KETIDAKSESUAIAN ANTARA KONFLIK DENGAN PERADABAN

oleh M. Jusuf Kalla

Presiden Universitas Hiroshima,
Para Dekan, anggota Fakultas, Staf Pengajar,

Para tamu undangan yang saya hormati,
Tepat tanggal 6 Agustus 1945, bom atom telah meluluhlantakkan kota yang indah dan berperadaban, Hiroshima. Seluruh umat manusia sangat terkejut. Penduduk Hiroshima tidak diberikan kesempatan untuk mempersiapkan diri atau melarikan diri dari kematian. Bahkan para orang tua tidak sempat melihat senyum terakhir anak-anaknya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kita memiliki senjata mematikan yang dapat memusnahkan umat manusia dan peradaban.

Meskipun telah berlangsung 78 tahun lalu, namun mimpi dan ingatan buruknya masih segar dalam ingatan. Sejarah tidak dapat dan tidak akan menghapus tragedi kemanusiaan ini. Sekelompok manusia menghilangkan kelompok manusia lainnya. Mungkin ada beberapa orang yang dapat memaafkannya, tapi sejarah tidak dapat memaafkan. Kita semua mengutuk dan tidak pernah menyetujui hal tersebut. Tidak mungkin untuk melupakannya.

Saya telah mengalami berbagai peristiwa bersejarah dalam hidup saya, tragedi Hiroshima dan Nagasaki adalah yang paling mengerikan. Tragedi ini tentunya bagi sebagian besar kita senantiasa membangunkan kita dari tidur lelap dan menjadi mimpi buruk. Secara pribadi, hal ini selalui menghantui pikiran dan hati saya hingga saat ini, sehingga saya membagi derita ini sebagaimana diderita oleh teman-teman Jepang saya. Saya juga sependapat dengan prinsip yang dianut oleh teman-teman Jepang: perang sudah cukup. Tidak ada lagi perang.

Saya segera menyanggupi tawaran dari Universitas Hiroshima untuk menerima kehormatan ini. Saya menerimanya karena saya ingin membagi perasaan saya. Inilah saya, berdiri di atas podium, dengan hati yang remuk akibat tragedy tersebut. Ingatan saya terhadap masalah tidak dapat berlalu begitu saja. Saya Bersama anda, teman-teman Jepangku. Keluh-kesah anda adalah derita saya juga.

Ibu Bapak yang saya hormati,
Merupakan kehormatan bagi saya, keluarga saya dan rakyat saya, untuk menerima kehormatan dari teman lama, Jepang. Dengan rendah hati, terimalah ungkapan terima kasih saya yang sebesar-besarnya.

Ijinkan saya untuk menyampaikan beberapa hal:
Pertama, sepanjang sejarah dan peradaban, konflik selalu ada. Sejak penggunaan batu, kayu, kampak, tombak, meriam, pisau dan pedang, panah atau peluru, bahan peledak kimia atau reaksi berantai atom, jarak jauh atau dekat hingga teknologi senjata mutakhir. Meskipun demikian, perdamaian selalu menjadi tujuan utama rasional dari setiap peradaban.

Kedua, sepanjang sejarah dan peradaban, konflik, apapun motif di baliknya, selalu mengorbankan hidup manusia dan menghancurkan semuanya. Konflik selalu tidak sesuai dengan peradaban manusia, karena selalu merendahkan hidup manusia dan kehidupan manusia merupakan elemen mendasar dari harga diri manusia, dan harga diri manusia merupakan tujuan utama peradaban manusia. Konflik tidak pernah memperlihatkan keindahan di masa depan. Hanya perdamaian yang dapat menjamin keindahan masa depan. Hanya perdamaian yang dapat mengembangkan peradaban manusia.

Ketiga, setiap bentuk konflik selalu memecah masyarakat antara “kami” dan “mereka”. Selalu ada garis pembatas yang tidak dapat didamaikan, sehingga tidak tercapai keharmonisan dalam hidup. Masyarakat saling tidak mempercayai. Rakyat akan selalu gelisah. Rakyat akan berkomunikasi dalam diam, karena rakyat tidak dapat mempercayai siapapun. Masyarakat tinggal dalam suasana saling mencurigai.

