Jakarta, wapresri.go.id – Dengan penduduk mayoritas beragama Islam, fatwa sebagai landasan keagamaan sangat diperlukan bagi kehidupan bernegara di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kebijakan negara. Sebab, jika ada dikotomi antara kebijakan negara dan ajaran agama, maka akan muncul problem kepatuhan. Selain itu, kebijakan negara juga harus memperhatikan hukum yang hidup dan dipercaya warga (living law) agar dapat lebih efektif untuk dilaksanakan.

“Dasar pemikiran seperti itu menjadi landasan kebijakan negara di Indonesia selama ini. Sehingga dapat dikatakan fatwa keagamaan yang ditetapkan oleh majelis agama memiliki kedudukan yang vital di negara Indonesia. Ia menjadi salah satu determinan efektivitas pelaksanaan kebijakan negara,” ujar Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat membuka Webinar Internasional Sekolah Tinggi Ilmu Fiqih Syeikh Nawawi Tanara (STIF Syentra) secara virtual, dari Kediaman Resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 02, Jakarta Pusat, Rabu (27/12/2023).

Dalam acara bertajuk “Pentingnya Peran Fatwa dalam Menjawab Permasalahan Umat pada Masa Sekarang” ini, Wapres menyampaikan tiga contoh kedudukan penting fatwa keagamaan dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Pertama, urainya, fatwa keagamaan telah menuntaskan problem terkait bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah menurut agama. Meskipun bentuk negara Indonesia terkadang masih dipertanyakan keabsahannya dalam perspektif agama oleh sebagian pemeluk agama, karena menurut mereka, bentuk negara yang sah adalah yang berdasar agama atau mengadopsi sistem tertentu, misalnya khilafah.

“Atas pertanyaan tersebut, MUI menetapkan fatwa bahwa bentuk negara Indonesia sah secara keagamaan. Indonesia didirikan melalui konsensus nasional (al-mitsaq al-wathani) dengan sistem republik,” jelas Wapres.

Ia mengatakan, ketentuan agama memang tidak mengatur secara tegas kaitan bentuk negara, tetapi urusan ini diserahkan pada hasil ijtihad para penduduknya sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan yang hendak dicapai, baik berupa kerajaan, keemiran, kekhalifahan, republik, dan sebagainya.

“Sehingga jika Indonesia berbentuk republik berdasar konsensus nasional (al-mitsaq al-wathani) hukumnya sah secara agama. Akibatnya, kebijakan negara yang terkait dengan hukum agama juga sah. Misalnya, pernikahan yang walinya penghulu hukumnya sah,” tuturnya.

Kedua, Wapres menyebutkan contoh di bidang ekonomi syariah yang setidaknya harus mendasarkan pada dua prinsip, yakni prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah. Undang-undang menyatakan bahwa prinsip syariah yang dijadikan landasan ekonomi syariah adalah fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia yang kemudian diserap dan diadopsi menjadi peraturan lembaga otoritas bidang keuangan, seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

“Dengan begitu fatwa tentang ekonomi syariah telah mengalami fase taqnin menjadi aturan otoritas resmi negara bidang keuangan, sehingga memiliki daya ikat secara hukum negara,” ucapnya.

Contoh ketiga, lanjut Wapres, berkaitan dengan kebijakan pengendalian pandemi Covid-19. Sejumlah fatwa telah dikeluarkan sebagai upaya melindungi jiwa umat Islam dalam situasi ini, seperti penggunaan vaksin maupun pelaksanaan salat Jumat, salat Ied, salat berjemaah di rumah masing-masing atau dengan memperhatikan jaga jarak fisik.

“Fatwa tersebut didasarkan pada sebuah kaidah bahwa di saat pandemi kepentingan menjaga jiwa (hifdzu an-nafsi) harus didahulukan dan diutamakan daripada kepentingan lain, termasuk menjaga agama (hifdzu ad-din),” ujarnya.

Lebih jauh Wapres menjelaskan, fatwa sebagai tuntunan umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama terdiri dari tiga model, yaitu fatwa yang dikeluarkan oleh ulama individual melalui sebuah proses ijtihad individual (ijtihad fardiy), fatwa yang dikeluarkan oleh sekumpulan ulama dalam sebuah forum/organisasi melalui ijtihad kolektif (ijtihad jama’i), dan fatwa yang dikeluarkan oleh mufti (pembuat fatwa) resmi negara.

Namun dalam praktiknya, ungkap Wapres, sedikit negara yang memiliki mufti resmi negara sehingga fatwa jenis pertama dan kedua yang lebih umum berlaku di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Terlebih, sambungnya, Indonesia bukan negara agama, melainkan negara yang menjunjung tinggi nilai keagamaan. Negara tidak merumuskan substansi fatwa keagamaan, tetapi dapat mengatur kebijakan pelaksanaan fatwa keagamaan yang telah ditetapkan oleh organisasi majelis agama.

Hadir dalam acara ini di antaranya, Duta Besar RI untuk Mesir Lutfi Rauf, Duta Besar RI untuk Brunei Darussalam Achmad Ubaedillah, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam Hafini bin Mahmud, Direktur Indeks Fatwa Global Darul Ifta Mesir Thariq Abu Hasyima, Ketua Bidang Ekonomi Syariah dan Halal Majelis Ulama Indonesia Sholahuddin Al Aiyub, beserta civitas academica STIF Syentra dan berbagai perguruan tinggi Islam lainnya.

Sementara, Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Suprayoga Hadi, dan Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi. (RR/SK-BPMI, Setwapres)