Jakarta. Saat ini, Indonesia menjadi sorotan global di tengah berbagai konflik agama dan etnis yang terjadi di dunia. Pasalnya, negara dengan mayoritas jumlah penduduknya muslim ini, dianggap mampu dalam menciptakan perdamaian dan kerukunan beragama. “Kuncinya apa? Karena kita menerima minoritas. Mayoritas dan minoritas hidup berdampingan,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menghadiri forum global Resolusi Konflik di Asia Tenggara, yang diselenggarakan oleh Wilton Park, Kamis, 12 Februari 2015, di Hotel Darmawangsa, Jakarta.

Kerukunan ini, kata Wapres, dapat terjadi karena ada hal-hal yang mendukung. Agama-agama yang diakui di Indonesia, mendapat perlakuan sama oleh pemerintah, yaitu perayaan hari besar agama menjadi libur nasional. Jumlah penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, dan 88% menganut agama Islam. Namun setiap tahunnya, masing-masing penganut agama diberikan hak yang sama untuk merayakan hari besar agama mereka. “Penganut agama Budha, misalnya, walaupun kurang dari satu persen dari penduduk Indonesia, mendapatkan libur nasional juga,” terang Wapres.

“Negara mana di dunia selain Indonesia yang memberikan hari libur nasional untuk penganut agama yang minoritas? Di Perancis, walaupun ada lima persen penganut Islam, tetapi tidak diberikan libur untuk merayakan hari besar agama. Filipina menetapkan libur nasional perayaan Idul Fitri baru dimulai tahun lalu,” sambung Wapres.

Di awal sambutan, Wapres menjelaskan, konflik-konflik yang terjadi sejak Indonesia merdeka disebabkan oleh ketidakadilan. “70 tahun Indonesia merdeka, apabila ada 15 konflik, maka 10 diantaranya disebabkan karena faktor ketidakadilan, baik sosial, ekonomi, maupun politik,” kata Wapres.

Wapres menyayangkan, rasa ketidakadilan ini kemudian disulut dengan isu-isu agama, sehingga yang terlihat adalah konflik agama. Lebih jauh Wapres mencontohkan konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, dimana ia memainkan peranan yang sangat penting dalam meredam konflik tersebut. “Ini memang terlihat karena faktor agama, bahkan menjadi isu yang sangat besar. Tetapi pada dasarnya disebabkan karena ketidakadilan politik,” ungkap Wapres.

Wapres bercerita, pada era Presiden Soeharto, konflik agama tidak terlalu muncul, karena sistem dibuat menyesuaikan dengan kondisi suatu daerah. Misalnya, satu daerah satu agama, dan dipimpin oleh kepala daerah yang menganut agama mayoritas. Selain itu, apabila kepala daerah yang dipilih sudah beragama Islam, maka wakilnya nasrani, begitupun sebaliknya. Namun, ketika reformasi terjadi, demokrasi pun tak dapat dielakkan. Ketika terjadi pemilihan kepala daerah, maka pihak yang menanglah yang akan menguasainya, sehingga kepala daerah dan wakilnya keduanya bisa sama-sama muslim. “Demokrasi itu mengubah segalanya, ditambah lagi karena tidak ada masa transisi,” tutur Wapres.

Ketiadaan masa transisi ini, dinilai Wapres menyebabkan berbagai permasalahan, diantaranya ketidakstabilan ekonomi dan politik, sehingga ketimpangan masih terjadi antara daerah yang satu dengan daerah lain. Pada kasus Poso, ketimpangan yang terjadi memunculkan banyak militan yang dihasut untuk menyelesaikan ketimpangan ini dengan cara mereka sendiri. Sangat mudah mempengaruhi mereka, karena dogma yang ditanamkan kepada mereka adalah, apabila mereka membunuh atau terbunuh mereka akan masuk syurga.

Jusuf Kalla yang saat itu menjadi Menkokesra mengambil peran merubah kepercayaan itu dengan mendatangi langsung pihak yang bertikai di Poso. “Tidak ada agama apapun, baik Islam maupun Kristen yang mengizinkan umatnya membunuh orang lain. Dan apabila anda membunuh, sudah pasti akan masuk neraka” tegas Wapres. Setelah konflik Poso terjadi berkali-berkali, kasus ini akhirnya dapat diselesaikan dalam dua minggu.