Keempat, konflik selalu mengorbankan wanita dan anak-anak dari sejak awal hingga akhir. Mereka selalu menjadi pihak yang paling rentan dalam konflik. Tidak ada harapan bagi masa depan anak-anak. Kita memiliki pepatah: “Dalam perdamaian, anak laki dan perempuan mengubur ayah mereka karena sebab alamiah. Dalam konflik, ayah mengubur anak laki dan perempuannya karena ulah manusia”.

Ibu Bapak yang saya hormati,
Mengingat kompleksnya dan dinamisnya kehidupan dan kemajuan teknologi persenjataan saat ini, persepsi dan definisi kita terhadap perdamaian harus disesuaikan. Kita tidak akan mendefinisikan perdamaian hari ini sebagai tidak adanya kekerasan. Perdamaian harus dipercaya sebagai kondisi di mana keadilan ditegakkan, persamaan dijamin, kebebasan dipelihara, kemakmuran dicapai, toleransi merupakan praktek sehari-hari, HAM, demokrasi dan lingkungan terpelihara. Inilah caranya kita melihat, mempercayai dan mempraktekkan perdamaian hari ini. Paradigma perdamaian harus berubah.

Ibu bapak yang saya hormati,
Seabad yang lalu, kita melihat komunisme dan fasisme telah menciptakan konflik dan kekerasan di berbagai belahan dunia, menyebarkan terror dan intimidasi. Selama 80 tahun, umat manusia tidak pernah hidup dalam damai, namun ketakutan dan ketidakpastian. Saat ini, umat manusia dihadapkan dengan ideologi utopia yang dilaksanakan dengan intoleransi tinggi dan melalui kekerasan. Ideologi utopia ini nampaknya menjadi tantangan terbesar kehidupan dan peradaban manusia saat ini.

Sejarah menunjukkan bahwa umat manusia telah memiliki pengalaman panjang dalam konflik dan kekerasan, dari waktu ke waktu, generasi ke generasi. Kita memiliki konflik antar negara, di dalam negara, seperti perang saudara, antar komunitas dsb. Sekarang, tantangan terbesar adalah aktor non-negara dengan ideologi tunggal: utopia yang mengarah kepada intoleransi. Para pelakunya datang dari seluruh dunia, mendeklarasikan dan menyatakan perang terhadap negara, terhadap rakyat biasa dan tidak berdosa, serta terhadap siapapun yang tidak menjadi bagian dari kelompok mereka. Mereka membentuk dan menyebut dirinya sebagai kekuatan global, namun sesungguhnya merupakan monster dan ketakutan global.

Untuk alasan itulah kita mengambil jalan berbeda dari yang mereka ambil, karena mereka menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Mereka melakukan kekerasan tanpa pandang bulu.

Tentunya kita menolak hal ini karena mereka menolak keberagaman manusia. Kita menentang hal ini karena mereka menentang pluralitas. Keberagaman merupakan hakekat dari manusia. Apapun kepercayaan kita, kita semua percaya bahwa Tuhan menginginkan keberagaman. Peradaban manusia dibangun melalui keberagaman. Kehidupan manusia dan masyarakat mirip dengan pelangi: semakin berwarna akan semakin indah.

Kita juga memiliki kecenderungan bahwa konflik dipicu oleh permasalahan etnis dan ras. Sepertinya kita belum belajar dari masa lalu, betapa berbahayanya isu-isu tersebut. Belum lama ini, konflik antara etnis Tutsi dan Hutu di Afrika, mengorbankan jutaan nyawa manusia. Konflik yang sangat brutal dan penuh darah.

Saya percaya bahwa etnis dan ras sebagai sumber konflik, adalah salah satu konflik yang paling berbahaya dan sulit diselesaikan. Alasan saya adalah, etnis dan ras telah ditetapkan, jadi hal tersebut permanen, tidak dapat diubah. Begitu seseorang termasuk dalam etnis dan ras tertentu, dia tidak dapat mengubahnya. Seseorang dapat mengubah agama dengan berpindah ke agama lain, tapi dia tidak dapat mengubah etnis atau rasnya. Dengan logika ini, konflik berdasarkan enis dan ras, juga dapat dianggap permanen.

