappenas dan BPS dengan Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi) dan seterusnya,” ujarnya.
Suprayoga juga menuturkan, TNP2K telah bekerja sama dengan Bappenas agar pengintegrasian data dapat diwujudkan. Ia juga melaporkan bahwa berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023, angka kemiskinan nasional masih 9,36 persen. Adapun, target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 6,5 sampai 7,5 persen.
Target tersebut masih memerlukan kerja keras. Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas Tirta Sutedjo memaparkan tiga tantangan utama dalam pelaksanaan penghapus kemiskinan, yaitu akurasi target dari program yang dilaksanakan pemerintah, kualitas program yang masih terbatas, dan integrasi yang belum terwujud. Pelaksanaan strategi penanggulangan kemiskinan saat ini belum terintegrasi dan konsisten. Meskipun alokasi anggaran cukup besar, dampak terhadap kesejahteraan masih terbatas.
Selain itu, Tirta juga memaparkan hasil evaluasi Kementerian PPN/Bappenas atas integrasi Program Program Percepatan Penurunan Kemiskinan Esktrem (PPKE). Evaluasi dilakukan di Garut, Sumba Timur, Palembang, Kediri, dan Minahasa Selatan. Tiga dari empat daerah sampel yang dikunjungi melakukan veri-vali P3KE, hanya satu yang telah menetapkan sasaran tahun 2023. Hal ini berdampak dalam implementasi dari program PPKE.
“Ternyata ditemukan bahwa ada responden yang tidak masuk di DTKS tapi masuk di sistem data yang lain. Ada juga responden yang tidak masuk ke semua data, padahal kalau dilihat di lapangan kondisi dari responden tersebut sangat memprihatinkan atau bisa kita sebut sebagai masyarakat yang miskin,” ujarnya.
Bagi Tirta, terdapat delapan point yang perlu ditingkatkan, meliputi ketepatan sasaran, pemutakhiran data, penajaman tata kelola, pendanaan yang berkesinambungan, kesinambungan dan komplementaritas antar program, perlindungan sosial adaptif, peningkatan sosialisasi dan edukasi kepada para stakeholder dan penerima manfaat, serta optimalisasi penanganan pengaduan terhadap berbagai permasalahan yang muncul di lapangan.
Sementara itu, Kepala Tim Penasihat Kebijakan TNP2K Sudarno Sumarto juga kembali mengingatkan bahwa permasalahan yang dihadapi bukan hanya kemiskinan, melainkan juga kerentanan dan kesenjangan. Ketika Indonesia ingin menjadi negara maju yang memiliki pendapat perkapita tinggi tetapi kemiskinan tetap ada, maka tingkat kesenjangan akan lebih tinggi. Perlu adanya konvergensi komplementaris agar tidak hanya graduasi dari miskin ekstrem menjadi miskin biasa, melainkan dapat keluar dari garis kemiskinan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan program pemberdayaan lapangan pekerjaan yang inklusif. Ekonom Senior Bank Dunia Ririn Salwa Purnamasari mengatakan, “Faktanya, di Indonesia saat ini masih banyak sekali orang yang bekerja di sektor informal atau low productivity sector”.
Menurutnya, terdapat satu paradoks yang terjadi di Indonesia. Masyarakat yang memiliki pendidikan yang baik dengan produktivitas yang tinggi merupakan masyarakat yang menerapkan atau menguasai teknologi digital. Selain itu, perlu adanya lapangan pekerjaan yang berkelanjutan, baik secara jangka waktu maupun lingkungan dan ekologis.
Melengkapi dari paparan pembicaraan sebelumnya, Ketua Dewan Professor Universitas Padjajaran Arief memaparkan mengenai konsep “Leaving No One Behind” yang dapat menjadi kunci dari pembangunan berkelanjutan. Konsep yang dipaparkan tersebut dapat memperkuat dalam penentuan target pasaran untuk memastikan tidak ada satu orangpun yang masih tertinggal di garis kemiskinan.
(DPS/DMA, BPMI Setwapres)