Makassar, wapresri.go.id – Saat menyampaikan pidato sebelum menerima penganugerahan gelar doktor kehormatan dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengatakan, sudah bukan saatnya lagi Islam dan nasionalisme dipertentangkan. Membuat jarak atau bahkan mempertentangkan keduanya, ujarnya, justru akan merugikan umat Islam dan warga negara Indonesia.

“Islam adalah ajaran dari Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW, yang menduduki tempat tertinggi dan mulia dalam kehidupan setiap dan seluruh Muslim. Oleh karena itu, kita harus tetap menempatkan Islam dalam ketinggian dan kemuliaannya itu dan tidak mereduksinya ke dalam realitas dan fenomena empiris-sosiologis seperti semangat kebangsaan atau nasionalisme,” terang Wapres di hadapan para guru besar, dosen, mahasiswa, dan sivitas akademika UMI di forum yang digelar di auditorium kampus tersebut, Sabtu (23/6).

Dalam pidatonya yang berjudul “Aktualisasi Prinsip Islam dalam Penguatan Semangat Kebangsaan” itu, Wapres kemudian memaparkan bukti sejarah bagaimana proses penyebaran Islam berkontribusi besar dalam menyatukan nusantara.

Islam yang dianut berbagai suku bangsa yang berbeda dari Aceh, Minangkabau, Sunda, Bugis, hingga Maluku, jelasnya, mendorong terbangunnya persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah). Ketika kolonialisme Belanda datang menjajah nusantara, lanjut Wapres, ukhuwah Islamiyah mendorong tumbuhnya persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathaniyah).

“Dalam perkembangan ini, kita dapat melihat pertumbuhan ukhuwah wathaniyah, yang menjadi dasar semangat kebangsaan, tumbuh, berkembang dan menguat dari ukhuwah Islamiyah,” tegas Wapres.

Nasionalisme Religius

Sejak awal abad ke-20, Wapres mengatakan, semangat keislaman tumbuh beriringan dengan semangat kebangsaan. K.H. Basuni Imran (1883-1976), ulama terkemuka asal Kalimantan Barat, terangnya, kemudian berkirim surat untuk meminta fatwa kepada Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), ulama terkemuka Mesir di masanya, menyikapi fenomena ini.

Syekh Muhammad Rasyid Ridha, penulis Tafsir Almanar yang terkenal itu, pun menyatakan bahwa semangat kebangsaan tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan, menurutnya, cinta tanah air adalah bagian dari iman, sehingga iman seseorang Muslim tidak lengkap jika ia tidak mencintai tanah airnya.

“Penting ditegaskan, semangat kebangsaan dalam pemikiran Syekh Rasyid Ridha adalah semangat kebangsaan berdasarkan agama Islam dan karena itu dapat disebut sebagai ‘nasionalisme religius’,” ujar Wapres.

Semangat kebangsaan atas prinsip Islam itulah, kata Wapres, yang mendasari terbentuknya negara Indonesia. Ia pun menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila merupakan aktualisasi dari nasionalisme religius dalam kelima silanya.

Di akhir pidato penganugerahan doktor honoris causa ke-12 yang diterimanya itu, Wapres berharap semangat kebangsaan ini terus diperkuat guna memajukan Indonesia.

“Dengan Indonesia yang maju, kita dapat memberikan sumbangan lebih besar kepada peradaban dunia yang adil dan damai dalam rangka mengaktualisasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin,” pungkasnya. (RN/FM, KIP Setwapres)