NUSA DUA, BALI

10 AGUSTUS 2016

 

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Selamat sore, salam sejahtera untuk kita semuanya

Yang saya hormati,

Deputi Perdana Menteri Malaysia

Menkopolhukam, Kepala Kepolisian, Ketua PPATK RI,

Jaksa Agung Australia,

Para Menteri,

dan Seluruh hadirin .

Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam penanganan terorisme, khususnya Bali. Tentu kita masih ingat akan peristiwa bom Bali yang pertama pada bulan Oktober 2002. Peristiwa  yang mencengangkan, yang menewaskan lebih dari dua ratus orang, sebagian besar warga negara asing, termasuk dari Australia. Pada bulan yang sama tiga tahun kemudian, kejadian tersebut berulang. Bom Bali kedua juga merenggut banyak korban jiwa. Tidak hanya di Bali, aksi terorisme juga terjadi di Jakarta dan beberapa tempat lain di Indonesia. Banyak  negara lain juga mengalami hal yang sama.

Karena itulah, Pemerintah Indonesia sangat mendukung pelaksanaan kedua pertemuan ini. Di sini kita bertemu untuk membahas mengenai bagaimana kita mengatasi masalah terorisme, yang bukan hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi dan merusak citra sebuah bangsa. Sebagai contoh, pada bom Bali yang pertama, dalam satu minggu, wisatawan yang datang ke Bali turun drastis hingga sembilan puluh persen. Bali yang semula ramai menjadi lengang. Masyarakat dan ekonomi Indonesia mengalami kerugian karena hal itu. Namun dengan keteguhan, rakyat Bali bersama-sama Pemerintah dapat bangkit mengatasi akibat-akibat masalah tersebut. Tidak kalah pentingnya, kita perlu menyatukan sikap untuk mencegah agar tindakan terorisme seperti yang pernah terulang di Bali tidak terjadi lagi di masa depan, dimanapun di dunia.

Hadirin yang saya hormati,

Terorisme sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kita semua dan telah dilakukan dengan berbagai cara. Secara konvensional, terorisme dilakukan dalam bentuk, misalnya, pembajakan pesawat sehingga menimbulkan ketakutan bagi masyarakat dunia. Cara yang berbeda dilatarbelakangi oleh alasan yang berbeda pula. Dulu, alasan terorisme biasanya adalah untuk meraih kemerdekaan, berbeda dengan yang terjadi dewasa ini.

Untuk mengatasi terorisme, kita perlu mengetahui penyebab terjadinya aksi terorisme tersebut. Hal ini sebenarnya jarang dibicarakan, termasuk mengapa aksi terorisme semakin canggih sehingga bisa memakan korban yang besar dengan modal yang kecil.

Pada pertemuan ini, anda juga membicarakan masalah financing bagi terorisme. Teroris itu sama dengan pencuri, yang terkadang lebih pintar dari polisi. Kalau tidak ada uang, mereka akan mencari cara yang lebih murah lagi. Siapa yang menduga di Nice, dengan hanya menyewa truk dapat menewaskan 80 orang. Sebelumnya, juga tidak ada yang mengira pesawat dijadikan teroris sebagai alat pemboman.

Sumber permasalahannya berada dalam tataran ideologi yang dasarnya sulit untuk kita ketahui. Sehingga apabila kita melakukan kontra terorisme dengan menggunakan senjata, tetap saja hampir tidak mungkin untuk mengatasinya. Ditambah lagi yang sering terjadi pada dewasa ini adalah terorisme dengan melakukan bunuh diri. Bagi para teroris, makin banyak polisi yang menjaga suatu tempat penting seperti bandara, maka makin baik baginya karena akan semakin banyak aparat yang menjadi korban aksi terornya. Bentuk terorisme dengan melakukan bunuh diri terjadi di banyak negara. Hal ini memang di luar logika normal dan menjadi masalah besar yang harus kita atasi bersama.

Kalau kita lihat sejarahnya, radikalisme selalu bergandengan dengan terorisme. Kita mengetahui dua organisasi yang terkenal akan gerakan radikal, yaitu  Al Qaidah dari Afghanistan, serta ISIS dari Suriah dan Irak. Apa persamaan tiga negara tersebut? Ketiganya merupakan negara gagal.

Negara-negara tersebut gagal karena mengalami berbagai permasalahan, seperti pemerintahan yang  otoritarian, atau invasi dari negara-negara besar yang menghancurkan negeri tersebut. Akibat kehancuran itu, banyak generasi muda yang kehilangan harapan dan masa depan. Ada yang kemudian mengungsi, ada yang kemudian tidak mengetahui lagi apa arti hidup dan marah. Itulah sebenarnya alasan yang menjadikan para radikalis, dan bukan karena agama. Agama memang menjadikan mereka bersatu, tapi bukan agama yang menyebabkan munculnya kemarahan tersebut.

