Jakarta, wapresri.go.id – Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan dan Wawasan Kebangsaan, Sekretariat Wakil Presiden, bekerja sama dengan Sekretariat Eksekutif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) menggelar Focus Group Discussion/Sharing Session secara hybrid (luring dan daring) dengan tema “Human Capital Development Program untuk Reformasi Birokrasi Berdampak”, di Auditorium Sekretariat Wakil Presiden, Jalan Kebon Sirih Nomor 14, Jakarta Pusat, Rabu (13/07/2023).
Sekretaris Eksekutif KPRBN Eko Prasojo membuka acara sekaligus menjadi pembicara. Pembicara lainnya yang hadir dalam FGD tersebut, Plt. Kepala Badan Kepegawaian Negara Haryono Dwi Putranto; Direktur Human Resources PT. Nestle Indonesia Fahrul Irvanto, dan Vice President People Business Partner PT. Telkomsel Dudun Abdul Falah Sidiq.
Abdullah Azwar Anas, Menteri PANRB dalam sambutannya menyampaikan bahwa pengembangan sumber daya manusia/human capital development menjadi faktor kunci kesuksesan peningkatan kualitas pelayanan publik.
“Human capital development harus menjadi bagian integral dari strategi Reformasi Birokrasi berdampak. Dengan pengembangan ASN yang unggul akan mewujudkan birokrasi yang adaptif, responsif, dan berorientasi pada pelayanan yang berkualitas,” tegas Menteri PANRB.
Sebelumnya, ketika membuka acara Eko Prasojo menyampaikan sharing best practice pengembangan SDM di perusahaan swasta penting bagi birokrasi. Praktik baik pengelolaan SDM di sektor swasta perlu diadaptasi di sektor publik, meskipun terdapat perbedaan pada kedua sektor tersebut.
Dari forum ini, Eko menekankan, pengelola SDM di birokrasi diharapkan belajar mengenai bagaimana menyediakan SDM yang memiliki kompetensi yang selaras dengan kebutuhan pencapaian target program Reformasi Birokrasi (RB) Tematik. Hal ini sesuai dengan kebijakan/arahan strategis Presiden/Wakil Presiden agar dilakukan penajaman RB melalui Tematik dan RB berdampak langsung kepada masyarakat.
“Terdapat mismatch antara strategi pemerintah yang ada dalam RPJMN, RPJMD, Renstra, dan RKP dengan ketersediaan SDM yang sesuai kapabilitasnya,” ungkap Eko.
“Pengelolaan SDM Aparatur seringkali dihadapkan pada rendahnya pengelola SDM Aparatur, sangat sedikit yang memiliki certified human resource management dan mengikuti pelatihan pengembangan SDM,” tambahnya.
Sementara, sebagai Pembicara Eko memaparkan perberdaan dalam sektor publik dan privat.
“Empat perbedaan sektor publik dan privat: indikator kinerja sektor publik adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat, yang definisinya sangat luas, berbeda dengan privat yang hanya melihat dari profit yang diperoleh; komitmen political leader; banyaknya regulasi yang mengatur SDM, mulai dari UU, PP sampai dengan aturan di bawahnya lagi; serta culture dan tradisi terutama di daerah yang kental primordialisme,” urainya.
Menurut Eko, birokrasi perlu beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Sain itu, perlu penguatan peran unit pengelola SDM sebagai strategic partner, administratif expert, agent of change, culture enabler, dan champions dalam satu kelembagaan.
“Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan antara lain, seleksi ketat pengelola SDM, menyusun manajemen talenta nasional yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Nasional, dan membangun assessment center di setiap instansi pusat dan daerah,” jelasnya.
Dalam paparannya Eko juga menekankan, perlunya agenda strategis lain yang membutuhkan komitmen kuat dalam mengelola SDM dengan membangun organisasi berbasis kinerja dengan menyelaraskan kinerja individu dan kinerja organisasi. Selain itu, transformasi digital juga menjadi tantangan yang dapat membawa dampak bagi berkurangnya SDM birokrasi.
