Persepsi dan amplifikasi sebagian netizen pada pernyataan Wapres tentang wafatnya ulama dengan ilustrasi perbandingan wafatnya satu kabilah, perlu diberikan klarifikasi.

Pernyataan Wapres yang mengutip hadis riwayat Al-Thabrani itu bukan dengan intensi merendahkan siapapun. Sekali lagi, itu kutipan hadis. Bukan pernyataan pribadi Wapres.

Hadis itu dikutip dan diterjemahkan Wapres apa adanya, tanpa ditambah-tambahi. Namun, pengutipan hadis itu perlu dipahami dalam konteks sambutan Wapres lebih utuh. Konteksnya adalah untuk memberi gambaran tentang betapa dalamnya rasa kehilangan kita dengan wafatnya ulama.

Momentum pernyataan itu, Wapres tengah memberi apresiasi program Baznas bertajuk “Kita Jaga Kyai”. Kyai adalah sebutan untuk ulama di Indonesia. Ulama itu figur berilmu. Dalam sambutan itu, Wapres tidak membatasi ahli ilmu hanya pada bidang agama, tapi juga ilmuwan dan cendekiawan secara luas.

“Dalam beberapa bulan terakhir, banyak kyai, ulama, pengasuh pesantren, cendekiawan, ilmuwan Indonesia yang meninggal dunia,” kata Wapres.

Karena dalam acara Baznas, yang mengelola dana sosial Islam, yakni zakat, infak dan sedekah, Wapres merujuk perspektif Islam tentang musibah wafatnya ilmuwan, para ahli ilmu, para alim, dan ulama.

Wapres menguraikan peran penting ulama dalam tiga aspek: keagaman, peradaban, dan kebangsaan. Dari sisi keagamaan, ulama adalah pewaris para Nabi. Dari sisi peradaban, ulama berperan dalam transformasi ilmu dan peradaban. Dari sisi kebangsaan, ulama mengajarkan sikap patriotik, cinta tanah air, bela negara, dan perjuangan kemerdekaan.

“Para kyai dan ulama sebagai pewaris para Nabi telah mentransformasikan ilmu dan peradaban, menjaga, mendidik dan melakukan berbagai perbaikan di segala bidang,” kata Wapres.

“Para kyai dan ulama juga mengajarkan sikap patriotik, cinta tanah air (hubbul wathan) dan bela negara. Jasa dan peran besar para kyai, para ulama dan pondok pesantren terhadap perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa sangat besar. Tidak bisa dihargai dengan sekadar materi,” ungkap Wapres.

Untuk memperkuat narasi tersebut, Wapres mengutip hadis, yang lengkapnya:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

“Meninggalnya seorang ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal, laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih ringan dari meninggalnya satu orang ulama.” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).

Nada dan intensi hadis itu bukan untuk merendahkan wafatnya orang satu kabilah. Kalimat itu perlu dipahami sebagai ungkapan ilustratif, kiasan, atau amtsal, untuk menghargai sosok ulama dan ilmuwan di tengah masyarakat.

Wafatnya orang satu suku atau satu kabilah jelas sebuah musibah besar, sebuah kehilangan besar, dan wafatnya seorang ulama adalah musibah yang jauh lebih besar. Demikian pemaknaannya. Jadi, sama sekali bukan untuk merendahkan peristiwa wafatnya orang satu suku.

Jangankan kehilangan nyawa satu suku, dalam Islam, kehilangan satu nyawa saja adalah sebuah catatan serius. Tidak mungkin direndahkan. Maka satu dari lima tujuan utama syariah atau maqashidus syari’ah adalah menjaga jiwa (hifdhun nafs).

Surat Al Maidah ayat 32 menyatakan, siapa yang membunuh satu orang secara tidak sah, setara dengan membunuh seluruh manusia.

Demikian,

Jakarta 9 Agustus 2021

Jubir Wapres Masduki Baidlowi