Yogyakarta-wapresri.go.id. If prostitution is the world’s oldest profession, corruption must be among its most ancient vices (Sekiranya pelacuran itu profesi tertua di dunia, maka korupsi adalah kejahatan yang paling kuno),” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla kala membuka Anti-Corruption Summit (ACS) 2016, bertempat di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa (25/10/2016).

Mengutip buku The Fix: How Nations Survive and Thrive in a World in Decline, Wapres menggambarkan korupsi merupakan kejahatan yang telah ada beribu-ribu tahun yang lalu, saat manusia menginginkan sesuatu yang lebih baik dengan menyuap pihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi.

“Zaman dulu orang kuno yang tinggal di gua memberikan porsi daging yang lebih banyak kepada chief di kelompoknya. Perumpamaan bahwa suatu kejahatan korupsi adalah bukan hal yang mudah (untuk diberantas), seperti halnya pelacuran yang tidak mudah diberantas. Seperti di Belanda pelacuran dilegalkan agar tidak ada kejahatan, tapi tentu kita tidak akan legalkan korupsi supaya kita bersih dari korupsi,” jelas Wapres yang disambut tepuk tangan peserta ACS 2016.

Menurutny, korupsi dapat menghancurkan negara, seperti di Venezuela dan di Brazil. Negara yang dulunya kaya akan minyak dan gas, kemudian bangkrut akibat korupsi yang merajalela di negara tersebut. Korupsi timbul akibat dua hal akibat adanya peluang dari kesalahan pengambilan kebijakan dan pemimpin yang korupsi sebagai jalan keluarnya.

“Begitu juga Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam menghadapi korupsi. Dimulai dengan Rosihan Anwar sebagai wartawan menggambarkan korupsi sehingga menimbulkan masalah politik yang besar, ada Komisi Pak Hatta, Komisi Wilopo, Komkabtib, dan bermacam lainnya hingga kini KPK,” ungkap Wapres.

Pemberantasan menurut Wapres bukanlah hal yang mudah, tetapi Wapres yakin korupsi dapat dikurangi semaksimal mungkin seperti negara-negara lain yang memiliki indikator korupsi yang baik, misalnya New Zealand, Singapura dan Hong Kong. Meski menurutnya tidak bisa dibandingkan secara langsung karena perbandingan jumlah penduduk yang berbeda jauh, namun banyak pelajaran yang diperoleh dari pemberantasan korupsi yang dibuat Singapura.

“Sistem pemberantasan korupsi tidak bisa di-copy paste dengan negara lain. Kita harus melihat kondisi di negara kita. Singapura dengan komisi pemberantasan korupsinya dan undang-undang korupsinya luar biasa kerasnya, dan keberhasilannya akibat tindakan PM Lee Kuan Yew yang konsekuen untuk dirinya sendiri, beri contoh, kuat dan tegas kepada siapapun,” terang Wapres.

Meskipun begitu, banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah ataupun penegak hukum untuk memberantas korupsi. Banyak pejabat publik, seperti menteri, gubernur, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta ratusan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan bupati yang diciduk oleh KPK.

“Kalau dari segi memberikan hukuman, Indonesia juaranya. Tidak ada negara yang seperti di Indonesia. Terakhir sembilan menteri dicokok KPK, 19 gubernur, 46 anggota DPR, ada ratusan anggota DPRD dan bupati, ada tiga ketua partai, ada tiga ketua lembaga dan dua mantan gubernur bank sentral. Ada tidak negara di dunia seperti itu?” urai Wapres. Indonesia sudah menghukum luar biasa kepada pejabat publik yang melakukan korupsi, jadi menurut Wapres aparat penegak hukum sudah serius memberantas korupsi. Namun Wapres menyesalkan, tindakan korupsi masih banyak terjadi di negara ini.

“Ada dua tafsiran mengenai hal ini, pertama seakan-akan Indonesia tidak berhasil menekan korupsi karena menangkap tindakan korupsi yang kecil-kecil saja, padahal KPK, kejaksaan, kepolisian sudah berusaha keras dengan menangkap pelaku korupsi dan jika LSM menganggap KPK hanya sedikit menangkap pelaku korupsi itu merupakan tafsiran yang salah, karena jika banyak koruptor yang ditangkap maka (berarti) KPK gagal,” papar Wapres.

Wapres juga mengingatkan, meskipun niat membasmi korupsi tinggi, namun keadilan harus dijunjung lebih tinggi dari hukum. Untuk itu dirinya sering menjadi saksi yang meringankan beberapa pejabat publik yang sempat disidang akibat diduga korupsi. Wapres mencontohkan saat dirinya mejadi saksi meringankan bagi mantan Sekjen Kemenlu, yang menjadi tersangka akibat pengadaan konferensi internasional. Begitu juga saat Wapres menjadi saksi Bupati Indramayu dan saksi dari Jero Wacik. Meskipun pada akhirnya secara pribadi Wapres sering dikritik akibat aksinya itu.

