Jakarta, wapresri.go.id – Gerakan pendewasaan usia perkawinan harus dapat memberikan advokasi kepada masyarakat, bahwa usia perkawinan jangan hanya dilihat dari sisi “boleh”nya saja, tetapi yang paling penting adalah mengedepankan tujuan perkawinan yang harus memberikan maslahat, baik maslahat untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Hal itu dinyatakan Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat memberikan Keynote Speech pada acara Pembukaan Seminar Nasional dan Deklarasi Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Meningkatkan Kualitas Anak, Pemuda, Perempuan dan Keluarga melalui konferensi video di Kediaman Resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta, Kamis (18/03/2021).

“Hal yang paling utama untuk disiapkan sebelum perkawinan ialah kematangan kedua calon mempelai, khususnya kematangan mental terkait dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai suami/istri untuk melaksanakan perkawinan dan hidup bersama membina sebuah keluarga,” ungkap Wapres.

Lebih jauh Wapres menuturkan bahwa perintah untuk menikah yang merupakan salah satu Sunnah Rasul yang bertujuan untuk menciptakan generasi yang sholeh/sholehah, namun harus terlebih dahulu mengerti kewajiban dan hak dari pernikahan tersebut.

“Perintah nikah merupakan implementasi salah satu maqashid syariah, yaitu Hidzhun Nasl (menjaga keturunan). Kendati demikian, sangatlah penting bagi yang hendak melangsungkan pernikahan untuk memahami petunjuk agama dan negara serta memiliki bekal pengetahuan yang memadai agar pernikahannya sesuai dengan syariah dan memiliki kesiapan lebih baik untuk memiliki keturunan serta rumah tangga yang sejahtera,“ tuturnya.

Selain itu, Wapres juga menekankan pentingnya kemampuan untuk menikah yang tidak hanya kesiapan fisik semata sebatas kesiapan fisik reproduksi termasuk kehamilan dan persalinan.

“Kemampuan dimaksud janganlah dimaknai secara kuantitatif semata, tetapi harus dimaknai secara lebih kualitatif. Artinya, kemampuan di sini harus dimaknai dengan adanya kematangan individu secara fisik dan mental (istitoah), dalam artian lebih kualitatif”, jelas Wapres.

Untuk itu, Wapres mengungkapkan bahwa pentingnya membangun kemampuan berupa kematangan dalam memahami tujuan perkawinan seperti sabda Rasulullah, karena kurangnya kemampuan berpotensi menimbulkan dampak negatif.

“Ancaman kesehatan reproduksi, keselamatan persalinan, menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mencegah anak agar tidak mengalami stunting akibat tidak terpenuhi kebutuhan nutrisinya, atau anak-anak yang tidak cukup pendidikannya sehingga menciptakan generasi yang lemah,” ungkapnya.

Menutup sambutannya, Wapres memberikan apresiasi kepada MUI dan berharap Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia yang akan dilaksanakan ini harus dipahami sebagai suatu ikhtiyar bersama untuk menyiapkan masa depan Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

“Saya memberikan apresiasi kepada Majelis Ulama Indonesia yang telah menginisiasi terselenggaranya acara ini dan saya minta kepada Kementerian dan Lembaga terkait untuk ikut serta mensukseskan gerakan ini. Dengan senantiasa bertawakkal dan memohon ‘inayah dari Allah SWT, dengan ucapan “Bismillahirrahmanirrahim”, acara ini secara resmi saya nyatakan dimulai,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga (PRK)-MUI Siti Ma’rifah menyampaikan bahwa terjadinya peningkatan perkawinan anak, pada saat sebelum pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease-19), Indonesia menempati rangking ke-7 di dunia untuk perkawinan anak dan diprediksi akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia dalam rentang waktu 2020-2030 sebagai akibat pandemi Covid-19, sehingga perlu ada pencegahan perkawinan usia anak.

“Perlu ada gerakan bersama untuk meningkatkan kesadaran orang tua, keluarga pemuda dan anak itu sendiri agar perkawinan hanya dilakukan saat usia dewasa minimal 21 tahun, sebagai amanat Undang Undang Perkawinan, ini artinya semua pihak perlu melakukan berbagai upaya agar perkawinan usia anak tidak terjadi, ucapnya.

“Membiarkan praktek perkawinan anak yang hanya mendatangkan mudharat tidak sejalan dengan konsep kemashlahatan yang menjadi ruh syariat islam,” imbuhnya.

Sementara Ketua Umum MUI Miftachul Akhyar di tempat yang sama juga menjelaskan mengenai batasan usia yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu usia minimal pernikahan bagi perempuan 19 tahun, sedangkan laki-laki 21 tahun, namun menurutnya untuk mencapai perkawinan yang harmoni dan berkualitas dibutuhkan tanggung jawab dan pengetahuan yang komprehensif mengenai kehidupan perkawinan.

“Kalau belum memenuhi kriteria belum ada sebuah kebutuhan tujuan untuk kehidupan harmoni di dunia dan akhirat itupun perkawinan yang belum berkualitas apalagi hanya karena usia dini yang disitu akan menanggung sebuah kehidupan,“ jelasnya.

“Yang jelas Islam tanpa memberi batas usia, tetapi kedewasaan, kebertanggung jawaban dan itu dapat didapatkan siapa saja selama memiliki skill dan pemahaman yang benar lalu bertanggung jawab,” sambungnya.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia I Gusti Ayu Bintang Puspa Yoga juga menguraikan mengenai dampak perkawinan usia anak di Indonesia.

“Perkawinan anak yang tinggi akan menggagalkan banyak program yang dicanangkan oleh pemerintah baik itu Indeks Pembangunan Manusia, maupun tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) serta akan berdampak pada bonus demografi,” urainya.

“Marilah bersama-sama kita bangun sinergi yang kuat dan menatap satu tujuan bersama yaitu dunia yang ramah dan aman bagi anak-anak, dimana anak-anak bisa melalui masa tumbuh kembangnya secara optimal, berpartisipasi dan mencapai potensinya secara maksimal bebas dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah lainnya, karena melindungi anak Indonesia berarti menyelamatkan masa depan bangsa,” tutupnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Miftachul Akhyar dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia I Gusti Ayu Bintang Puspa Yoga telah menandatangani Naskah Kesepahaman (MOU) antara Majelis Ulama Indonesia dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan didampingi oleh Ketua Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga (PRK)-MUI Siti Ma’rifah dan Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga Amany Lubis.

Sebagai informasi, peserta seminar nasional ini kurang lebih dihadiri secara virtual oleh 1000 orang, diantaranya Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia Muhajir Effendy, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem A. Makarim, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Halim Iskandar, Pimpinan Lembaga dan Komisi MUI, Komisi PRK seluruh Indonesia, Organisasi Masyarakat Perempuan Tingkat Pusat, Pusat Studi Gender dan Anak, Lembaga di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MPPPA), Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Internasional dan Pusat Pembelajaran Keluarga Seluruh Indonesia. Sementara Wakil Presiden didampingi oleh Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohamad Oemar, Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi, dan Staf Khusus Wapres Bambang Widianto (NAR-BPMI, Setwapres)