Pembukaan Indonesia Green Infrastructure Summit 2015
Jakarta. Apabila berbicara tentang inftrastruktur hijau (green infrastructure), tentu kita bicara tentang perubahan pemikiran dan pelaksanaannya. Infrastruktur merupakan upaya dasar untuk memajukan ekonomi. JIka kita berbicara tentang green infrastructure maka Infrastruktur jalan, pelabuhan, air dan listrik semuanya mengacu pada energi yang dapat diperbaharui secara berkesinambungan untuk menggapai masa depan yang lebih baik. “Ini tentu membutuhkan kerjasama pemerintah, komunitas, Bank Dunia, karena untuk kepentingan bersama,” ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika membuka Indonesia Green Infrastructure Summit 2015 di Hotel Fairmont Jakarta, Selasa 9 juni 2015.
Wapres mengatakan bahwa dirinya pernah bicara dalam suatu pertemuan di Tokyo dan ditanyakan mengapa Indonesia tidak menjaga kelestarian hutan tropis. Wapres menjawab dengan memberikan pertanyaan tentang siapa yang telah merusak hutan tropis Indonesia? “Anda semua, beli kayu kita dengan murah. Bawa peralatan, babat hutan Indonesia pada tahun 1970-an, lalu salahkan kami. “Karena itu tanggungjawab kita pikul bersama, kalau tidak dunia kepanasan,” kata Wapres.
Hal seperti itu, tentunya tidak ingin kita ulangi. Kita harus memulai menggunakan energi yang ramah lingkungan dan tidak mengandalan energy yagn berasal dari fosil, untuk menjamin adanya keberlanjutan dan ketahann energy. “Tidak mungkin mengandalkan hanya batubara, karena kotor dan bahaya,” ucap Wapres.
Secara ekonomis, kita tidak mungkin menggunakan hanya satu energi primer karena bila terjadi masalah, maka rusaklah seluruh sistem nasional. Bauran energi yang diharapkan ke depan adalah gabungan. Pertama kita tidak akan menggunakan minyak yang berasal dari fosil, batubara tetap dipakai dengan batas-batas tertentu wilayah dan teknologi. Kemudian, kata Wapres, kita lengkapi dengan gas, LNG, dan energy terbarukan sepertu tenaga air, geothermal. “Sehingga dicapai mix energi yang tahan secara ekonomi, lingkungan dan untuk masa datang,” kata Wapres.
Energi terbarukan di Indonesia memiliki banyak potensi, seperti tenaga air, geothermal, matahari dan angina. Tetapi, kenapa sulit mewujudkan mix energi? Pertama, menurut Wapres, kita harus melihat susunan cara kita memandang energi masing-masing. Dari sisi investasi, refinacing, bagaimana melaksanakan green infrastructure dari sisi pembiayaan. Investasi termurah dari energi ialah diesel, hanya dibutuhkan USD 500 ribu / MW. “Ongkos operasionalnya hanya USD 30 sen/kwh. Sekarang karena BBM turun bisa menjadi USD 25 sen/kwh,” ujar Wapres.
Kedua, jika brown coal membutuhkan investasi USD 1 juta/MW, walaupun efek lingkungan berbahaya. Memang saat ini sudah banyak teknologi untuk mengurangi bahaya, dikenal sebagai teknologi ultra supercritical. “Secara teoritis mengurangi efek lingkungan. Itu langkah yang baik,” kata Wapres.
Kita harus mengakui bahwa dunia teknologi berkembang dengan baik. Dimana 5 tahun yang lalu ongkos operasional tenaga matahari adalah USD 40 sen/kwh, skrg turun menjadi USD 16/kwh. “Di Indonesia, sebenarnya tenaga matahari sangat baik, walaupun perlu banyak tempat. Saya yakin ke depan teknologi semakin berkembang, seperti baterai yang sekarang masih mahal,” ucap Wapre.
Mungkin pertanyaan selanjutnya, berapa investasi yang dibutuhkan untuk green energy? Rata-rata memerlukan USD 2 juta/MW, tapi operasionalnya tidak lebih dari 20% dari investasinya. Artinya, dimana kesulitannya? Kesulitannya adalah saat investasi green energy dibutuhkan 4 kali lipat dibanding tenaga matahari, 2 kali lipat investasi dari batubara. “Disinilah butuh kerjasama lembaga keuangan internasional. Dahulukan investasi seperti ini, green energy, green infrastructure,” ujar Wapres.
Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Di awal sambutannya, Wapres mengatakan bahwa kita selalu menyadari masalah lingkungan setelah mendapatkan masalah. Di Jawa, Kalimantan dan di di tempat lain terjadi banjir besar baru menyadari kesalahan di masa lalu. Dunia menyadari itu saat ada masalah. Melaksanakan pengalaman-pengalaman yg baik untuk dunia dan kita semua di sini.
Wapres mengakui bahwa ada kebijakan masa lalu yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan bencana. Seperti kita ketahui, ekonomi Indonesia pada dekade 1970-1980 digerakkan oleh penebangan hutan. “Ssehingga pengusaha terbesar adalah pengusaha kayu, dibabatlah jutaan hektar hutan Indonesia dengan bangganya,” ucap Wapres.
Setelah itu beberapa puluh tahun kemudian, barulah dirasakan masalah besar di bidang lingkungan. Masalah dimulai saat kita membeli kayu dengan harga yang murah dan dieksploitasi perusahaan dunia. Tentunya hal ini menjadi tanggungjawab semua, bukan karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia, tapi dunia yang menyebabkan hal ini. “Karena itulah climate change tanggung jawab kita semua,” ujar Wapres.
Begitu pula halnya saat kita mengobral bahan baku mineral mineral pada 10-20 tahun terakhir yang menyebabkan masalah ekonomi lingkungan. Tetapi pemerintah telah menyadarinya, sehingga dengan drastis pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menutup semua ekspor bahan baku mineral tanpa dilakukan proses. “Itu semua untuk membuat bangsa ini lebih berksinambungan, baik dari segi lingkungan, tenaga kerja, maupun nilai tambah daripada kekayaan bangsa ini,” tutur Wapres.
Kita, lanjut Wapres, belajar dari semua pengalaman itu, sehingga harus dapat melaksanakan prinsip-prinisp ekonomi dan menjadikan pemerintahan yang berksinambungan serta mewariskan bangsa untuk masa depan anak cucu dengan baik. Upaya itu tidak lain melalui kebijakan pokok untuk memperbaiki lingkungan kita. “Kita sadari banyak kekurangan infrastruktur, alam, sungai dan juga usaha-usaha pertanian yang tidak sesuai lingkungan. Tentu harus diperbaiki sebaik-baiknya, jalankan dengan drastis untuk kepentingan itu semua,” kata Wapres.
Insentif untuk Green Energy dan Disentif untuk Brown Energy
Indonesia sepuluh tahun yang lalu membangun pembangkit listrik 10.000 MW menggunakan energy batubara, karena kita membutuhkan dengan cepat dan biaya yang tidak mahal. “Namun apabila direncanakan dengan baik, green energy harus berjalan lebih cepat dan tertata,” ujar Wapres.
Wapres menjelaskan bahwa saat ini struktur energi di Indonesia adalah 52% batubara, 24% gas, 12% BBM, 12% air dan geothermal. Sepuluh tahun ke depan kita harus tingkatkan 2 kali lipat, sehingga bila dewasa ini baru terpasang 52.000 MW, 10 tahun mendatang kira-kira 120.000 MW, maka energy terbarukan haruslah mencapai 30.000 MW 30rb tersendiri, yang sekarang baru 12%. “Dibutuhkann 20.000 MW pada 10 tahun mendatang untuk energi terbarukan,” ucap Wapres.
Suasana seperti ini memberikan kesempatan kepada pegusaha energi untuk berinvestasi. Memang geothermal membutuhkan teknologi dan risiko yang besar. Pemerintah telah memutuskan untuk memperlakukan seperti minyak. Pemerintah survei terlebih dahulu, menentukan titiik yang menghasilkan. “Investor dapat memakai data ini, kemudian mendapatkan cost recovery. Itu yang kita harapkan 2016, sistem ini berjalan dan diharapkan lebih menarik,” kata Wapres.
