Jakarta. Akibat berbagai konflik yang terjadi di Timur Tengah seperti Suriah dan Iraq, banyak penduduk di negara-negara tersebut mengungsi ke negara-negara Eropa. Namun, dalam perjalanan, banyak dari mereka meninggal di Laut Mediterania. “Ini adalah masalah kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab kita bersama,” tegas Wakil Presiden (Wapres) ketika membuka The International Consultation on Multi-Religious Humanitarian Action: Addressing Violent Religious Extremism, Refugees and Migrant Crisis and Disaster Relief, di Kantor Wakil Presiden, Merdeka Timur, Rabu, (13/1/2016).
Konflik tersebut, lanjut Wapres, dipicu oleh tindakan radikalisme sekelompok pemuda yang marah yang tidak mendapatkan keadilan. Kemudian mereka mencari keadilan dengan cara-cara mereka sendiri. Mereka mengatasnamakan Islam, karena agama menjadi media yang sangat mudah untuk membangun solidaritas. Mereka mengiming-imingi surga kepada siapapun yang mengikuti mereka.
Lebih jauh Wapres mencontohkan, konflik di Poso dan Ambon, disebabkan karena faktor ketidakadilan, baik ekonomi dan politik. Namun mereka berkeyakinan, dengan melakukan jihad mereka akan masuk surga. Wapres yang saat itu masih menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat menekankan kepada kelompok Kristen dan Islam yang bertikai, bahwa mereka tidak akan mendapatkan surga, justru akan masuk neraka.
Seperti halnya di Aceh, munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), disebabkan juga oleh faktor ketidakadilan ekonomi. Aceh yang memiliki banyak sumber daya alam, namun masyarakatnya masih banyak yang hidup dalam kemiskinan. Kelompok GAM ini kemudian mencari keadilan dengan cara-cara yang ekstrem.
Sementara, Wapres mencermati, tumbuhnya kelompok radikalisme seperti Alqaida dan ISIS dari negara yang gagal, akibat penghapusan paksa penguasa otoriter di negara tersebut dengan dalih penegakkan demokrasi. Hal ini menyebabkan hilangnya legitimasi politik dan kekosongan kekuasaan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis. “Seperti yang kita saksikan di Suriah, di mana kelompok-kelompok ekstremis tumbuh cepat dan menyebar luas menyebabkan konflik yang menghancurkan,” ujar Wapres.
Wapres menegaskan, radikalisme tidak dapat dikalahkan oleh kekuatan militer saja, karena kelompok radikal tidak takut mati. Para pelaku pengeboman bunuh diri bukan mencari uang maupun jabatan, karena setelah mereka mati, mereka tidak akan menikmatinya. Tetapi dengan pemahaman mereka yang sempit, mereka berpikir akan masuk surga. “Pelaku tindakan terorisme di Paris bukanlah orang yang relijius, bahkan ia memiliki bar dan juga menjual narkoba. Ia berpikir, dengan jalan pintas melakukan bom bunuh diri, akan membawanya ke surga,” ungkap Wapres.
Oleh karena itu, Wapres mengimbau, diperlukan upaya untuk menghentikan radikalisme di segala level, termasuk para pemimpin negara yang melakukan invasi ke negara-negara lain. “Kita jangan hanya memberikan nasihat kepada masyarakat untuk menghentikan tindakan radikalisme, tetapi juga kepada pemimpin negara yang melakukan invasi ke negara lain,” tegas Wapres.
Selain itu, lanjut Wapres, perlunya mempromosikan pemikiran moderat dan menciptakan toleransi beragama. Di Indonesia, semua hari raya agama dijadikan libur nasional, meskipun pengikut agamanya kurang dari 1 %, seperti Budha. Bahkan, meskipun Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, promosi pariwisata yang ditonjolkan adalah Pulau Bali yang masyarakatnya mayoritas beragama Hindu, dan Candi Borobudur, candi agama Budha. Seperti halnya India, meskipun penduduknya mayoritas beragama Hindu, namun Taj Mahal yang ditonjolkan, bangunan yang identik dengan muslim. Menteri yang ada di Kabinet Indonesia juga datang dari berbagai latar belakang daerah dan agama. “Kita mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari kita di sini,” ungkap Wapres.
Wapres menekankan sekali lagi masalah tindakan radikalisme, krisis migran dan pengungsi, serta bantuan bencana menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan peran masing-masing. Untuk pemimpin, agar menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat, tidak memimpin secara otoriter, serta tidak menginvasi negara lain sehingga menimbulkan kelompok radikal. “Stop kekerasan, tidak hanya kekerasan agama tetapi juga politik. Pada akhirnya ini masalah kemanusiaan,” tegas Wapres.
Sementara, pemuka agama senantiasa melakukan dialog dan mempromosikan ideologi agama yang moderat dan toleran. “Saya berharap forum ini berjalan lancar dan memberikan manfaat antara satu dengan yang lainnya,” pungkas Wapres.
Sebelumnya Ketua Pusat Dialog dan Kerjasama antar Peradaban yang juga Co-President Religions for Peace Din Syamsudin menyampaikan acara ini merupakan konsultasi dari berbagai lembaga di dunia yang bergerak di bidang kemanusiaan. Tiga topik yang dibahas adalah ekstremisme agama, krisis migran dan pengungsi, serta bantuan bencana. “Pak Yusuf Kalla adalah orang yang sangat tepat untuk membicarakan ketiga hal tersebut,” ujarnya.
Sementara Sekretaris Jendral Religions for Peace William Vendley menyampaikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia yang turut aktif dalam mendukung misi global menciptakan perdamaian dunia khususnya di Timur Tengah. Ia berharap ada pemisahaan yang jelas jelas antara negara dan agama, baik secara identitas, mandat, maupun kapasitas.
Uskup Gereja Norwegia Gunnar Stalsett yang juga hadir, menyampaikan bahwa Indonesia adalah inspirasi bagi gerakan kemanusiaan dan demokrasi. “Dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah suara yang mewakili moderat dan toleransi,” ucapnya.
Religions for Peace (RfP)adalah organisasi internasional terbesar yang terdiri dari perwakilan berbagai agama yang mendedikasikan pada isu perdamaian. Didirikan pada tahun 1970, organisasi ini bermarkas di New York, Amerika Serikat. Saat ini RfP memiliki perwakilan di 90 negara yang tersebar di seluruh benua. (Siti)