Ibu dan Bapak
Berdasarkan pengalaman yang telah lalu, sebagian besar konflik dipicu oleh alasan keadilan. Orang-orang yang terlibat adalah para pencari keadilan. Mereka mencari keadilan ekonomi, sosial, hukum, dan politik. Mereka merasa diabaikan. Mereka merasa didiskriminasikan. Mereka merasa terusir dan tercerabut dari akarnya. Mereka merasa masa depan mereka dirampas, sehingga mereka tidak memiliki masa depan yang pasti, begitu juga anak-anak mereka. Tentu saja, beberapa juga memiliki alasan-alasan yang hanya mementingkan diri sendiri.

Sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini, konflik dan kekerasan terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara gagal. Al Qaedah dan Taliban di Afghanistan, dan ISIS di Syria dan Iraq, Boko Haram di Afrika, misalnya, meneror manusia dan mengancam peradaban manusia karena negara-negara tersebut adalah negara gagal. Negara gagal terjadi sebagai hasil kehadiran dan pengaruh dominan negara-negara kuat. Mereka datang dengan kepentingan yang hanya menguntungkan mereka sendiri, tapi menutupi misi mereka dengan perlindungan terhadap kemanusiaan, hak asasi manusia, dan demokrasi. Sebagai akibatnya, sebagian kelompok masyarakat menolak kehadiran mereka dan mengangkat senjata melawan mereka. Ini adalah akar permasalahannya. Sayangnya, mereka yang menolak kehadiran negara asing, menggunakan kekerasan secara sewenang-wenang dan tanpa pandang bulu. Kita dapat menjelaskan ini sebagai: “negara-negara gagal adalah pupuk terbaik untuk konflik dan kekerasan.” Karena negara-negara gagal adalah ciptaan, negara-negara yang kuat juga harus bertanggung jawab. Tidak ada alasan menyalahkan yang lain.

Ibu dan Bapak
Sangat disayangkan, sebagaimana yang kita alami di beberapa kasus di dalam negeri dan tempat lainnya, tidak ada solusi yang efektif dan damai tanpa memahami akar permasalahan konflik. Kita, kebanyakan, memiliki kesalahpahaman dan penilaian yang salah terhadap akar masalah. Di berbagai tempat, yang kita lihat, misalnya, perang saudara atau konflik antar masyarakat, tampak seperti konlik beragama antara penganut keyakinan yang berbeda. Semua orang bereaksi dan bertindak sebagai jembatan komunikasi bagi dua agama yang berbeda. Mereka benar-benar gagal karena sejatinya agama bukan akar masalahnya. Mereka bertengkar karena berbagai alasan yang lain, seperti ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial yang disebabkan oleh kebijakan negara.

Di Indonesia, saya masih ingat satu dasawarsa yang lalu, dua konflik antara dua umat beragama di dua tempat. Setiap orang percaya bahwa konflik-konflik tersebut adalah konflik agama. Faktanya, tentu saja, mereka berkelahi dan saling bunuh atas nama agama mereka. Setiap pihak mengklaim bertindak karena keadilan dan membela keyakinan mereka. Setiap pihak meyakini bahwa dengan membunuh lawannya akan membawa mereka ke surga. Saya berdiri sendiri, mewakili pemerintah, menyatakan dengan jelas dan keras kepada setiap orang yang terlibat konflik dan publik: “tidak ada satupun dari kalian akan ke surga. Kalian semua akan ke neraka karena tidak ada satu agamapun yang mengizinkan seseorang membunuh orang lain secara semena-mena”.

Saya mengubah cara mereka berpikir dan berperilaku. Konflik-konflik itu bukanlah konflik agama, tetapi konflik yang tercipta karena berbagai motif, seperti perubahan komposisi penduduk, antara pribumi dan pendatang.

