Yogyakarta, wapresri.go.id – Merajut kesatuan bangsa erat kaitannya dengan penafsiran dan pengamalan Pancasila di tengah kehidupan masyarakat. Pancasila merupakan ideologi bangsa sekaligus dasar atau fondasi untuk mencapai tujuan berbangsa yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Demikian diungkapkan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menyampaikan Keynote Speech dalam Kongres Pancasila XI di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Bulaksumur, Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis pagi (15/08/2019).

Dalam pandangan Wapres, Pancasila itu sederhana dan juga tegas. Pancasila sebagai dasar negara sudah sangat tepat, namun dalam pelaksanaan pencapaian tujuan masih sering tidak sesuai. Hingga saat ini terkadang masih ditemukan perbedaan dalam menafsirkan dan mengamalkan Pancasila yang justru dapat memicu persoalan.

“Berbagai penafsiran menyebabkan masalah dan menjadi rancu dan tergantung pelaksanaannya,” ujarnya.

Wapres menjelaskan bagaimana setiap rezim pemerintahan di masa lalu, baik Orde Lama maupun Orde Baru, menerapkan Pancasila secara berbeda. Pancasila pernah diterapkan secara administratif, bahkan menjadi doktrin yang kuat pada era Orde Baru.

“Namun, kita melihat bahwa doktrin saja tidak cukup, karena ketika krisis ekonomi melanda dan tujuan kesejahteraan masyarakat tidak tercapai, maka terjadi perpecahan,” ucap Wapres.

Oleh karena itu, lanjutnya, yang perlu dipahami adalah Pancasila harus kokoh sebagai dasar negara.

Menurut Wapres, untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, diperlukan suatu kebijakan dan program yang sesuai dengan dasar tersebut. Selain itu dibutuhkan pula keteladanan para pemimpin dalam pengamalan Pancasila.

“Yang menjadi masalah adalah ketika perilaku pemimpin tidak sesuai dengan dasar ini,” terang Wapres.

Lebih jauh Wapres mencontohkan,  beberapa tahun lalu ia memberikan arahan untuk menerima para pengungsi Rohingya yang hendak merapat di Aceh karena kapal-kapal mereka mengalami kerusakan. Kebijakan tersebut diambil berdasarkan sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

“Kalau kita tidak menerima orang yang kesusahan, maka kita tidak menerapkan kemanusiaan yang adil dan beradab,” ungkapnya.

Selanjutnya, Wapres menyatakan, dalam pengamalannya, sila ketiga ‘Persatuan Indonesia’ dan sila kelima ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, sangat erat berkaitan. Sejarah mencatat bahwa sejak meraih kemerdekaan 74 tahun silam, Indonesia mengalami 15 kali konflik besar dimana korban lebih dari 1000 orang, seperti Peristiwa Madiun, RMS, DI/TII, Permesta, Papua, Ambon, poso, dan sebagainya. Ia menilai bahwa sepuluh konflik diantaranya justru disebabkan karena ketidakadilan dan kesenjangan yang dirasakan di tengah masyarakat.

“Orang mengira konflik Aceh itu karena agama. Tidak, itu karena Aceh merasa kaya akan minyak dan gas, tetapi orang Aceh tidak menikmatinya. Jadi, ketidakadilan ekonomi,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Wapres mengingatkan semua pihak bahwa Pancasila sebagai dasar bernegara tidak seharusnya disalahgunakan untuk mencapai kekuasaan. Namun, bagaimana tujuan masyarakat adil dan makmur dapat dicapai dengan kebijakan-kebijakan yang dibangun di atas dasar yang kuat.

“Bagaimana tujuan dicapai dengan dasar yang baik. Jangan Pancasila dipakai sebagai alat atau tujuan, namun sebagai dasar,” tegasnya.

Wapres juga menyinggung tentang perlunya penerjemahan sederhana dari Pancasila, sama seperti perlunya memiliki ukuran yang jelas untuk menilai tingkat pengamalan Pancasila secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun secara umum Wapres menilai bahwa pengamalan sila pertama Pancasila di tengah masyarakat Indonesia sudah cukup baik, seperti dalam hal beribadah, namun masih perlu diperdalam lagi sila-sila mana saja yang harus ditingkatkan pengamalannya, sehingga nilai-nilai luhur Pancasila benar-benar dijiwai dan diamalkan.

“Jangan hanya menjadi tema seminar, jangan menjadi bahan indoktrinasi. Namanya filosofi itu masuk ke dalam jiwa. Dulu namanya penghayatan, maka hayatilah. Namun hayati dengan mudah, jangan dipersulit,” imbuhnya.

Harapan Wapres, Kongres Pancasila kali ini mampu menghasilkan rumusan yang sederhana, mudah dipahami dan dihayati, serta mudah diukur. Setelah Pancasila dapat dipahami, tentu akan lebih mudah untuk dilaksanakan.

Mengakhiri pidato kuncinya, Wapres kembali menekankan pentingnya membedakan dasar negara yaitu Pancasila dan tujuan bernegara yaitu bangsa yang adil dan makmur. Tidak kalah pentingnya yaitu program dan kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila seluruhnya dilakukan dengan baik, niscaya akan terpelihara kesatuan bangsa Indonesia.

Sebelumnya Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan munculnya sejumlah ormas yang tidak sipil menjadi tantangan masyarakat Indonesia. Sebab, akan memicu kebencian yang pada akhirnya dapat memecahkan persatuan bangsa.

“Kebebasan mengungkapkan pikiran, dan keyakinan perlu diberi tempat, kita lindungi dan kita beri salurannya, agar ide-ide dan kreatifitas bisa mengalir dengan bebas. Tetapi dalam menjalankan hak bersuara ini, lakukanlan secara sipil, dengan cara yang elegan dan beradab. Dalam mengelola perbedaan, maka tidak perlu mencari kunci di rumah tetangga, tetapi kita perlu kembali ke tempat asal, bahwa kuncinya (Pancasila) ada di rumah kita yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.

Hadir mendampingi Wapres, Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar, Staf Khusus Wapres Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah Syahrul Udjud dan Tim Ahli Wapres Brigjen Pol M. Awal Chairuddin. (GCW/SK, KIP-Setwapres)