Kyoto, wapresri.go.id – Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, baik dari segi agama maupun suku. Indonesia memiliki 17 ribu pulau dengan 269 juta penduduk, 714 suku, dan 1100 bahasa lokal (daerah). Sedangkan agama yang mendapatkan pengakuan resmi berjumlah enam agama, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Dalam menyikapi pluralitas ini, para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia telah merumuskan sebuah motto “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu” untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

“Karakter masyarakat Indonesia yang selalu mengedepankan tenggang rasa menjadi kunci dari kuatnya sikap toleransi dan persatuan ini,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat memberikan Kuliah Umum di hadapan sejumlah Sivitas Akademika Universitas Kyoto di Symposium Hall, Kyoto University, Jepang, Rabu (08/03/2023).

Oleh sebab itu, sambung Wapres, secara umum perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Indonesia tidak sampai menimbulkan pertikaian dan konflik yang keras.

“Jika terjadi benturan atau pertikaian, baik terkait dengan orientasi keagamaan, kepentingan politik, atau ekonomi, masyarakat biasanya menggunakan kearifan lokal untuk meredam konflik [tersebut],” ujarnya.

Tidak hanya itu, tutur Wapres, pemerintah Indonesia sendiri memegang prinsip kebebasan beragama dengan berdasarkan ideologi Pancasila dan sistem negara yang demokratis. Dalam mewujudkan kebebasan beragama tersebut, bangsa Indonesia juga tetap menjaga prinsip toleransi yang sejatinya telah menjadi bagian dari sejarah bangsa.

“Kami memperkuat manajemen moderasi beragama untuk merawat kemajemukan dalam masyarakat Indonesia,” tegasnya.

Adapun untuk merawat kedamaian dan kerukunan masyarakat, papar Wapres, pemerintah menggunakan empat bingkai pendekatan.

“Pertama adalah bingkai teologis, yakni mensosialisasikan teologi kerukunan dan kedamaian pada masing-masing agama yang ada di Indonesia,” terangnya.

Kedua, sebut Wapres, adalah bingkai politik, yakni penguatan loyalitas kesepakatan nasional (al-mitsaq al-wathani), terutama Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“[Ketiga], bingkai sosiologis, yakni revitalisasi kearifan lokal yang mendukung kehidupan yang damai dan rukun. Setiap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal untuk menyelesaikan pertikaian dan konflik di masyarakat,” urainya.

Selanjutnya yang keempat, ungkap Wapres, adalah bingkai yuridis, yakni penguatan regulasi tentang kehidupan bangsa secara rukun dan damai serta penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.

“Dalam konteks teologi kerukunan tersebut, Indonesia mendorong ikatan persaudaraan untuk memperkuat Indonesia yang plural,” ujarnya.

Ikatan persaudaraan tersebut, kata Wapres, meliputi empat bentuk, yakni persaudaraan dalam agama Islam (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan keagamaan (ukhuwwah diniyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).

“Untuk merawat kondisi tersebut, pemerintah dan organisasi-organisasi keagamaan Indonesia mempromosikan Dialog Lintas Agama (Interfaith Dialogue),” tuturnya.

Dalam kaitan ini, terang Wapres, dialog menjadi kata kunci dan dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan dan juga mengantisipasi masalah di masa mendatang, baik dalam ranah multilateral, regional maupun bilateral, demi menggemakan suara kaum moderat (empowering the moderates).

“Di samping itu, kami juga membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang anggotanya terdiri dari majelis-majelis agama yang ada di Indonesia untuk mencegah terjadinya konflik berlatar belakang agama dan sekaligus menyelesaikan perselisihan internal dan lintas umat beragama,” paparnya.

Lebih jauh, dalam kuliah umum yang mengusung tema “Pengalaman Indonesia dalam Memperkuat Dialog Lintas Agama dan Islam Moderat sebagai Kontribusi untuk Menciptakan Perdamaian Dunia” ini, Wapres mengungkapkan bahwa banyak pihak yang mengharapkan agar masyarakat dan pemerintah Indonesia berbagi pengalaman dengan negara-negara lain, baik dalam hal menampilkan corak keberagamaan (keislaman) yang moderat (wasathiyyah) maupun dalam hal kehidupan keagamaan yang sangat damai dan harmoni.

“Dalam konteks hubungan internasional, Indonesia telah menetapkan prioritas Politik Luar Negeri Indonesia yang dikenal dengan Prioritas 4+1, di mana salah satunya adalah Prioritas III, yaitu Diplomasi Kedaulatan dan Kebangsaan,” jelasnya.

Adapun fokus utama dalam diplomasi yang dilakukan, menurut Wapres, adalah menjaga keutuhan NKRI dan kerja sama untuk menyebarkan identitas bangsa berupa toleransi, kemajemukan, dan demokrasi, serta kerja sama menangkal radikalisme dan terorisme. Langkah diplomasi perdamaian telah menjadi nafas dan jiwa bangsa yang diamanatkan dalam Konstitusi UUD 1945 untuk ikut serta dalam perdamaian dunia.

“Indonesia mendorong penyelesaian konflik di beberapa negara, termasuk Indonesia aktif mengirimkan misi penjaga perdamaian dan misi kemanusiaan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia mendukung pentingnya penyelesaian diplomatik dengan pendekatan ‘win-win solution’ dari setiap konflik antarnegara,” ungkapnya.

Kemudian di antara program unggulan diplomasi pemerintah Indonesia, kata Wapres, adalah Dialog Lintas Agama (Interfaith Dialogue).

“Dalam pelaksanaannya, kegiatan Dialog Lintas Agama bersifat inklusif dengan pemerintah sebagai fasilitator dan melibatkan non-state actors dari berbagai latar belakang, antara lain pemimpin agama, akademisi, perempuan dan pemuda,” pungkasnya. (EP-BPMI Setwapres)