Di sisi lain, Fahrul Irvanto berbagi pengalaman tentang proses transformasi pengelolaan SDM PT. Nestle yang berjumlah sekitar 6.300 karyawan.
“Transformasi pengelolaan SDM dimulai dari struktur organisasi SDM ke dalam dua bagian besar, yaitu Human Resources (HR) Director sebagai center of expertise and service dan HR Interface to business,” ujarnya.
Fahrul menegaskan, HR Director harus memiliki skill yang mengerti cara mengelola teknis perusahaan, sedangkan HR interface to business menjalankan perannya sebagai komunikator kedalam dan keluar perusahaan. Transformasi lain di PT Nestle Indonesia, SDM dilihat dari perspektif yang berbeda.
“Kini HR menjadi strategic partner, proaktif, memiliki hubungan internal dan eksternal, memiliki knowledge tentang pengembangan SDM, strukturnya fleksibel dan ramping,” ungkapnya.
Dalam proses pengembangan kapasitas SDM, Fahrul menekankan, perlu dipastikan bahwa performa, potensi, dan rencana pengembangan karyawan sejalan dengan tujuan bisnis.
Sama halnya dengan Fahrul, Dudun Abdul juga berbagi pengalaman tentang pengembangan SDM di perusahaan yang ia pimpin, PT. Telkomsel.
“PT. Telkomsel sebagai perusahaan yang telah beroperasi selama 28 Tahun di Indonesia memiliki SDM yang harus bisa mendukung bisnis meskipun banyak tantangannya,” ungkap Dudun.
“HR memiliki peran sebagai strategic business partner, keberadaannya tidak lagi berada di belakang tetapi berdampingan dengan pelaksanaan bisnis perusahaan yang berprinsip reach beyond atau terus melampaui batas dalam hal inovasi, membantu sesama, memajukan bangsa Indonesia, dan membantu untuk menjadikan kehidupan yang lebih baik. Prinsip-prinsip tersebut terinternalisasi di setiap karyawan,” tambahnya.
Sementara, Haryono Dwi Putranto menyampaikan, sejak berlakunya UU ASN, pemerintah memberlakukan merit sistem untuk pengembangan SDM Aparatur di seluruh instansi pusat dan daerah. Penerapan kebijakan tersebut menjadi berbeda-beda karena kondisi SDM masing-masing instansi sangat beragam apalagi di daerah.
“Instansi pusat dan daerah yang jumlahnya lebih dari 600 instansi, hanya terdapat 14 instansi yang sudah membangun manajemen talenta. Instansi yang belum menerapkannya harus melakukan seleksi terbuka ketika ingin melakukan suksesi, sedangkan biaya untuk menyelenggarakan seleksi terbuka sangat besar dan membutuhkan waktu lama,” jelas Haryono.
“BKN memiliki tanggung jawab besar membangun manajemen talenta nasional,” imbuhnya.
Selain itu, Haryono mengungkapkan, selama ini penilaian kinerja individu belum berkontribusi terhadap penilaian kinerja organisasi. Transformasi penilaian kinerja diawali penyusunan kontrak kerja yang lebih agile, khususnya untuk jabatan fungsional agar memenuhi ekspektasi pimpinan dan organisasi. Sebelum melakukan penilaian individu maka harus memiliki data penilaian kinerja organisasi.
Haryono juga menjelaskan, dalam memperbaiki pengelolaan SDM di birokrasi masih ada beberapa kendala. Terdapat beberapa regulasi terkait manajemen ASN yang perlu disimplifikasi atau dijadikan satu. Disamping itu, intervensi politik dan kurangnya komitmen pimpinan juga masih menjadi hambatan.
FGD ini dihadiri langsung oleh pimpinan atau perwakilan dari biro organisasi kementerian/lembaga dan sekretaris daerah di wilayah Jabodetabek. Hadir pula secara daring, sekretaris daerah dan perwakilan dari Biro Organisasi atau SDM dari kabupaten/kota di seluruh Indonesia. (DK/BI/SK)