Kasus Aceh tidak jauh berbeda, dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki kota yang dijuluki Serambi Mekah ini, Aceh tidak mengalami perkembangan yang baik dibandingkan daerah-daerah lain. Sehingga masyarakat menuntut keadilan, dan muncullah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Konflik ini terjadi karena ketidakstabilan ekonomi dan ketidakstabilan politik,” tutur Wapres.

Dalam menyelesaikan konflik GAM, pemerintah Indonesia dimudahkan dengan keberadaan pemimpinnya yang jelas. “Kami mengetahui namanya, wajahnya, dan tempat tinggalnya dengan jelas, sehingga dapat dilakukan komunikasi,” ungkap Wapres. Hal ini berseberangan dengan kasus Papua, dimana banyak sekali suku-suku yang ada dengan pemimpin yang berbeda-beda.

Namun Wapres mengakui, bahwa konflik Aceh dapat diselesaikan dengan baik karena dilakukan pada waktu yang tepat, yakni pasca Tsunami terjadi tahun 2004. “Tentunya didukung dengan komitmen pemerintah untuk menghentikan konflik ini,” ucap Wapres. Dalam menciptakan perdamaian Aceh ini, Wapres mengajak Uni Eropa untuk turut berpartisipasi menjadi mediator, mengingat para petinggi GAM saat itu tinggal di Eropa.

Kendati terkadang masih ada konflik-konflik kecil yang terjadi, Wapres tetap bersyukur, karena kerukunan umat beragama dan etnis di Indonesia masih dapat dijaga. Wapres membandingkannya dengan negara-negara Asia lainnya dimana konflik masih berlanjut seperti di Thailand Selatan, Myanmar, dan Filipina. Wapres menilai, permasalahan yang dihadapi ketiga negara ini intinya sama, yaitu ketimpangan sosial dan ekonomi, namun diperbesar dengan isu agama.

Dalam pertemuan ini, Wapres juga menyinggung isu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang saat ini menjadi perhatian dunia. Berkembanganya ISIS ini karena kedua negara tersebut tidak memiliki perbatasan yang jelas sehingga dapat dimasuki dengan mudah.

Wapres berharap adanya pertemuan yang diinisiasi oleh Walton Park ini dengan mengundang berbagai pakar, akan menghasilkan strategi dan pemikiran dalam menciptakan perdamaian di Asia Tenggara yang juga bebas dari ISIS. “Semoga tidak ada lagi senjata dan militer dalam menyelesaikan konflik di wilayah ini,” harap Wapres.

Wilton Park merupakan instansi eksekutif resmi Kementerian Luar Negeri Inggris yang menyediakan forum global untuk diskusi strategis. Bekerjasama dengan Institusi Perdamaian dan Rekonsiliasi ASEAN (ASEAN Institute for Peace and Reconciliation – AIPR), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia, Kemlu Inggris dan Kemlu dan Perdagangan Australia, Wilton Park mengadakan konferensi yang membahas Resolusi Konflik di asia Tenggara.

Konferensi ini dihadiri oleh 60 peserta dari Burma/Myanmar, Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapore, Vietnam, dan Laos, serta ahli-ahli dari kawasan Asia Tenggara, organisasi internasional, Inggris dan Australia. Menlu Inggris Hugo Swire menyampaikan apresiasinya kepada para peserta yang hadir untuk menemukan solusi terbaik bagi terciptanya perdamaian. “Saya sangat gembira bahwa setelah 15 bulan Konferensi Wilton Park yang pertama diadakan di Inggris, ternyata masih ada ketertarikan yang kuat untuk melanjutkan diskusi serta berbagi ide untuk isu penyelesaian konflik di Asia Tenggara,” ucap Swire.

Sejalan dengan Swire, Duta Besar Australia untuk ASEAN, Simon Merrifield, mengatakan Australia sangat mendukung forum perdamaian ini. “Bagi Australia, dukungan kami untuk konferensi ini melanjutkan kerja yang baik dari AIPR dan membantu negara-negara anggota ASEAN untuk saling belajar satu dengan yang lain dan mencari langkah-langkah baru dan kreatif untuk mendukung perdamaian, rekonsiliasi, dan mencegah konflik,” tutur Merrifield.

Sebelum acara ditutup, Direktur Program Wilton Park Isobelle Jaques, menyampaikan apresiasi kepada Wapres yang telah berbagi pengalamannya dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, yang dapat dijadikan referensi bagi forum ini untuk menyelesaikan konflik di Asia Tenggara. Melalui Wapres, Isobelle juga menyampaikan ucapan selamat kepada Ibu Mufidah Jusuf kalla yang pada hari itu berulang tahun. (Siti Khodijah)

****