Sendai. Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia menjadikan Indonesia seperti juga Jepang adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana alam. Sebagai konsekuensi, kesiapsiagaan bencana harus melekat dalam prioritas nasional dan agenda pembangunan. Pernyataan ini disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat memberikan sambutan di The Third World Conference On Disaster Risk Reduction di Sendai International Centre, Sendai Jepang, Sabtu 14 Maret 2015.

Wapres menjelaskan bahwa saat ini, frekuensi dan tingkat kerusakan bencana semakin meningkat dan sangat mempengaruhi manusia. Hal ini menjadi pertanda serius karena ada jutaan orang yang hidupnya terkena dampak bencana. Selain itu, risiko dari kerugian ekonomi, dan juga kerusakan dari pembangunan meningkat lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi. “Oleh karena itu, pencegahan melalui upaya pengurangan risiko bencana merupakan tindakan yang sangat berharga,” ucap Wapres.

Saat tsunami terjadi pada tahun 2004, kata Wapres, menjadikan isu hak asasi manusia dan respon bencana alam ke dalam agenda internasional. Aceh adalah daerah yang terkena dampak terburuk dari bencana tsunami, dengan perkiraan korban yang tewas mencapai 200.000 jiwa. Dari pengalaman Indonesia, setelah gempa dan tsunami melanda pada 2014, “Kami mulai menggandakan upaya penanganan bencana dengan mengubah paradigma dari tanggap darurat dan pemulihan, menjadi pendekatan yang lebih komprehensif,” kata Wapres.

Hal ini tidak hanya menjadikan Indonesia dapat membangun kembali Aceh dengan lebih baik, khususnya di daerah yang terkena dampak bencana dalam waktu yang relatif singkat yaitu hanya 4 tahun, tetapi juga memberikan kemampuan agar masyarakat tahan terhadap bencana.

Lebih jauh Wapres mengatakan bercermin dari tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006, Wapres menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada lebih dari 50 negara sahabat, termasuk Jepang, yang telah berbaik hati memberikan bantuan dan sumbangan untuk membangun kembali dan merehabilitasi kedua daerah itu.

Wapres mengakui jika Indonesia tidak akan mampu untuk melakukan pemulihan bencana secara cepat tanpa dukungan dunia internasional. Indonesia juga telah berinvestasi pada pencegahan bencana, mitigasi, dan kesiapsiagaan, sehingga saat ini telah menjadi prioritas utama. “Kami juga mengintegrasikan pendekatan Disaster Risk Reduction (DRR) dalam agenda pembangunan,” kata Wapres.

Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 telah memberikan pelajaran pada Indonesia. Dan pada tahun 2005 sebanyak 168 negara menyetujui aksi Hyogo Framework. Dengan menjadikan Hyogo Framework sebagai acuan, Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dengan mengintegrasikan dan mengutamakan pengurangan risiko bencana ke dalam undang-undang dan rencana pembangunan nasional, termasuk juga rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang, baik di tingkat pusat, dan daerah yang meliputi provinsi dan kabupaten/kota. “Kami sekarang memiliki Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2014-2019, dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana,” ucap Wapres.

Indonesia, kata Wapres, memberikan perhatian khusus dalam memperkuat kapasitas lokal dan tindakan lokal; memanfaatkan pengetahuan lokal dan kearifan lokal; dan melibatkan semua kelompok masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana, seperti perempuan, mereka yang kurang mampu, pemuda, dan kaum disabilitas. “Hal ini sangat penting, mengingat pemerintah daerah dan masyarakat berada di garis depan dalam menghadapi bencana. Saat ini, ratusan desa di sebagian besar wilayah rawan bencana di Indonesia kini bergabung dengan kampanye Proyek Desa Tangguh,” ucap Wapres.

Namun, kita memahami bahwa semuanya ini merupakan upaya jangka panjang dan membutuhkan kerja sama internasional di semua tingkatan, untuk membangun kapasitas negara-negara berkembang agar masyarakatnya tahan terhadap bencana. “Oleh karena itu, kemitraan bilateral dengan negara-negara tetangga perlu terus ditingkatkan dan dipromosikan,” kata Wapres.

Pada tingkat regional, Indonesia berperan aktif dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana melalui kerangka ASEAN dan Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR). Pada tingkat global, Indonesia ingin mengingatkan pentingnya umendirikan sebuah kerangka kerja yang menyeluruh untuk semua sektor yang berbeda dan pelaku untuk bekerja sama membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana.

Mengingat pentingnya berbagi pengetahuan, Wapres menyampaikan bahwa Indonesia telah mendirikan pusat penanganan bencana kelas dunia. “Indonesia siap berbagi pengalaman, praktik terbaik dan pembelajaran dalam manajemen bencana melalui Indonesia Disaster Training Ground / INA DRTG,” tutur Wapres.

Selain itu, kata Wapres, sangatlah penting untuk menjadikan DRR Framework pasca-2015 menjadi lebih komprehensif dan inklusif, dan berkesinambungan dari prinsip-prinsip yang disepakati secara internasional sebagai tercantum dalam Hyogo Framework.

Lebih jauh Wapres mengatakan bahwa Indonesia percaya bahwa DRR Framework pasca-2015 harus mencakup pemberdayaan masyarakat lokal, pemanfaatan pengetahuan lokal dan kearifan lokal serta dimasukkannya berbagai kelompok masyarakat pada DRR sebagai pengambil keputusan. “Selain itu, menghubungkan agenda global pasca-2015 pada Adaptasi Perubahan Iklim, Pengurangan Risiko Bencana, dan Pembangunan Berkelanjutan,” ucap Wapres.

Wapres menggarisbawahi bahwa pada saat yang sama, kerangka masa depan harus dapat memberikan perhatian karena negara-negara dengan karakteristik tertentu seperti negara-negara kepulauan dan negara-negara dengan garis pantai yang luas.

Indonesia juga akan selalu memberikan kontribusi positif bagi upaya terus-menerus dari penyusunan kerangka DRR pasca-2015 untuk menjadi pedoman pada masa yang akan datang sebagai upaya pengurangan risiko bencana global. “Biarkan Sendai menjadi tonggak sejarah yang berkesinambungan tahun ini,” ucap Wapres.

The Third World Conference On Disaster Risk Reduction diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dan dihadiri oleh Perdana Menteri Jepang Sinzo Abe, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Presiden Kenya Uhuru Kenyatta. Konferensi ini berlangsung 14-18 Maret 2015.

****