Tapi mengapa mereka melibatkan agama?
Agama senantiasa memiliki umat dan banyak diantara umat beragama yang irasional, fanatik, dan fundamentalis. Sangat mudah memprovokasi pengikut agama yang irasional tersebut untuk berperang satu sama lain. Lebih jauh lagi, setiap agama memiliki konsep dan keyakinan terhadap surga, aktor-aktor dan penyusup dapat dengan mudah memprovokasi orang lain untuk mengikuti mereka, berperang satu sama lain.

Ada satu masa di mana saya secara keras dan jelas bahwa konflik beragama yang terjadi di berbagai tempat di planet kita terjadi karena surga menjadi komoditas yang mengikuti hukum dan prinsip ekonomi, penawaran dan permintaan. Mereka menjual iman mereka sangat murah. Menjadi tugas kita untuk mengubah paradigma ini. Iman adalah hal yang suci, sangat tidak tepat digunakan untuk niatan yang tidak suci.

Dengan ini, izinkan saya untuk menyegarkan memori kita tentang ungkapan Jepang yang sangat kuat dan bijak: “perang esok dimenangkan dengan latihan hari ini” (ashita no tatakai kyou no renshu de kachimashita). Jadi, Bapak Ibu, sejak saat ini, kita sangat perlu untuk bekerja mengubah paradigma mereka. Paradigma kita hari ini akan menentukan masa depan anak cucu kita.

Ibu dan Bapak
Sekarang kita memiliki teknologi komunikasi yang sangat maju. Alat ini dimiliki dan digunakan semua siapapun. Mudah dibawa, mudah digunakan, mudah didapatkan dan terjangkau. Orang berkomunikasi dengan orang lain dalam hitungan detik. Gambar dan video dapat disebarkan dan mencapai segala penjuru dunia dalam hitungan detik. Tidak ada yang dapat disembunyikan. Teknologi, ringkasnya, merupakan alat yang efektif untuk menghubungkan orang.

Namun demikian, alat yang sama dapat juga menjadi sarana yang ling efektif untuk memicu konflik. Penyebaran informasi palsu (hoax): rangkaian kata, gambar, dan banyak lagi, dapat dengan mudah memprovokasi orang untuk berkelahi satu sama lain. Dalam hal ini, rasionalitas, kebijaksanaan dan kemampuan untuk mengendalikan diri dalam menggunakan teknologi menjadi sangat penting. Kita dapat bekerja sama dalam hal ini. Mungkin legislasi untuk memberikan hukuman dan sanksi yang berat bagi penyalahgunaan teknologi diperlukan saat ini. Kebebasan menggunakan peralatan teknologi untuk berkomunikasi tidak berarti kebebasan untuk menghancurkan kebebasan orang lain.

Ibu dan Bapak
Saat ini, kita sampai pada sebuah pertanyaan, bagaimana menyelesaikan dan menghindari konflik?

Tidak ada satu pendekatan atau metode yang tepat bagi berbagai situasi. Bagaimanapun, izinkan saya untuk menawarkan beberapa pemikiran.

Setiap konflik, membutuhkan keberanian untuk melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Setiap konflik selalu melibatkan ego yang besar dari setiap pihak untuk berhenti. Setiap pihak memiliki kebanggaan untuk mengejar dan terus bertarung. Mediator dapat menjadi jembatan untuk menurunkan ego dan kebanggaan. Dimanapun setiap konflik terjadi, utamanya konflik di dalam suatu negara, negara atau pemerintah harus terlibat untuk menghentikannya. Pemerintah tidak boleh mempersepsikan setiap kelompok dalam masyarakat dapat memiliki mekanisme masing-masing untuk menyelesaikan persoalan mereka. Dalam konflik, asumsi ini tidak pernah berhasil. Negara harus menggunakan otoritasnya untuk menghentikan konflik, segera dan tanpa syarat. Negara tidak boleh memberikan kesempatan untuk memperpanjang konflik.

