Jakarta, wapresri.go.id – Pemerintah saat ini terus berupaya memerangi paham-paham radikal yang mengarah kepada paham radikal terorisme, seperti pemikiran mengubah negara dengan cara kekerasan. Salah satu upaya untuk mencegah berkembangnya paham berbahaya ini adalah sosialisasi masif kepada masyarakat bahwa potensi ancaman paham radikalisme nyata adanya.
“Saya kira memang masih harus disosialisasi(kan) bahwa ada (ancaman radikalisme). Karena itu maka ada kita, ada lembaganya untuk melakukan upaya-upaya (menangkal) daripada radikalisme itu, terutama yang kita sebut radikal terorisme, radikal yang menuju kepada terorisme,” ungkap Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat melakukan wawancara secara virtual dengan CNN Indonesia TV dalam program Newscast dengan topik “Wapres Bicara Ekonomi, Radikalisme, dan Toleransiā, Selasa (16/02/2021).
Meskipun potensi ancaman paham radikalisme saat ini tidak begitu besar, namun menurut Wapres, sesuatu yang mengancam itu harus tetap diantisipasi.
“Ya menurut saya tidak terlalu besar tetapi kalau dibiarkan dia akan menjadi ancaman yang sangat besar dan berbahaya. Sebab sesuatu yang tadinya kecil kalau dibiarkan akan menjadi besar,” imbuhnya.
Untuk itu, Wapres berharap pemerintah dan masyarakat memiliki semangat dan kesepakatan yang sama untuk tidak membiarkan berkembangnya paham radikalisme demi menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa. Salah satu caranya adalah dengan terus menyosialisasikan adanya potensi ancaman paham radikalisme.
“Jadi kalau kita menggalakkan ini, atau menggerakkan ini, mengampanyekan ini, supaya tidak besar. Kalau sudah besar kan sulit. Karena itu jangan sampai ini tumbuh. Potensinya ada tapi jangan sampai besar,” ujarnya lagi.
Namun demikian, agar tidak tumbuh rasa saling curiga antarwarga, Wapres mengimbau masyarakat untuk dapat memahami definisi radikalisme secara tepat.
“Ini definisi yang kita pakai itu sebenarnya radikal terorisme, (yaitu) ingin mengubah negara ini dengan cara kekerasan, ini yang harus di(perangi), baik dari kanan maupun dari kiri, baik berpaham agama maupun juga berpaham kedaerahan, atau juga sekuler, agama yang radikal atau paham sekuler, atau paham chauvinisme atau kedaerahan yang radikal, akhirnya untuk mengubah dasar negara atau mengubah negara kesatuan, ini radikal tentu saja,” jelasnya.
Di samping itu, Wapres juga berharap agar masyarakat dapat membedakan antara sikap radikalisme dengan sikap-sikap lain, misalnya sikap kritis terhadap pemerintah. Ia tidak ingin sikap kritis terhadap pemerintah dianggap sebagai tindakan radikal.
“Nah ini mungkin harus dibedakan antara memberikan kritik yang sehat dan memang ingin melakukan perubahan, (dengan) gerakan yang mengubah negara dengan cara-cara yang tidak konstitusional, dengan tidak demokratis,” pintanya.
Untuk itu, Wapres menjelaskan bahwa perubahan dalam bernegara yang dilakukan secara demokratis dan konstitusional memang ada salurannya. Tetapi ketika itu dilakukan dengan cara-cara tidak demokratis, seperti mengganti dasar negara atau mengganti pemerintahan secara inkonstitusional, maka ini dapat dikategorikan sebagai tindakan radikal.
“Tetapi kalau memberikan kritik dengan bersikap agak kritis terhadap pemerintah, saya kira mungkin itu tidak (radikal), sepanjang itu tidak ada hal-hal yang menunjukkan adanya gerakan-gerakan yang bisa mengancam, itu saya kira mungkin tidak masuk dalam gerakan (radikal),” pungkasnya. (EP-BPMI Setwapres)