Banda Aceh. Penyelesaian konflik secara bermartabat menjadi pemikiran awal untuk memulai kembali dibukanya perundingan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada waktu itu.

“Yang penting saya katakan, kedua pihak mau dan ingin ada dignity, artinya tidak hilang muka. Semua merasa menang. Mencari win-win ini yang memerlukan pemikiran. kemudian ada yang memfasilitasi agar ada trust,” demikian disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menjadi keynote speech dalam International Conference 10th MoU Helsinki di Hotel Hermes Palace pada Sabtu, 14 November 2015.

Menurut Wapres, butuh keyakinan yang kuat untuk memulai sebuah upaya perdamaian. “Saya sebelumnya tidak kenal Malik dan Zaini. Dalam perundingan selama hampir 6 bulan, saya selalu komunikasi lewat telfon, tanpa mengenalnya, tapi berkomunikasi yang penting hati kita bicara,” cerita Wapres.

Banyak pengalaman dan kisah menarik di belakang layar selama proses perundingan damai. Ada juga pro kontra yang melingkupinya. Seperti dorongan dari berbagai pihak untuk membuka isi dan proses perundingan kepada publik.

“Kalau hasil pemikiran diketahui seluruh rakyat, pasti diprotes rakyat banyak. Itulah kenapa tertutup sampai bulan ke enam. Yang tahu hanya yang berunding, saya dan Presiden. Menteri pun tidak tahu. DPR ingin tahu, saya bilang itu urusan Pemerintah bukan urusan DPR,” seru Wapres.

Selanjutnya dalam perjanjian damai Helsinki juga tidak ada klausul pelucutan senjata GAM oleh TNI, karena pemerintah ingin ada kesadaran dalam menunaikan isi perjanjian sehingga semua merasa terhormat.

“Karena dalam pelaksanaan MoU itu tidak ada penyerahan senjata. Karena kalau ada itu berarti menyerah. Oleh karena itu hasilnya memusnahkan, yang memusnahkan bukan TNI, tapi diri sendiri,” jelas Wapres.

Kemudian Wapres menyinggung soal lokasi perundingan di Helsinki yang dinilainya tepat. “Kalau di Indonesia nanti Pak Malik kau tangkap. nggak boleh. Kenap tidak di Swedia. Kalau di Swedia berarti Pemerintah donk yang nyerah. maka berarti harus di tempat yang netral,” kenang Wapres.

Selain itu, Wapres juga mengungkapkan alasannya mengapa menugaskan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dan Menteri BUMN Sofyan Djalil sebagai juru runding saat itu. “Kenapa bukan Menlu, kalau Menlu yang diutus, berarti berunding dengan negara lain. Kalau Menteri Kehakiman itu berbicara antara kita,” sebut Wapres beralasan.

Di samping itu, segala hal mengenai perundingan, menurut Wapres, disiapkan dengan matang agar dapat berjalan sukses seperti yang diinginkan.

“Jadi saya menguji Hamid, Sofyan dan Puja dengan sejarah Aceh, tentang lagu daerah Aceh, peta Aceh, peta buta juga, dimana Meulaboh. Kalau salah besok ulang lagi dari awal, dan harus mengetahui, maaf nih, saya dulu cari tahu siapa Malik, siapa Zaini, hobinya apa, suka makan dimana, saya suruh selidiki. Kalau suka ketawa, hobinya ketawa apa, itu dirancang betul,” ujar Wapres mengenang.

Keberhasilan perundingan, kata Wapres, juga didukung adanya konsep dan frame perundingan yang jelas, seperti pembahasan soal pemerintahan, ekonomi dan sosial politik. Meskipun demikian, Wapres juga membuka diri untuk berdialog dengan waktu yang tidak terbatas.

“Apa pun anda boleh bicarakan, selama sesuai frame ini, tapi di luar frame ini, telefon saya. Jam berapa pun. jadi perundingan itu tidak pernah berhenti. Tidak pernah ada “tunggu dulu Pak, nanti kita cek lagi”. Kalau tidak puas, saya bicara langsung dengan Malik/Zaini,” kisah Wapres.

Mengakhiri sambutannya, Wapres mengingatkan lagi pentingnya menjaga semua yang telah disepakati. Karena perjanjian merupakan akhir sebuah konflik dan awal sebuah perdamaian. “Kita mempunyai harkat atau fitrah untuk menjaga keselamatan semuanya,” tutup Wapres. (Taufik Abdullah)