Oleh karena itu, Wapres mengingatkan pentingnya penegak hukum korupsi untuk memahami restorative justice, yakni mengambil tindakan dengan mencari, memperbaiki kerugian akibat korupsi dan menemukan cara yang positif untuk memberpaiki dampak akibat korupsi tersebut.

“Karena ternyata dengan puluhan dan ratusan orang masuk penjara tidak menyebabkan negeri ini menjadi lebih maju,” tutur Wapres.

Selain pemahaman restorative justice, Wapres Jusuf Kalla menekankan pentingnya perbaikan sistem. Wapres mengungkapkan kebanggaannya, bahwa di eranya memimpin Golkar selama lima tahun, tidak ada satupun anggota partainya yang terkena kasus korupsi. Saat itu, menurutnya, ada dua hal yang menjadi pantangan untuk dilakukan, yakni mengharamkan anggota menyetor uang ke pengurus, dan juga sistem pencalonan kepala daerah tidak boleh mutlak satu calon, harus tiga orang yang menetukan, dan tidak boleh ada lobi.

“Sederhanakan sistem,” ucap Wapres memgingatkan.

Selain sistem yang harus disederhanakan, melihat contoh di Singapura, pemimpin juga harus konsekuen dengan tindakannya, yakni kampanye anti korupsi secara terus menerus. Selain itu, adanya reward bagi orang yang melaporkan korupsi, karena korupsi di Indonesia saat ini borderless, atau siapapun dapat mejadi pelaku korupsi dari berbagai jenis pekerjaan, jenis kelamin, dan agama.

Wapres mengingatkan kembali, dengan makin dilebarkannya jangkauan undang-undang tindak pidana korupsi maka siapapun bisa terjerat kasus korupsi bahkan bagi orang yang turut membantu peluang adanya korupsi. Namun, lanjutnya, di atas hukum ada keadilan, maka dari itu harus melihat keadilan dan kemakmuran dalam menjalankan ekonomi secara benar dan tepat hingga jangan sampai pemberantasan korupsi menyebabkan ketakutan.

“Ketakutan menyebabkan pejabat menjadi sulit mengambil keputusan, lambat mengambil keputusan, dan meminta payung hukum, hingga dampaknya pembangunan ekonomi menjadi terhambat,” jelas Wapres.

Di akhir sambutannya Wapres kembali berharap dan mengingatkan bagaimana memajukan bangsa tanpa rasa takut mengambil kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, membuat hukum dan sistem yang baik, berupaya keras dengan baik dan melaksanakan restorative justice.

Sebelumnya dalam sambutannya Rektor UGM Prof. Dwikorita Karnawati menyebutkan ACS 2016 adalah kegiatan yang ditujukan untuk keikutsertaan dalam pencegahan korupsi, diselenggarakan pertama kali oleh Pusat kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (PUKAT FH UGM) pada 2005 di UGM, Yogyakarta. Pada tahun 2005 tersebut keluarlah rekomendasi mengamanatkan kepada Fakultas Hukum seluruh Perguran Tinggi se-Indonesia agar mendirikan pusat kajian antikorupsi, meskipun sampai saat ini belum semua perguruan tinggi berhasil menjalankan amanat tersebut.

“Penyelenggaraan ACS 2016 untuk mengingatkan kembali amanat ACS 2005, khususnya pembentukan pusat kajian antikorupsi dan menelaah perihak-perihal yang menjadi tantangan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi berbasis kampus atau perguruan tinggi,”  jelas Rektor UGM.

Senada dengan Rektor UGM, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X berharap ACS 2016 berjalan sukses dan menandai bangkitnya gerakan anti korupsi dari perguruan tinggi, dengan menjalankan tema “Jujur bersama Berbasis Keluarga”.

“Kita harus lakukan pencegahan di sektor hulu yang bersumber dari keluarga,” ajak Gubernur DI. Yogyakarta. Menurutnya keluarga adalah tempat pembangunan moral terbaik untuk mencegah terjadinya korupsi di waktu mendatang.

Sedangkan Ketua KPK Agus Rahardjo dalam sambutannya mengajak perguruan tinggi untuk menggelorakan semangat menjaga negara Indonesia dan mendorong anak-anak untuk menyuarakan gerakan anti korupsi.

“Karena di Perguruan Tinggi, merupakan jenjang terakhir sebelum anak-anak menjadi pengusaha ataupun pejabat. Hingga diharapkan perguran tinggi memiliki tata kelola menjadi lebih sederhana tanpa melupakan transparansi dan akuntabilitas,” tutur Ketua KPK.

Dalam kesempatan tersebut, hadir Menteri Pendidikan Riset, Tinggi dan Teknologi Muhammad Nasir, Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohammad Oemar, Deputi Bidang Kebijakan Pemerintahan Dewi Fortuna Anwar dan Ketua PUKAT FH UGM Zainal Arifin Mochtar. (KIP, Setwapres)