Di Indonesia, misalnya, Imran, Imam Samudra,  Amrozi, para teroris tersebut bukanlah ahli agama, melainkan anak muda yang marah. Ada juga yang pernah ke Afghanistan dan menyaksikan penjajahan dan penindasan di negara muslim. Begitu juga di Eropa. Hamid Abba Oud, Abrahim Abdeslam, Lahouaiej-Bouhlel, semua bukanlah ahli agama.  Perilaku dan keseharian mereka tidak mencerminkan pengamalan ajaran Islam. Jadi bukan agama yang mendorong aksi terornya. Kemarahan, keputusasaan, dan juga kehilangan harapan akibat kerusakan di negeri asalnya yang menjadi pendorong. Di Amerika pun sama. Xavier Johnson di Dallas membunuh lima polisi kulit putih, dan Gavin Eugene Long di Lousiana membunuh tiga polisi disebabkan kemarahan karena pembunuhan yang terjadi atas warga kulit hitam oleh polisi tanpa alasan yang jelas.

Dunia marah menyaksikan jatuhnya puluhan korban di Paris, Belgia, ataupun London. Tapi ada lebih banyak korban akibat pemboman di Irak, Syria, Libya tanpa alasan yang jelas yang menyebabkan hilangnya nyawa jutaan orang. Kita harus dapat melihat akar permasalahan dimana teror itu terjadi.

Pada dewasa ini banyak teroris di negara-negara Islam. Alasan yang melatarbelakanginya berbeda, ada yang ingin menegakkan Syariat Islam, ada juga yang marah kepada pihak lain.  Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan terorisme di dunia ini dilatarbelakangi oleh beragam motif. Meskipun demikian, para teroris itu bersatu dengan suatu harapan, yaitu surga, dengan jalan pintas. Berdasarkan pengalaman pribadi saya saat menyelesaikan konflik Ambon dan Poso yang telah menyebabkan lima ribu orang meninggal, penyebab utama mereka melakukan tindakan anarkis adalah karena ajaran bahwa hal itu jalan tercepat untuk dapat masuk surga. Saat saya meluruskan kekeliruan pandangan tersebut, konflik dan tindakan anarkisme pun dapat dihentikan hanya dalam kurun waktu dua minggu.

Ada suatu proses sebab akibat dalam upaya penyelesaian masalah terorisme dan radikalisme. Karena semua itu berasal dari pikiran, kita tidak bisa memakai senjata untuk memadamkan pikiran. Pikiran hanya dapat diubah dengan cara berpikir yang benar. Karena itulah Indonesia mempunyai suatu program deradikalisasi agar pikiran yang keliru dapat diluruskan. Memang tidaklah mudah, tapi harus dijalankan karena senjata tidak dapat menyelesaikan permasalahan ini. Senjata bisa mengurangi, tapi tidak akan menyelesaikan. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, semakin banyak polisi dan tentara yang berpotensi menjadi korban, maka semakin menarik bagi teroris. Mereka menggunakan pesawat untuk meledakkan World Trade Center. Lalu teroris menggunakan cara yang lebih sederhana, yaitu menggunakan truk. Jadi inti persoalannya adalah adanya sekelompok orang yang rela mati untuk mencapai tujuannya. Permasalahan terkait pikiran seseorang sulit diatasi, karena itulah diperlukan pikiran moderat.

Apa yang terjadi di negara-negara Islam berbeda dengan apa yang terjadi di negara Barat. Para teroris di Eropa tidak ingin mengislamkan Paris ataupun Belgia. Penyebab aksi terorisme itu adalah kemarahan. Sama halnya dengan bom Bali pertama, yang dilatarbelakangi oleh kemarahan pada orang asing. Sementara Bom Bali kedua, bom di Jakarta dan bom di Solo memiliki target yang random, disebabkan oleh adanya pikiran-pikiran radikal seperti yang saya sebutkan sebelumnya.

Hadirin sekalian,

Kita bersatu di sini untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dengan melihat  akar permasalahannya. Tanpa mengetahui penyebabnya, permasalahan terorisme tidak dapat kita atasi.

Kenapa ISIS muncul? Saddam Husein memang seorang otoriter, tapi bukan dia yang menghancurkan negerinya, negara lain yang menghancurkan negerinya. Apakah kediktatoran Khadafy  yang menghancurkan Libya? Ternyata Libya hancur karena bom dari luar, yang menghilangkan harapan seluruh rakyat. Jika misalnya ada negara Islam yang membom Italia, menghancurkan Italia, tentu akan menyulut kemarahan generasi muda Eropa pada negara Islam manapun.

