HKI

Pembukaan Seminar Proteksi dan Monetisasi Hak Kekayaan Intelektual untuk Industri Film di Indonesia

Jakarta. Pada saat ekonomi dunia, terutama ketika pusat industri beralih ke Tiongkok, menimbulkan pertanyaan di benak mereka yang tinggal di Amerika Serikat. Apalagi yang menonjol di AS, jika industrinya sudah tidak menonjol. Jawabanya, kata Wapres, pertama adalah hiburan, khususnya film; kedua, bidang teknologi informasi; dan ketiga adalah sektor pertahanan. “Artinya film di negara besar dapat berkembang karena konsistensi,” ucap Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada Pembukaan Seminar Proteksi dan Monetisasi Hak Kekayaan Intelektual untuk Industri Film di Indonesia di Hotel JS Luwansa, Rabu 6 Mei 2015.

Wapres menggarisbawahi bahwa hal terpenting dari sebuah film adalah mutu, karena penonton ingin menonton film dengan enak. Wapres mengatakan bahwa dirinya telah beberapa kali menonton film tentang biografi, sejarah orang-orang besar. “Film seperti ini mengandung tuntunan dan tontonan,” ujar Wapres.

Beberapa film, lanjut Wapres, ada yang mengandung tuntunan yang bagus, tapi tontonan tidak bagus, dan ada yang sebaliknya. Tapi tidak sedikit pula, tuntunan dan tontonan sama baiknya. Untuk mendapat tontonan yang baik, perlu biaya besar, meski ada yang kreatif hingga tidak memerlukan biaya besar. “Untuk menguntungkan harus dijaga agar tidak dibajak sana-sini. Yang dibajak adalah film yang baik,” ujar Wapres.

Wapres mengingatkan kalau hak kekayaan intelektual (HKI) tidak dijaga, maka pengusaha tidak untung. “Kalau tidak untung, tidak bisa bikin film baik,” pesan Wapres.

Untuk itulah tugas kita adalah membuat film yang baik dan menjaga HKI. Film yang dimaksud disini adalah film yang hidup secara komersial, bukan karena banyaknya sponsor. Film yang baik, kata Wapres, harus dapat menjaga mutu, baik dari sisi cerita, skenario, maupun editing, sehingga industri film dapat lebih berkotribusi pada perekonomian nasional.

Tentang HKI, Wapres menyebutkan bahwa Undang-Undang telah ada, aturan dan kebijakannya pun sudah banyak. Sehingga, kata Wapres, masalah pembajakan film ini terkait dengan teknologi. “Teknologi harus dilawan dengan teknologi, apalagi begitu mudah dijiplak,” kata Wapres.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan pihak Kepolisian untuk menjaga agar tidak terjadi pembajakan. Seringkali jika pihak Kepolisian melakukan sweeping, maka saat itu CD dan DVD bajakan hilang dari pasaran,tapi setelah tidak ada lagi sweeping, maka CD dan DVD bajakan tersebut muncul lagi di pasaran.

Kesulitan lainnya adalah banyaknya dilema di tanah air bila dilakukan sweeping terhadap barang-barang bajakan, karena sering dikatakan pemerintah tidak pro pengusaha kecil. Maka, kata Wapres, Pemerintah dipimpin Menteri Hukum dan HAM yang mempunyai kewenangan untuk menjaga HKI dan aparat hukum lainnya untuk lebih intensif menjaga pembajakan itu.

Menurut Wapres, salah satu penyebab dari maraknya pembajakan film adalah mahalnya harga tiket untuk menonton di bioskop. Dengan tarif yang mahal, kata Wapres, jangan harap yang memiliki penghasilan rendah akan hadir di bioskop. Rata-rata harga tiket untuk menonton di bioskop adalah Rp. 50.000, sebanding dengan gaji satu seorang buruh. “Akhirnya beli CD bajakan Rp. 10.000 dan menonton bersama-sama,” kata Wapres.

Saat ini tidak ada lagi investor yang berminat untuk membangun bioskop murah. Wapres teringat dirinya ketika muda, banyak anak-anak muda di jamannya yang memilih bioskop sebagai tempat dating. “Teknologi sudah mengubah dan kita tidak bisa kembali ke belakang. Bagaimana kita melihat ke depan,” ucap Wapres.

Dalam laporannya, Ketua Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengatakan bahwa film merupakan karya seni yang mempunyai potensi besar. Ia juga menyebut bahwa film dapat menjadi soft power dari suatu bangsa dan juga alat diplomasi yang sangat handal. “Film menjadi penggerak roda ekonomi,” ujar Munaf.

Munaf mencontohkan bagaimana Jepang, Korea Selatan, dan hongkong memiliki industri film yang sangat maju dan dapat bersaing dengan negara maju lainnya. Untuk menjadikan industri film di Indonesia maju, Munaf menyebutkan ada beberapa pekerjaan harus dilakukan untuk menghasilkan ekosistem yang sehat, karena hingga saat ini potensi industri film tidak dapat dirasakan secara maksimal.

Hak Kekayaan Intelektual, kata Munaf, merupakan salah satu prioritas Badan Ekonomi Kreatif. Untuk itulah bersama Asosiasi Perfilman Indonesia mengadakan Seminar Proteksi dan Monetisasi Hak Kekayaan Intelektual untuk Industri Film di Indonesia.

Tampak hadir mendampingi Wapres, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dan Ketua Umum Asosiasi Perfilman Indonesia Timothy.

****