Bogor-wapresri.go.id. Terjadinya berbagai konflik di Timur Tengah (Timteng) menyebabkan banyak penduduk non-muslim phobia terhadap Islam. Padahal, kondisi Islam di ASEAN jauh berbeda dari negara-negara di Timteng tersebut. Selain karena negara-negara di ASEAN ini mayoritas memiliki persamaan mazhab, akhlak menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia tengah membangun Universitas Islam Internasional untuk menjadikan Indonesia kiblat pemikiran Islam.

“Kalau kita bersyukur dan mempunyai kondisi yang baik itu, (maka) rasa syukur kita harus dinyatakan dalam bentuk upaya untuk menjadikan Islam di Indonesia atau ASEAN ini sebagai contoh atau tauladan bagi yang lain, sehingga kita bukan hanya belajar tapi waktunya kita mengajar, mengajarkan,” seru Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat membuka Halaqah (Pertemuan) Ulama se-ASEAN 2016 di Hotel Salak Heritage, Bogor, Selasa (13/12/2016).

Wapres mengungkapkan, Islam di Asia Tenggara berbeda dengan Timteng, karena penyebarannya tidak dengan cara kekerasan.

“Kenapa Islam Asia Tenggara berbeda? Karena sejarahnya berbeda dengan sejarah Islam di Timur Tengah dan Afrika pada umumnya. Penyebaran Islam di Indonesia dalam sejarahnya tidak dengan perang, tidak dengan kekerasan, tidak dengan tentara, semua dengan transisi perdagangan, ulama sebagai pedagang atau pedagang sebagai ulama yang masuk ke  Indonesia sehingga terjadi suatu perubahan  tetapi baik,” jelas Wapres.

Lebih jauh Wapres mencontohkan bagaimana Wali Songo mengajarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Mereka mengajarkannya dengan lembah lembut, tidak merubah secara drastis suatu budaya tetapi mengubah secara fundamental, sehingga gamelan tetap dipakai sebagai media penyebaran. Begitu juga para penyebar Islam yang datang ke Sumatera, atau Sulawesi yang menyebarkan Islam dengan kedamaian. Tidak memerangi yang berbeda, tetapi memanfatkan perbedaan itu dengan lebih baik, asalkan bukan masalah akidah.

“Karena itulah maka sudah waktunya apa yang kita punyai, modal yang kita punyai harus juga kita berikan kepada masyarakat Islam secara internasional. Kehidupan yang moderat, tapi ajarkan juga secara mulus karena sejarahnya (Indonesia) seperti itu,” imbuh Wapres.

Menurut Wapres, agama ujungnya adalah akhlak. Tanpa akhlak maka agama hanya menjadi ilmu semata yang dapat menyebabkan perbedaan dan konflik tajam sehingga terjadi situasi yang membuat orang memandang negatif tentang Islam.

Seperti yang terjadi di Timteng. Dulu, kata Wapres, Timteng dikenal sebagai pusat peradaban Islam dan juga akhlak. Apabila seseorang ingin mempelajari Islam selalu merujuk ke Mesir, Arab Saudi, Yaman dan sebagainya, bahkan tokoh-tokoh Islam Indonesia juga banyak yang berasal dari Timteng. Namun, banyaknya kekerasan dan konflik, sulit menjadikan Timteng kembali sebagai pusat peradaban Islam, karena para pelajar yang menuntut ilmu di sana, dapat terpengaruh dengan kondisi yang terjadi.

“Bagaimanapun pendidikan apapun namanya sangat terpengaruh oleh kondisi yang ada. Karena  itulah kita semua tersentak dan ingin mempunyai suatu (kondisi) peralihan yang baik. Rasa syukur tentang keadaan kita (yang) lebih baik tentu harus kita implementasikannya dengan contoh tauladan yang baik kepada negara-negara lain dan kita semua,” jelasnya.

Lebih lanjut diungkapkan Wapres bahwa Indonesia saat ini memiliki pesantren sebanyak 30 ribu, artinya dalam setiap 1500 anak didik terdapat 1 pesantren. Pesantren yang ada mulai dari salafiyah sampai dengan yang modern, merupakan modal utama negara Indonesia.

“Islam itu mengikuti kemodernan karena itu pengelolaan pesantren harus lebih modern sesuai dengan jamannya. Kita tidak  bisa lagi hanya terpaku dengan sejarah saja tapi kepada jamannya. Pendidikan harus lebih dahulu daripada jamannya karena apa yang dididik hari ini manfaatnya (untuk) 10 tahun lagi. Jadi ilmu yang diberikan harus tetap cocok untuk  suasana 10 tahun lagi  sedangkan ilmu itu begitu cepat perkembangannya,” tegasnya.

Menurut Wapres, Islam tidak kekurangan da’i, tidak kekurangan pegawai tetapi yang kurang adalah orang yang ingin mendirikan perusahaan atau yang ingin menjadi pedagang, padahal dua hal itulah yang menyebabkan umat Islam tidak bisa maju seperti yang lain karena tidak ikut dalam pertarungan dalam bidang usaha.

“Sering saya katakan agama kita mewajibkan kita bayar zakat, sedekah. Orang bayar zakat harus mempunyai harta. Tentu juga pesantren harus memberikan motivasi yang kuat kepada santrinya untuk begerak di situ atau melatih sekalian. Karena kalau tidak, maka kita hanya pencari kerja bukan pemberi kerja,” seru Wapres.

“Menjadi kuat di negeri sendiri, menjadi pembayar zakat yang baik, memberikan pekerjaan kepada ummatnya itu juga tugas utama sehingga kita tidak ketinggalan,” sambungnya.

Menutup sambutannya, Wapres mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada para pengasuh pondok pesantren yang dengan gigih telah mengasuh anak didik. Wapres berharap, apa yang dihasilkan dalam pertemuan ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi ada konkrit nyata.

“Karena itulah maka apa yang harus kita bicarakan ini bukan hanya untuk ramai diseminarkan tapi harus ramai dilaksanakan secara bersama-sama demi keutuhan umat kita,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melaporkan, tema Pertemuan Ulama ASEAN ini adalah “Mengembangkan Islam Moderat Melalui Jaringan Pesantren se-ASEAN” yang bertujuan merumuskan langkah-langkah konkrit dan operasional dalam membangun jaringan dan kerjasama antar pesantren di kawasan ASEAN. Acara ini di hadiri oleh 150 peserta yang terdiri dari pesantren ASEAN, duta dari negara anggota Menteri-Menteri Agama Negara Brunai Darussalam Indonesia Malaysia dan Singapura (MABIMS), ulama, akademisi, birokrasi, anggota parlemen, mahasiswa asing di Indonesia dan tokoh-tokoh  masyarakat yang terkait dengan pendidikan agama dan keagamaan.

Selain Menteri Agama, hadir dalam acara tersebut Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohamad Oemar, dan Staf Khusus Wapres Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah Syahrul Udjud. (KIP, Setwapres)