Karena itulah maka marilah kita bersatu disini untuk melihat secara jernih permasalahan terorisme ini. Jangan ada negara besar menginvasi negara-negara lainnya dengan alasan yang tidak benar. Inggris sudah mengakui laporan tentang Tony Blair bahwa dia melakukan kesalahan. Dunia harus mengakui bahwa telah terjadi kesalahan yang menyebabkan terjadinya kehancuran di  negara lain.

Hadirin yang saya hormati,

Dalam mencegah dan mengatasi persoalan terorisme, diperlukan kerjasama di bidang informasi intelijen. Tanpa informasi yang sama, kita akan mengalami kesulitan. Saya berterimakasih kepada negara-negara yang telah bekerjasama dengan Indonesia dalam memberikan teknologi yang modern untuk mendeteksi terorisme. Kepolisian Indonesia telah mendapat pengakuan dari banyak negara di dunia atas keberhasilannya dalam mengatasi terorisme, meskipun tidak semua tindakan radikal dan teror dapat dicegah.

Dulu, terorisme dengan model pembajakan pesawat lebih mudah diatasi karena yang menjadi tujuan adalah uang tebusan. Tapi yang terjadi hari ini berbeda karena penyelesaian masalah terorisme menuntut kita untuk bersatu dalam menegakkan demokrasi dengan benar tanpa paksaan. Kita juga harus memberantas kemiskinan karena hampir semua negara yang memunculkan teroris adalah negara miskin. Namun tidak berarti kelas menengah tidak rentan dari pikiran-pikiran radikal. Saya berbicara dengan Perdana Menteri Bangladesh mengenai pelaku pemboman di  Dhaka. Ternyata mereka datang dari kelas menengah yang tertarik pada  ide-ide radikal.

Sehubungan dengan itu, akar permasalahan harus menjadi bagian pembicaraan kita, bukan hanya permasalahannya, termasuk kesalahan yang telah terjadi agar bersama-sama kita evaluasi. Irak dan Suriah harus mendapatkan harapan mereka kembali. Harus dilakukan restorasi di kedua negeri tersebut. Tanpa hal itu, maka dunia tidak akan pernah terlepas dari kebencian dan kemarahan. Apabila kebencian dan kemarahan selalu ada, maka terorisme akan sulit diatasi.

Indonesia adalah salah satu negara korban terorisme, meskipun alasannya berbeda. Di Indonesia, terorisme biasanya dilatarbelakangi oleh kekeliruan dalam memahami ajaran agama. Setelah diluruskan, maka terorisme pun terhenti. Tapi bagi beberapa negara lain, penyebab terorisme adalah pembalasan, kemarahan, dan hilangnya harapan. Hal itu jauh lebih berat daripada yang dihadapi di Indonesia.

Dengan semakin majunya teknologi, siapapun bisa ikut berpartisipasi dan menjadi bagian dari terorisme. Teknologi juga membantu teroris untuk menemukan cara yang mudah dan murah untuk membuat kehancuran. Apabila tidak segera kita atasi, maka teroris akan segera menemukan cara-cara baru dalam aksi mereka.

Kita hadir di sini untuk mendukung dunia yang damai, dunia yang menyenangkan semua pihak, dunia yang saling menghargai. Kita harus berbuat sesuatu untuk merestorasi, bukan hanya menghalangi agar tidak terjadi lagi terorisme. Kita harus merestorasi apa yang rusak, serta mengobati rasa  marah dan putus asa yang dirasakan oleh generasi muda di banyak negara. Mudah-mudahan pertemuan ini menghasilkan kebersamaan kita semua dan untuk itu saya berterima kasih.

Indonesia selalu mencoba mengatasi persoalan bersama-sama. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia selalu menerapkan toleransi dan moderasi. Di Indonesia tidak ada alasan bagi orang untuk marah dari sisi agama, karena telah menerapkan toleransi. Contohnya, sekitar 88% penduduk Indonesia beragama Islam. Tetapi di luar negeri, Indonesia dikenal karena Bali atau Candi Borobudur yang identik dengan agama Hindu dan Budha. Masyakat Indonesia ingin selalu hidup dalam kebersamaan, tentunya dengan menegakkan keadilan.

Semoga dari pertemuan ini kita bisa merumuskan apa yang harus kita satukan dan apa yang harus diperbuat bersama-sama untuk menghilangkan kemarahan, demi masa depan umat manusia dimanapun di dunia ini, khususnya di negara-negara yang menderita akibat perang dan invasi yang salah. Terima kasih.

Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh