Jakarta. Selain membangun pembangkit listrik baik berbahan bakar fosil, batubara, geothermal, dan sumber energi terbarukan lainnya, ada cara lain yang cukup ampuh untuk mengatasi kebutuhan listrik, yaitu efisiensi penggunaan listrik. Salah satu dampak dari efisiensi listrik di pemerintah adalah penggunaan kemeja batik. Berawal dari krisis listrik tahun 2005 karena naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), setelah dilakukan pengecekan ternyata pengunaan peralatan elektronik yang banyak digunakan adalah pendingin ruangan. “Pokoknya tidak boleh di bawah 25 derajat, karena itu orang tidak lagi pakai jas, tapi pakai batik,” kta Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat membuka Munas ke-6 Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) di Kantor Pusat PLN Jakarta, Rabu 12 Maret 2015.

Efisiensi juga dapat dilakukan dengan penggunaan lampu hemat energi, kemudian di rumah tangga disosialisasikan agar mematikan lampu bila keluar kamar, dan juga teknologi yang digunakan di kamar hotel yang listrik padam jika meninggalkan kamar. Teknologi yang menyebabkan efisiensi, kata Wapres, sebenarnya juga merupakan sumber energi. “Jepang berhasil keluar dari ksiris energi tahun 1974 karena itu kombinasi efisiensi dan tekonologi itu penting,” ujar Wapres.

Wapres mengawali sambutannya dengan menjelaskan betapa pentingnya listrik dalam kehidupan. Apabila kita berbicara listrik, kita berbicara kepentingan semua orang. Tidak satupun rakyat yang tidak punya kepentingan terhadap listrik. Menurut Wapres, dari infrastruktur yang ada, seperti jalan, listrik dan telekomunikasi, maka yang tidak tergantikan itu listrik. Bila jalan rusak, kita masih dapat menggunakan kereta api, bila KA rusak kita dapat menggatinya dengan pesawat. “Kalau listrik tidak ada, tidak ada penerangan jalan, handphone tidak nyala, komputer tidak nyala,” ucap Wapres.

Situasi ini, kata Wapres, menggambarkan rumah tangga di Indonesia sudah berkembang, karena saat ini di daerah perkotaan terutama, sudah tidak ada lagi yang tidur menggunakan tanpa pendingin ruang. Bahkan beberapa rumah tangga memiliki beberapa televisi, kulkas dan peralatan elektronik lainnya. “Semua butuh listrik, belum lagi industri yang kita harapkan, memerlukan infrastruktur dan listrik,” ujar Wapres.

Dalam pandangan Wapres, makin maju suatu bangsa makin banyak ketergantungannya kepada listrik. Pertumbuhan listrik itu, lanjut Wapres, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi negeri ini. Selama ini, kita telah melakukan salah perhitungan, pertumbuhan kita 6 persen, diperkirakan listrik membutuhkan pertumbuhan 9 persen, ditambah penyusutan maka listrik yang telah berusia 30 tahun mesti diganti, sehingga pertumbuhan listrik sebenarnya mencapai 15 persen dari yang ada.

Untuk itulah Wapres memperkirakan Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) akan terus-menurus disibukkan banyak kegiatan karena kebutuhan listrik kita terus meningkat. Lima tahun lalu diperlukan 25000 MW, dengan pertumbuhan 15 persen, berarti kita harus menambah 10000 MW.

Wapres menceritakan pengalamannya saat dirinya menjadi Wapres pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat membangun listrik 10000 MW tahap I, PLN dapat merealisasikannya meski banyak keterlambatan, karena banyaknya program mendesak. Ketika pembangunan listrik 10000 MW tahap II tidak berjalan, maka kini pemerintah bertekad membangun 35000 MW. “Untuk menutup pertumbuhan 15 persen pertahun, yang disebabkan gaya hidup yang naik, sehingga kemakmuran menyebabkan menambahnya kebutuhan listrik,” kata Wapres.

Mengingat pentingnya listrik bagi masyarakat, Wapres meminta agar pembangunan pembangkit listrik harus dapat dipenuhi secepat-cepatnya. Pembangunan pembangkit listrik tidak seperti membangun jalan, karena membangun jalan secara ekonomi layak, tetapi tidak layak dari perhitungan bisnis, sehingga tidak menguntungkan. “Listrik itu pasti penting, dan secara bisnis pasti menguntungkan,” kata Wapres.

Mengingat pembangunan pembangkit listrik merupakan bisnis yang menguntungkan, maka Wapres meminta agar pihak swasta dilibatkan dalam pembangunan pembangkit listrik 35000 MW. Mengingat PLN tidak akan mampu baik secara teknis dan keuangan jika harus bekerja sendirian.

Pembangunan pembangkit listrik lebih mudah dibandingkan pembangunan di bidang telekomunikasi, karena tekonologi listrik tidak banyak berubah. Di bidang telekomunikasi, perubahan begitu cepatnya, setiap tahun ada perkembangan, akhirnya investasi terus-menerus, salah sedikit bisa hancur karena begitu cepatnya teknologi berubah. Di bidang listrik, teknologinya memang sedikit konservatif, tetapi memerlukan investasi yang besar. “Memang ada masalah, kita butuh modal besar, kita gandeng asing, tapi tetap kita dahulukan siapa pengusaha nasional yang mampu,” ujar Wapres.

Belajar dari pembangunan pembangkit listrik tahap I, Wapres merasa pembangunan pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) lamban yang disebabkan negosiasi yang panjang sekali. Untuk turun USD 1 sen menunggu satu hingga dua tahun. Untuk itu, Wapres mengusulkan solusinya dengan penetapan harga, tidak perlu berpanjang-panjang melakukan negosiasi dan lamanya tidak boleh lebih dari sebulan. “Selain itu masih ada lagi, besok kita bikin peraturan diatasnya supaya aman, jangan bikin orang PLN ditangkapi,” kta Wapres.

Ketua MKI Hari jaya Pahlawan melaporkan bahwa MKI sebagai wadah pemangku kepentinggan di ketenagalistrikan telah mengadakan lima kali Munas dan berjalan dengan sukses. Tema Munas ke-6 adalah Kesiapan dan Terobosan Stake Holder Ketenagalistrikan dalam membangun pembangkit Tenaga Listrik 35000 MW.

Acara pokok dari Munas ke-6 ini adalah kepengurusan baru masa bakti 2015-2018, perubahan Anggaran Dasar dan penetapan garis besar program MKI tiga tahun mendatang.