Seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi, Menentukan Arah Kebijakan Energi Indonesia
Jakarta. Kebijakan diversifikasi energi yang diterapkan pemerintah akan berhasil dan diterima baik oleh semua elemen masyarakat, bila dapat memenuhi tiga prinsip utama, yakni bersih, murah dan mudah. Demikian disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dalam Seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi di hadapan para stakeholder bidang energi, di Hotel Borobudur, Selasa 14 April 2015.
Kemudian Wapres menjelaskan maksud dari prinsip kebutuhan diversifikasi energi yang bersih, murah dan mudah (BMM). Bersih berarti energi yang dihasilkan tidak memiliki dampak terhadap kerusakan lingkungan. “Coal, the dirty energy, paling kotor tapi paling murah, walau tidak fleksibel seperti BBM,” ujar Wapres. Murah, kata Wapres, berarti harganya yang terjangkau tetapi menguntungkan secara ekonomi. Sedangkan mudah, artinya persediaan sumber daya alam yang melimpah dan terbarukan.
Energi, dikatakan Wapres, sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di semua sektor, mulai dari rumah tangga, perkantoran sampai industri. Tidak ada satupun manusia yang tidak memerlukan energi, mulai dari desa sampai kota. “Kalau kita bicara tentang energi, energi itu kekuatan. Semua orang butuh energi,” tutur Wapres.
Wapres juga mengamini perlunya memberikan perhatian lebih pada diversifikasi energi baru dan terbarukan saat ini, mengingat kebutuhan energi terus meningkat dari waktu ke waktu. “Kalau BBM sudah kita tahu, harganya terpengaruh geopolitik. Ada perang, harga naik, kita tahu fluktuaksinya,” jelas Wapres.
Lebih jauh, Wapres menggambarkan secara umum peluang dan potensi yang dimiliki Indonesia untuk menggarap diversifikasi energi. Misalnya Geothermal, Indonesia menjadi salah satu yang terbanyak di dunia, selain New Zealand, memiliki potensi 40.000 MM, bersih dan murah, namun tempat dan lahannya harus tetap dan investasinya masih mahal.
Kemudian energi hydro, ucap Wapres, Indonesia punya kapasitas luar biasa sampai 75000 MW. Energi yang bersih, murah, fixed, tetapi syaratnya harus menjaga lingkungan. “Kalau hutan habis, hydro habis,” tegas Wapres.
Selanjutnya energi nuklir, menurut Wapres, Indonesia juga memiliki potensi yang besar untuk mengembangkannya. Walaupun saat ini, dunia terbelah pendapatnya akibat tragedi Fukushima di Jepang. Wapres berpendapat perlu kehati-hatian dalam mengembangkannya, sebab dapat menjadi bencana bila tidak tepat pengelolaannya.
Wapres juga mencermati energi nabati yang berpotensi berkembang di Indonesia. Namun demikian, gejolak yang muncul adalah persaingan kebutuhan antara food dan fuel. “Kalau harga sawit turun, pasti datang ramai-ramai ke ESDM. Begitu harga sawit naik, lupa datang ke ESDM,” gurau Wapres, disambut tawa hadirin.
Pengalaman Konversi Minyak Tanah ke Gas
Wapres menceritakan kebijakan konversi energi dari minyak tanah ke gas pada tahun 2006-2007 merupakan kebijakan yang efektif dan tepat, sehingga Indonesia menjadi negara yang mampu mengkonversikan kebutuhan energi rumah tangga tercepat dan terbesar.
“Minyak tanah mahal, kita subsidi besar. Rp 5000 per liter. Kita pakai 11 juta kiloliter, subsidinya Rp 5 triliun,” ungkap Wapres.
Awal mulanya, lanjut Wapres, muncul ide konversi minyak tanah menjadi berikat batu bara, pada pameran batu bara di Kemayoran pada waktu itu. Bahkan pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengirim peneliti ke Tiongkok untuk mengetahui kelayakan penggunaan batu bara dalam rumah tangga. Namun, ternyata batu bara dinilai tidak layak karena dapat menyebabkan penyakit TBC. “Baru sampai Shanghai, dibilang anda bisa kena TBC semua. Itu dulu rumah di luar. Kalau tinggal di apartemen, habis anda semua,” kenang Wapres.
Kemudian Wapres melanjutkan, muncullah ide konversi minyak tanah ke gas. Wapres sempat meminta adiknya membuktikan bahwa 1 liter minyak tanah sama dengan 0,45 elpiji. Selanjutnya diuji coba di lapangan, efisiensi penggunaan minyak tanah dan gas, dengan membandingkan penggunaan kompor minyak tanah dan gas, yang terbukti lebih efisien. “Pergi ke universitas, ini benar nggak. Kita pilih Trisakti yang suka demo. Takutnya dikira proyek pemerintah. Maka keluarlah Trisakti report ini benar,” terang Wapres.
Wapres pun merasa belum puas dengan uji akademis di Universitas Trisakti, kemudian meminta Pertamina melaksanakan uji coba konversi minyak tanah ke gas di daerah Kemayoran. “Disurvey 60 persen masyarakat setuju,” ujar Wapres.
Untuk menyukseskan kebijakan konversi tersebut, lanjut Wapres, pemerintah memberikan kompor dan tabung gas senilai Rp. 225.000 secara gratis kepada masyarakat, sehingga total anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah saat itu mencapai 15 trilliun rupiah.
Kebijakan konversi, kata Wapres, juga sempat ditentang oleh banyak pihak, terutama saat terjadi ledakan akibat kebocoran tabung gas. “Banyak yang demo, saya suruh tangkap. Kita usut siapa yang bayar demo, ternyata pedagang minyak tanah,” ungkap Wapres.
Keberhasilan kebijakan konversi, dinilai Wapres, juga tidak terlepas dari strategi penetapan harga jual energi oleh pemerintah dan mempermudah partisipasi masyarakat didalamnya.. “Partisipasi pengusaha harus jelas, kalau tidak untung, mana ada yang mau,” ujar Wapres.
Turut hadir dalam acara seminar kali ini, Menteri ESDM Sudirman Said, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Anggota Dewan Energi Nasional Tumiran, dan sejumlah stakeholder bidang energi lainnya. (Taufik Abdullah)
****