Menyelesaikan konflik tidak boleh menggunakan prinsip atau metode tit for tat atau zero sum game. Prinsip take and give senantiasa berlaku dalam penyelesaian konflik. Satu pihak harus melangkah maju, pihak lain harus mundur. Mereka akan bertemu di tengah sebagai titik rekonsiliasi. Mediator harus menemukan titik ekuilibrium, sehingga, tidak ada pihak yang merasa diatas yang lain.

Selanjutnya, pihak-pihak yang berkonflik harus dipertemukan untuk membicarakan permintaan-permintaan mereka dan cara untuk menyelesaikan masalah mereka. Hal itu harus tatap muka. Dengan cara ini mereka akan mudah untuk saling tukar pendapat tentang perasaan, emosi, dan gagasan. Disamping itu, pendekatan ini dapat menghindarkan mediator menyalahartikan permasalahan yang diungkapkan pihak-pihak tersebut. Biarkan para pihak secara langsung mendengar apa yang dikatakan pihak lain. Bagaimanapun metode ini butuh keberanian yang tinggi dan kemampuan, terutama bagi mediator.

Selain itu, dalam memulai usaha dan perundingan damai, isu-isu perbedaan antara para pihak tidak boleh menjadi titik awal. Persamaan harus menjadi titik awal. Persamaan akan pelan-pelan menghilangkan perbedaan. Diperlukan kemampuan yang tinggi dari mediator untuk mengidentifikasi berbagai perbedaan dan persamaan diantara para pihak.

Menempatkan agenda perbaikan bagi kedua pihak yang berseteru setelah konflik menjadi prioritas utama diantara para pihak. Negara harus menawarkan hal ini kepada para pihak. Tanpa ini, anggota dari para pihak tidak memiliki kepastian dalam hidup, sehingga mereka akan merasa lebih baik melanjutkan peperangan. Dengan perbaikan, mereka akan melihat adanya harapan bagi masa depan kehidupannya, sehingga mereka akan meninggalkan kemarahan subyektifnya.

Akhirnya, dalam hal konflik yang melibatkan agama, semua bangunan yang hancur akibat perseteruan, terutama tempat ibadah, harus segera direhabilitasi oleh negara. Reruntuhan infrastruktur tersebut selalu menjadi simbol penguasaan dari musuh. Perasaan ini akan memunculkan motif untuk melakukan balas dendam. Sejalan dengan hal ini semua fasilitas publik yang hancur, seperti pasar, stasiun, harus diperbaiki tanpa syarat, sehingga orang dapat datang bersama-sama lagi. Kita perlu mempertimbangkan fakta bahwa tempat publik selalu dianggap sebagai zona netral di mana semua orang bisa datang.

Ibu dan bapak
Izinkan saya untuk menutup pertimbangan ini dengan pepatah Jepang mengenai perdamaian. “Tiga puluh enam rencana memenangkan pertempuran tidaklah sebaik sebuah rencana menarik diri dari pertempuran.” (Tatakai nikatsu ho ho no 36 no keikaku wa tatakai kera tettai suru itsu no keikaku hodo umaku ikanai)

Terima kasih

M. Jusuf Kalla

Yang Mulia Bapak Jusuf Kalla telah mengabdi sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk yang kedua kali sejak 2014. Sebelumnya ia memegang jabatan tersebut pada kurun waktu 2004-2009. Bapak Kalla lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, pada 15 Mei 1942 dalam keluarga besar Hadji Kalla, seorang pengusaha sukses berdarah Bugis.

Segera setelah menamatkan pendidikan ekonomi di Universitas Hasanuddin pada 1967, Bapak Kalla memulai karir di sektor swasta dengan bergabung pada bisnis keluarga, NV (Naamloze Vennootschap) Hadji Kalla, sekarang dikenal luas sebagai Kalla Group. Pada 1977, ia mengikuti sebuah program eksekutif di INSEAD International Business School di Fontainebleau, Paris, Perancis.

Setelah beberapa tahun bekerja dalam perusahaan keluarga, Bapak Kalla mengambil alih kepemimpinan Group dan sukses mengembangkan bidang usahanya mulai dari ekspor dan impor hingga manufaktur, otomotif, konstruksi, minyak sawit, perkapalan, properti, transportasi, tambak udang, telekomunikasi serta energi dan kelistrikan.

