Jakarta, wapresri.go.id – Berbagai program terkait pencegahan anak kerdil (stunting) telah dilakukan, namun belum efektif dan belum terjadi dalam skala yang memadai. Untuk itu kepala daerah dituntut untuk melakukan pemetaan pemanfaatan anggaran dari tingkat pusat hingga desa.

“Kita banyak program, namun tidak banyak semua program bisa terlaksana di satu desa. Semua kegiatan tersebut harus dapat dilaksanakan di satu lokasi. Jangan sampai di sebuah desa ada obat cacing namun desa tersebut tidak punya sanitasi. Artinya kurang konvergen,” ungkap Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan yang juga menjabat Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Bambang Widianto, ketika menyampaikan Keynote Speech pada Pembukaan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis), di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (1/10/2019).

Rakornis yang mengangkat tema “Mendorong Konvergensi Program Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) di Wilayah Prioritas”, dikatakan Bambang, merupakan rangkaian dari lima pilar upaya pencegahan stunting, yaitu komitmen pemimpin, kampanye perubahan perilaku, konvergensi program, akses pangan bergizi, pemantauan dan evaluasi program. Ia optimis jika kelima pilar tersebut berjalan sesuai rencana maka target penurunan stunting ke level 19,48% pada tahun 2024 bisa tercapai. Saat ini, prevalence stunting di Indonesia masih berada pada angka 30,8%.

Bambang mencermati, konvergensi pencegahan stunting ini belum dapat dilaksanakan dengan baik karena pemanfaatan anggarannya belum dapat dipetakan secara optimal. Padahal, Indonesia memiliki dana dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

“Kita sudah punya banyak dana, sekitar 60 triliyun rupiah. Indonesia punya uang tapi tidak kurang-kurang amat, SDM juga ada, kenapa [kondisi stunting] sama dengan negara-negara Afrika? Berarti ada yang kurang,” jelasnya.

Menurut Bambang, kurangnya pemahaman dalam memetakan penggunaaan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah disebabkan belum ada forum khusus yang membahas hal tersebut.

“Misal, [sebuah] desa sudah dapat sanitasi dari Dinas PU [Pekerjaan Umum], namun ada juga program sanitasi dari Dana Desa. Ini agak aneh, berarti harus ada program untuk diskusi ini,” tegasnya.

Untuk itu, Bambang menekankan, Rakornis yang diselenggarakan oleh Setwapres dari tanggal 2 sampai dengan 4 Oktober 2019 ini menjadi forum yang sangat strategis bagi kepala daerah untuk mempelajari lebih dalam lagi bagaimana memetakan anggaran sesuai dengan program yang dibutuhkan di daerah masing-masing.

“Selama beberapa hari ini, kami ingin Bapak/Ibu mahir memetakan bagaimana membuat list kegiatan. Misal pemetaan dari Dana Desa, banyak yang bisa dilakukan,” imbaunya.

Bambang pun menunjukkan buku laporan pemetaan 5 desa di Buleleng, Provinsi Bali, yang berisi berbagai program stunting di tahun yang akan datang.

“Pada akhir pelatihan, Bapak/Ibu diharapkan bisa menyusun buku seperti ini. Jika untuk tahun depan Bapak/Ibu bisa memetakan kegiatan-kegiatan tersebut, maka stunting bisa turun dengan cepat,” pungkasnya.

Sebelumnya Asisten Deputi Perlindungan Sosial dan Penanggulan Bencana yang juga merupakan Ketua Panitia Rakornis Abdul Muis melaporkan, peserta Rakornis yang telah hadir pada saat itu berjumlah 408 orang, dari 501 perwakilan kabupaten/kota di 34 provinsi.

Muis menambahkan, hingga saat ini pemerintah telah menetapkan 260 Kabupaten/Kota Prioritas penanganan stunting. Agar lebih tepat sasaran, masing-masing kabupaten/kota prioritas diminta untuk menetapkan desa prioritas penanganan stunting.

Sementara, Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto, menekankan pentingnya menggunakan data rill dalam menyelesaikan masalah stunting.

“Angka-angka yang disampaikan adalah hasil riset, atau probabilistic, sangat bagus untuk strategic planning. Tapi untuk implementasi mengatasi stunting sebaiknya pakai data riil,” imbuhnya. (SK-KIP, Setwapres)