Jakarta, wapresri.go.id – Dalam satu dekade terakhir, ekonomi dan keuangan syariah global mengalami pertumbuhan yang fantastis. Hal ini disebabkan salah satunya karena semakin banyaknya kelas menengah baru muslim yang ingin tetap melakukan aktifitas ekonominya secara syar’i, termasuk umat muslim di Indonesia. Namun, praktik ekonomi dan keuangan syariah yang berjalan sekarang ini terkadang tidak ditemukan jawabannya secara eksplisit di dalam kitab suci Al-Quran, Sunnah Rasulullah maupun kitab fikih mu’tabarah (standar). Untuk itu, diperlukan peran ulama dalam mencari solusi terkait isu-isu ekonomi dan keuangan syariah saat ini.

“Maka para ulama kontemporer dituntut untuk melakukan ijtihad, yaitu upaya sungguh-sungguh untuk memberikan jawaban secara syar’i terhadap setiap permasalahan ekonomi yang muncul saat ini. Dalam konteks inilah fatwa para ulama kontemporer menjadi sangat penting,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K. H. Ma’ruf Amin saat membuka Forum Internasional Isu Fikih Kontemporer Pada Ekonomi dan Keuangan Syariah melalui konferensi video dari kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro No. 2, Jakarta, Selasa (27/10/2020).

Lebih lanjut Wapres mengungkapkan, di Indonesia, peran penting tersebut selama ini dijalankan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI telah menjadi rujukan resmi dalam pemenuhan aspek kesyariahan, terutama dalam bidang ekonomi dan keuangan.

“Fatwa terkait ekonomi secara umum ditetapkan oleh komisi fatwa MUI, sedangkan fatwa terkait keuangan dan bisnis syariah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional–MUI (DSN-MUI),” terangnya.

Wapres pun menjelaskan, fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI merupakan upaya menjawab ide yang muncul dari berbagai pihak, yakni regulator seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan, pelaku usaha, Dewan Pengawas Syariah (DPS) serta inisiatif MUI. Adapun fatwa MUI terkait ekonomi dan bisnis syariah merupakan titik temu antara nilai-nilai muamalah Islami dengan pranata bisnis yang ditetapkan melalui ijtihad kolektif (ijtihad jama’i) antara para ulama dan cendekiawan multi disiplin ilmu.

“Sehingga output (hasil) fatwanya bisa implementatif dan benar-benar memberikan solusi terbaik bagi para regulator, pelaku usaha dan umat Islam secara umum,” ucapnya.

Dalam kesempatan tersebut, Wapres juga menerangkan, secara garis besar fatwa MUI ditetapkan dengan mengedepankan prinsip tawasshuthy (pendapat yang moderat), bukan yang tasyaddudi (sangat ketat) atau tasahuly (sangat longgar). Untuk penetapan fatwa terhadap kehalalan produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika, MUI menggunakan prinsip al-akhdhu bil ahwath dan al-khuruj min al-khilaf, yang artinya mengambil pendapat yang paling berhati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat.

“Sedangkan terkait fatwa tentang ekonomi dan keuangan, MUI menggunakan prinsip al-akhdzu bi al-ashlah dan mura’atu al-khilaf, artinya mengambil pendapat yang paling membawa maslahat dan mengambil pendapat yang paling meringankan dengan tetap memperhatikan perbedaan pendapat,” papar Wapres.

Selain itu, Wapres juga menyampaikan, terdapat 4 prinsip fikih yang dijadikan landasan dalam menetapkan fatwa MUI, yaitu al-Taysir al-Manhaji (memilih pendapat yang lebih meringankan namun tetap dalam koridor aturan penetapan sebuah hukum), Tafriq al-Halal ‘An al-Haram (pemisahan harta halal dari yang haram), I’adah al-Nadhar (telaah ulang), dan Tahqiq al-Manath (analisa untuk mengetahui adanya alasan hukum lain dalam satu kasus).

“Salah satu pendekatan dalam menetapkan fatwa tentang ekonomi dan keuangan syariah, MUI terlebih dahulu melakukan pembahasan secara komprehensif terhadap suatu masalah dengan semua pihak. Oleh karenanya fatwa MUI dianggap sebagai fatwa yang paling applicable (bisa diaplikasikan),” ungkapnya.

Mengakhiri sambutannya, Wapres berharap apa yang disampaikannya dapat memberikan kontribusi dalam merumuskan permasalahan terkait keuangan dan syariah saat ini.

“Dari uraian yang saya sampaikan ini, diharapkan menjadi salah satu rujukan dan merupakan sumbangan model bagi perumusan dan cara atau kaifiyah di dalam pembahasan isu fikih kontemporer tentang ekonomi dan keuangan syariah,” pungkas Wapres.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Wimboh Santoso mengatakan, acara ini menjadi momentum yang tepat untuk menjadikan keuangan syariah sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, serta role model (contoh) dalam berbagai produk keuangan. Ia pun berpendapat bahwa fatwa merupakan ruh atau jiwa dari keuangan syariah.

“Salah satu isu penting dalam penerapan aspek keuangan syariah bukan hanya fatwa saja tetapi lebih dari itu. Yakni isu bagaimana setiap fatwa ini bisa diimplementasikan dan dipahami dengan baik oleh semua pihak,” tuturnya.

Sementara Gubernur Bank Indonesia Perry warjiyo menyatakan, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin dalam keuangan syariah global. Oleh karena itu, fatwa menjadi hal penting agar setiap produk syariah sesuai dengan prinsip syariah.

“Indonesia berpotensi menjadi leader (pemimpin) dalam keuangan syariah global. Upaya ini tidak lepas dari dukungan fatwa sebagai bentuk dukungan kesesuaian pada prinsip syariah.” Sebutnya

Forum Internasional Isu Fikih Kontemporer Pada Ekonomi dan Keuangan Syariah merupakan bagian rangkaian Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) yang diadakan sepanjang Oktober 2020. Acara tersebut juga menampilkan pembicara dari dalam dan luar negeri untuk membahas isu-isu fikih kontemporer pada sistem ekonomi dan keuangan syariah.

Turut hadir pada acara tersebut para pimpinan Bank Indonesia, pengurus MES di pusat, daerah dan luar negeri, serta pengurus DSN-MUI. (PW/AF/SK-KIP, Setwapres)