Selain membangun karir di sektor swasta, Bapak Kalla juga menunjukkan minat dan kuat dalam hal politik dan pelayanan publik dengan bergabung dalam Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan pada tahun 1965. Pada tahun 1982, ia mewakili Golongan Karya Sulawesi Selatan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) hingga 1987. Ia kembali masuk dalam MPR RI pada tahun 1997 sebagai Utusan Daerah mewakili Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1999, Bapak Kalla ditunjuk oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia sekaligus merangkap Kepala Badan Urusan Logistik hingga tahun 2000. Dari tahun 2001 hingga 2004, ia mengabdi kepada negara sebagai Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat dibawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebagai pasangan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Bapak Kalla memenangi Pemilihan Presiden tahun 2004, dan dilantik menjadi Wakil Presiden RI periode 2004-2009. Selama periode pertama sebagai Wakil Presiden, Bapak Kalla juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar.

Di samping sebagai politisi, Bapak Kalla juga memainkan peran kepemimpinan di berbagai organisasi. Ia juga sebagai ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Makassar dari tahun 1979 sampai dengan 1989 dan terus menjadi penasehat ISEI. Ia juga Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sulawesi Selatan dari tahun 1985 hingga 1998 dan koordinator KADIN di Indonesia Timur. Ia juga Ketua Umum Centrist Asia Pacific Democrat International (2010-2012) sekaligus Koordinator Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Asia Tenggara (2010-2011). Bapak Kalla pada saat ini juga menjadi Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia dan Ketua Umum Palang Merah Indonesia. Ia juga menjadi ketua di sejumlah organisasi, termasuk Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin, Yayasan Islamic Center Al Markaz.

Diantara berbagai pencapaiannya, Bapak Jusuf Kalla telah menerima pengakuan internasional dan penghargaan atas peran pentingnya sebagai pembuat perdamaian di Indonesia. Ia memainkan peran penting dalam konflik Maluku dan Poso serta menjalankan peran kunci pada negosiasi damai di Aceh yang berujung dengan Perjanjian Helsinki yang mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh di tahun 2015. Ia aktif berbicara di berbagai forum, baik tingkat nasional maupun internasional mengenai pengalamannya yang luas dalam resolusi konflik.

Untuk dedikasi dan kontribusinya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, Bapak Kalla telah dianugerahi berbagai penghargaan dari lembaga nasional, internasional, pemerintah maupun komunitas. Di tahun 2004, ia dianugerahi Bintang Republik Indonesia, merupakan tanda kehormatan tertinggi yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk jasanya yang luar biasa kepada negara. Ia juga mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra Adipurna, penghargaan tinggi atas jasa luar biasa yang diberikan di luar bidang kemiliteran. Bapak Kalla juga mendapatkan Commandeur de l’Ordre de Leopold pada tahun 2009 dari pemerintah Belgia, merupakan penghargaan tertinggi dari Belgia kepada tokoh terkemuka. Pada Desember 2011, ia menerima penghargaan Budaya Akademik Islami (BudAi) dari Universitas Islam Sultan Agung Semarang, sekaligus mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Perdamaian Dunia pada Pertemuan Pemuda Dunia untuk Perdamaian di Ambon, Maluku.

Bapak Kalla juga telah diakui secara luas oleh komunitas akademik, termasuk beberapa gelar Doktor Honoris Causa di berbagai bidang termasuk politik, ekonomi, manajemen, pemerintahan dan desentralisasi. Gelar Doktor Honoris Causa yang pertama datang dari Universitas Malaya di Malaysia pada tahun 2007. Selanjutnya ia mendapatkan Doktor Honoris Causa dari Soka University Jepang (2009), Universitas Hasanuddin, Makassar (2011), Universitas Brawijaya, Malang (2011), Universitas Indonesia, Jakarta (2013), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (2015), The Rajamangala University of Technology Isan, Thailand (2017), dan yang terbaru dari Universitas Islam Alauddin di Makassar, pada Januari 2018.