New York, wapresri.go.id,—Penyebaran ujaran kebencian, paham nasionalis-kanan, dan Xenophobia yang berujung pada tindak terorisme semakin menemukan lahan untuk tumbuh subur di internet. Untuk itu penyebaran terorisme melalui internet dan media sosial merupakan ancaman nyata bagi perdamaian dan keamanan internasional.

“Tidak ada negara yang imun dari ancaman terorisme, Indonesia berkeyakinan bahwa kerjasama internasional yang inklusif harus dilakukan,” tegas Wakil Preiden (Wapres) Jusuf Kalla pada pertemuan Leaders Dialogue on Strategic Responses to Terrorist and Violen Extremist Narratives di Conference room 1 Markas Besar PBB, Senin (23/9/2019).

Lebih lanjut, Wapres menceritakan bahwa sekitar dua bulan setelah tragedi Christchurch, ia bersama pemimpin dunia lainnya hadir pada Christchurch Call to Action yang diselenggarakan oleh Presiden Prancis dan PM Selandia Baru, tanggal 15 Mei 2019 di Elysee Palace, Paris.

Dalam kesempatan tersebut Wapres menegaskan bahwa teror Christchurch mencerminkan kebangkitan Islamofobia dan Xenofobia sebagai ancaman global. Terhadap tindakan kekerasan dan kebencian semacam itu, harus dibangun ketahanan dan solidaritas masyarakat dari berbagai latar belakang, dengan mempromosikan dialog antaragama untuk memperkuat nilai toleransi dan dengan menyuntikkan budaya damai kepada anak-anak sejak usia dini, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, komunitas, hingga bangsa.

“Kita tidak boleh hanya mengecam namun juga mendorong perubahan dan aksi nyata,” serunya.

Wapres menyerukan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah faham radilkal dan terorisme yaitu yang pertama, memastikan adanya infrastruktur legal untuk mencegah penggunaaan dunia maya untuk penyebaran konten radikal.

“Penegakan hukum harus diperkuat terhadap kejahatan penyebaran konten radikal,” pesannya.

Di Indonesia, terang Wapres, penyebaran konten radikal di internet adalah sebuah kejahatan dan tindak kriminal.

“Patroli siber serta mekanisme penanganan aduan konten juga harus diperkuat,” sarannya.

Kedua, jelas Wapres, pelibatan platform digital merupakan sebuah keniscayaan. Kejadian di Christchurch, menurutnya telah membuka mata kita semua bahwa internet dapat menjadi alat teroris dalam menyebarkan pahamnya.

“Raksasa platform digital dunia harus memastikan mekanisme tidak digunakannya media digital sebagai sarana menyebarkan konten radikal,” paparnya.

Sebaliknya, urai Wapres kemudian, media digital global harus dapat memfasilitasi penyebaran pesan perdamaian dan toleransi.

“Hal ini telah diinisiasi Presiden Jokowi sejak melakukan kunjungan ke Silicon Valley tahun 2016,” paparnya.

“Ke depan, kerja sama seperti ini harus terus diperkuat,” imbuhnya.

Ketiga, kata Wapres, pemberdayaan netizen untuk melawan radikalisme dan terorisme melalui media sosial.

“Gerakan spontan netizen untuk melawan tindakan terorisme dan serangan Thamrin di Jakarta pada Januari 2016 adalah salah satu contoh,” tandasnya.

Wapres pun menjelaskan hanya beberapa jam setelah serangan teroris, netizen secara bersama menolak takut dan membuat hashtag #KamiTidakTakut di sosial media menjadi perhatian dunia.

“Ini adalah bentuk pemberdayaan netizen untuk melawan radikalisme dan terorisme global,” contohnya.

“Indonesia meyakini bahwa narasi konten radikal hanya dapat diatasi dengan langkah bersama untuk melawannya,” pungkasnya. (RN KIP-Setwapres).