Jakarta. Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku, ras dan agama diharapkan dapat hidup berdampingan satu sama lain dengan damai. Harmonisasi hidup antar sesama sangatlah dibutuhkan agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. “Mendamaikan permusuhan butuh waktu yang lama, tetapi membuat permusuhan cukup mudah dan cepat,” pesan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat membagikan pengalamannya kepada peserta World Peace Forum 2014 yang hadir dalam Jamuan Santap Siang di Istana Wakil Presiden, Jumat, 21 November 2014.

Wapres menyebutkan setidaknya telah terjadi 15 konflik besar sejak Indonesia merdeka, dengan korban jiwa mencapai lebih dari 1000 orang. Selanjutnya ia berpandangan bahwa 10 dari 15 konflik yang terjadi disebabkan oleh ketidakadilan sosial ekonomi. Hal ini hampir terjadi di semua negara, Wapres mencontohkan beberapa negara tetangga seperti Philipina, Malaysia, Thailand dan Myanmar pun mengalami permasalahan konflik yang relatif sama.

Wapres menegaskan bahwa konflik yang terjadi di Poso dan Ambon bukanlah murni bermotifkan agama, melainkan adanya pertikaian demokrasi. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan dalam menyikapi hasil berdemokrasi. Wapres kemudian mencontohkan bagaimana orde baru era Presiden Soeharto menjadikan Maluku yang merupakan daerah berpopulasi seimbang antara Islam dan Kristen harmonis, dengan membagi kekuasaan Gubernur dan Wakil Gubernurnya secara merata. “Apabila Gubernur Maluku seorang Kristen, maka Wakil Gubernurnya seorang muslim, demikian pula sebaliknya,” ujar Wapres Jusuf Kalla.

Wapres juga menyinggung seringkali konflik yang berlatar belakang agama mudah meledak ke permukaan disebabkan oleh pemaknaan yang kurang tepat mengenai perjuangan agama. “Membunuh atau dibunuh masuk surga,” ujar Wapres.

Wapres pun mengingatkan sangat berbahaya melibatkan agama dalam setiap permusuhan atau pertikaian. Lebih jauh dalam pengalamannya di Ambon, dimana 1000 orang terbunuh dalam waktu dua tahun, Wapres meminta masyarakat kembali pada Quran dan Injil sebagai pedoman hidup mereka. “Tunjukkan pada saya apakah ada dalam Quran dan Injil, jika kalian membunuh sesama kalian akan masuk surga, tidak ada kan,” terang Wapres kepada peserta WPF.

Wapres pun sempat menantang masyarakat Ambon akan dipersenjatai dan dipersilahkan untuk saling membunuh kepada sesamanya dan ternyata mereka menolak. Akhirnya proses perdamaian mencapai kata sepakat hanya dalam waktu dua minggu.

Sementara itu, Wapres menceritakan bahwa perdamaian di Aceh disebabkan ketidakadilan ekonomi. Sebagian lagi disebabkan perbedaan budaya, karena banyaknya orang jawa yang datang ke Aceh dan sukses menyebabkan ketimpangan sosial. Akhirnya kesepakatan dapat dicapai setelah pemerintah pusat memberikan Aceh pembagian hasil minyak bumi sebesar 70 persen dari sebelumnya yang hanya 50 persen. Wapres menegaskan sekali lagi pentingnya pembicaraan damai sehingga timbul harmonisasi.

Indonesia yang terdiri dari 300 suku, 5 agama, 300 bahasa lokal dapat hidup dengan harmonis walaupun beberapa kali terjadi unjuk rasa. Pemerintah berusaha mengakomodir semua kepentingan masyarakat, termasuk kaum minoritas seperti budha dan konghucu. “Islam mendapatkan empat hari libur, Katholik dua, Kristen dua, Budha 1, bahkan orang Cina Konghucu dapat 1 hari libur,” tandas Wapres tersenyum disambut tepuk tangan hadirin.

Selain itu, Wapres juga mengungkapkan harmonisasi tergambar dalam pembentukan kabinet pemerintahannya saat ini. Walaupun mayoritas muslim namun kabinet mengakomodir semua agama, termasuk yang minoritas.

Sebelumnya Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam pengantarnya memperkenalkan Wapres Jusuf Kalla sebagai sosok yang berpengalaman dalam mengkreasikan perdamaian di Indonesia. “Bagi saya dan kebanyakan rakyat Indoesia, Pak Jusuf Kalla memang figur yang benar-benar menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi,”.

Pada saat Indonesia ditimpa beberapa konflik di era reformasi 1998 seperti konflik vertikal antara pemerintah dengan rakyat di Aceh dan konflik horisontal antara muslim dan kristen seperti di Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah. Din Syamsuddin berpandangan konflik yang terjadi bukanlah konflik bermotifkan agama, namun agama hanyalah dijadikan alat untuk pembenaran saja. (Taufik Abdullah)

****