Dengan metoda seperti itu, Wapres mengharapkan investasi green energy akan meningkat. Khusus untuk batubara, kebijakannya adalah untuk mengurangi polusi maka didahulukan dua hal, yakni ekspansi yang sudah ada, agar masalah lahan dan tempat tidak terlalu tersebar. “Apabila seluruh Jawa dibangkitkan dengan listrik dari batu bara, maka kondisi Pulau Jawa akan seperti Shanghai dan Beijing penuh dengan asap,” ujar Wapres.
Kedua, mendahulukan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang (mine mouth). Dengan skema pembangkit seperti ini maka investasi akan murah dan mengurangi efek polusi bagi lingkungan serta lebih efisien. “Itulah kebijakan untuk PLTU batubara,” kata Wapres.
Kebijakan-kebijakan itu adalah kebijakan yang akan dijalankan untuk menciptakan green energy guna mendukung green infrastructure secara kesleuruhan. Harapan kita, ucap Wapres, di samping menjaga lingkungan, kerjasama investasi dan keuangan sehingga dorongan investasi green ini lebih memungkinkan dan lebih dapat dijalankan sebaik-baiknya. “Disinsentif untuk brown energy, insentif untuk green energy,” ucap Wapres.
Pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan
Managing Director and COO World Bank Group Sri Mulyani Indrawati dalam sambutannya mengatkan bahwa Bank Dunia memiliki dua tujuan, yakni mengentaskan kemiskinan ekstrim pada tahun 2030 – yang berarti hanya 15 tahun dari sekarang. Dan mempromosikan kesejahteraan bersama – memastikan bahwa masyarakat dalam kelompok 40 persen terbawah turut menikmati manfaat dari kemajuan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan-tujuan ambisius ini, sangat diperlukan pertumbuhan yang pesat. Adalah fakta bahwa selama 20 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi telah membantu hampir satu miliar orang bebas dari kemiskinan. “Tetapi masih ada satu milyar orang yang bertahan hanya dengan USD 1,25 per hari atau kurang. Lebih dari 1,1 miliar orang tidak memiliki akses listrik. 2,5 miliar orang tidak memiliki akses kepada layanan sanitasi,” ucap Indrawati.
Indonesia memang telah menikmati pertumbuhan yang luar biasa. PDB telah meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir dan kemiskinan telah berkurang sampai separuhnya, turun menjadi 11,3 persen pada tahun 2014. “Tetapi tidak semua orang merasakan manfaat dari keberhasilan tersebut. Sukses ini pun makan biaya tinggi dengan merusak lingkungan,” kata Indrawati.
Satu negara yang mengalami hal yang sama adalah Tiongkok. Perekonomian Tiongkok telah tumbuh dua digit selama beberapa dekade, tetapi mereka juga kehilangan 9 persen dari PDB-nya karena pertumbuhan yang tidak ramah lingkungan. Untuk mengatasinya Tiongkok kini mengadopsi kebijakan-kebijakan ramah lingkungan atau disebut juga kebijakan ‘hijau, dan mengubah kegiatan ekonomi dengan lebih mengutamakan inovasi dan produksi yang punya nilai tambah tinggi. “Sekarang, Tiongkok ingin maju dini dalam menerapkan proses produksi yang ramah lingkungan,” tegas Indrawati.
Bila kita terus bertahan dengan cara lama, manfaat pertumbuhan ekonomi akan berkurang karena sumber daya alam akan habis dengan cepat, dan kita akan lebih rentan menghadapi perubahan iklim atau risiko kesehatan.
Kerusakan lingkungan mempengaruhi semua orang. Namun yang paling menderita adalah kelompok masyarakat paling miskin. Mereka lebih rentan terhadap iklim yang ekstrim dan bahaya banjir. Mata pencaharian mereka menjadi lebih tidak pasti. Tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia diderita oleh mereka yang tinggal di daerah dengan lingkungan yang rusak.
Jadi, jika ada satu pembelajaran paling penting bagi ahli pembangunan, pembuat kebijakan, dan lembaga-lembaga seperti Bank Dunia yang telah belajar selama beberapa dekade terakhir, adalah ini: Jika kita ingin berhasil dalam mengentaskan kemiskinan, kita tidak bisa hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi saja, kecuali pertumbuhan tersebut bersifat inklusif dan berkelanjutan bagi lingkungan.
Acara ini dihadiri oleh Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Ketua Umum KADIN Suryo B Sulisto dan juga para investor yang tertarik dalam bidang infrastruktur ramah lingkungan.
****