Lampung. Produksi kopi Indonesia mengalami kemunduran dibandingkan dengan Vietnam, padahal Vietnam dahulu belajar membudidayakan dan menghasilkan kopi terbaik di Indonesia. Untuk itu pemerintah daerah harus mendukung peningkatan produksi kopi dan kesejahteraan petani kopi agar Indonesia menjadi produsen kopi nomor 2 di dunia setelah Brazil. Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika memimpin Rapat Nasional Pengembangan Kopi, Sabtu, (13/2/2016) di Rumah Jabatan Gubernur Lampung.

Lampung terpilih menjadi tempat diselenggarakannya rapat karena Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia. Rapat dihadiri Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Perindustrian Saleh Husein, Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo dan beberapa gubernur di Sumatera, serta para eksportir dan pengusaha kopi untuk mencari solusi peningkatan produksi kopi Indonesia yang mengalami penurunan produksi.

Dalam pertemuan tersebut, Wapres menyoroti produksi kopi di Indonesia yang hanya mencapai 700 – 900 kilogram (kg)/Hektar per tahunnya, dengan produksi sejumlah itu diyakini Indonesia tak mampu bersaing dengan Vietnam yang mampu menghasilkan kopi sekitar 1,2 juta ton/Ha per tahunnya.

“Sekarang kebutuhan kopi sudah naik sampai 15% per tahun, di lain pihak produksi kita hanya naik 1% per tahun. Malah kopi pertumbuhan stagnan di 600rb ton, hingga kita menjadi di nomor 4 [di dunia]. Dulu Vietnam belajar kopi dari kita, sekarang Vietnam hampir sudah 2 kali lipat [produksinya] dari kita, kita 630 ribu ton/Ha menurut perhitungan BPS, Vietnam 1,2 juta ton,” ungkap Wapres.

Untuk itu Wapres meminta agar pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian membantu petani di daerah dalam hal subsidi modal, pupuk, penyuluhan, teknis peremajaan, dan teknis rehabilitasi lahan. Padahal menurut Wapres, kopi telah menjadi bagian gaya hidup serta kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan menjamurnya gerai-gerai kopi, bahkan Wapres juga sempat menyinggung kasus kopi sianida yang sempat ramai diberitakan oleh media.

“Kopi seperti saya katakan tadi tidak hanya sekedar minuman tapi lifesytyle, gaya hidup. Orang biasanya dulu tidak pernah minum kopi, tapi sekarang kalau tidak minum kopi dianggap ketinggalan. Kopi macamnya juga ribuan, mulai kopi biasa, cappucinno, tidak seperti dulu ibu kita membuat kopi,” jelas Wapres.

Wapres menegaskan petani tidak perlu khawatir masa depan kopi, tapi yang menjadi fokus perhatian adalah tingkat produksi yang menurun, pada saat permintaan naik, beda dengan kelapa sawit, batu bara dimana permintaan menurun.

“Karena itulah kebijakan pemerintah, saya memerintahkan Menteri Pertanian untuk  semua komoditi pertanian dan perkebunan yang mempunyai basis kerakyatan harus terus ditingkatkan,” pesan Wapres.

Menurut Wapres penting bagi pemerintah daerah untuk memahami, basis perkebunan rakyat berbeda dengan perkebunan yang dimiliki oleh PMA, seperti perkebunan kelapa sawit, meskipun untung besar yang menikmati sebagian besar keuntungan bukanlah rakyat. Namun perkebunan kopi dan coklat yang merupakan perkebunan rakyat pasti keuntungannya langsung dirasakan oleh petani. Meskipun kelemahan perkebunan rakyat adalah penggunaan teknologi yang kurang membuat hasil produksi tidak optimal, lahan yang tidak terlalu luas hingga menghambat teknik peremajaan lahan Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dan pemberi modal. Disamping itu, dibutuhkan perencanaan yang lebih baik agar mencapai target peningkatan produksi dan peningkatan peringkat penghasil kopi.

“Jadi kalau kita lihat jalurnya yang harus diperhatikan, pemberian pupuk, bibit, tenaga kerja, penyuluhan, pendidikan dan pengawasan dari dinas terkait,” tegas Wapres.

Wapres mengajak pemerintah daerah menjalankan tugasnya mendukung petani dengan kelima hal tersebut, dan menurutnya merupakan tugas pemerintah pusat memastikan ketersediaan bibit dan pupuk.

Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menanggapi pertanyaan Wapres Jusuf Kalla mengenai usaha pemerintah pusat dan stakeholder pendukung produsen kopi, dengan memberikan pemaparan hasil rapat terbatas antara Kementan, Kemenperin dan pengusaha kopi. Dalam paparannya Amran menyebutkan, bahwa target Kementan adalah kemudahan pemberian subsidi modal para petani kopi melalui pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai 4,4 Trilyun bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI), sertifikasi lahan seluas 600 ribu Hektar, penambahan penyuluh pendamping untuk petani, dan penggunaan teknologi agar hasil produksi kopi meningkat dan menjadi hasil olahan yang bervariasi.

“Dari 1,2 juta Ha lahan kopi di Indonesia sebanyak 50% lahan tersebut memerlukan peremajaan kembali karena perlu teknis khusus,” jelas Amran.

Wapres menyambut baik sasaran target Kementan tersebut dengan catatan pemberi modal harus mampu memberikan kredit investasi bukan pinjaman biasa, untuk itu bunga pinjaman harus diturunkan. Dalam hal penambahan penyuluh, Wapres menyarankan pendamping selain yang berasal dari kementerian pertanian, pemberdayaan mahasiswa yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) juga merupakan jalan keluar agar penyuluh pertanian bertambah. Untuk itu, pemerintah daerah harus bekerja sama dengan universitas-universitas yang memiliki fakultas pertanian. Sedangkan penggunaan teknologi menurut Wapres merupakan hal yang mutlak agar kopi yang dihasilkan mampu bersaing dengan kopi dari luar negeri.

Dengan peningkatan produksi kopi, Wapres menargetkan penghasilan petani juga akan naik. Wapres berhitung, bahwa jika hanya menghasilkan 700-900 Kg/Ha per tahun maka pendapatan petani kopi hanya berkisar 1,2 juta per bulan hingga dipastikan pendapatannya dibawah Upah Minium Regional (UMR). Petani kopi dengan mampu mencapai target 1,2 juta ton/Ha per tahun makapenghasilan diperkirakan naik hingga 2,5 juta/bulan, dengan tingkat beli kopi dipasaran 18 – 22 ribu per kilogram.

Di akhir rapat, Wapres menegaskan kembali agar pembuat kebijakan dan stakeholder yang bertanggung jawab atas peningkatan produksi kopi, yaitu pemerintah daerah, kepala daerah, pengusaha kopi, badan penelitian dan pengembangan kopi, serta perbankan mau mendukung petani kopi agar produksi petani meningkat mencapai target nomor 2 di dunia.

 

Berdialog dengan Petani Kopi

Wapres Jusuf Kalla dalam kunjungan kerjanya juga menyempatkan berdialog dengan petani kopi dari berbagai kelompok usaha tani yang dibina oleh PT. Nestle Indonesia. PT. Nestle Indonesia sejak tahun 1994 telah memiliki program memberikan bimbingan teknis kepada petani kopi agar petani kopi  mampu menanam kopi terbaik dan menghasilkan kopi grade 1 yang banyak dibutuhkan oleh pasaran internasional.  Dengan bimbingan yang memakan waktu 6 bulan setiap tahunnya itu, saat petani sedang tidak panen, petani kopi di Lampung merasakan bahwa mereka sekarang mampu meningkatkan mutu kopi yang mereka tanam.

Namun hal tersebut bukan berarti tanpa masalah, para petani masih mengharapkan agar pemberi modal dapat menurunkan bunga pinjaman, mereka juga meminta agar pemerintah daerah memperbaiki jalan dan infrastruktur yang rusak, karena dengan jalan yang rusak maka biaya transportasi naik. Hal ini merugikan petani kopi untuk membawa hasil produksinya ke pabrik pengolahan. Petani juga menginginkan penyuluhan yang lebih banyak karena dengan perubahan cuaca yang tejadi akhir-akhir ini. Petani merasakan bahwa tanah yang ditanami kopi berbeda-beda perawatannya.

Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi usaha PT. Nestle dan kemauan keras petani kopi untuk berusaha bersama-sama meningkatkan produksi kopi di Indonesia. Wapres juga meminta kesanggupan petani kopi bahwa dalam empat tahun harus meningkatkan produksi kopi hingga 1,2 juta ton/Ha per tahun. Para petani menyanggupi permintaan tersebut dengan meminta dukungan dari pemerintah daerah dan PT. Nestle. (Gita Savitri)