Istana Wakil Presiden. Keberadaan laut mempersatukan, bukan memisahkan bangsa Indonesia. Cara berfikir seperti ini secara fundamental harus dipahami seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa laut, kita tidak bisa berhubungan dan ini menjadi dasar membuat kebijakan-kebijakan nasional, ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika memberikan kuliah umum kepada peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XX dan Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LIII Lemhanas Tahun 2015 di Gedung II Istana Wakil Presiden, Merdeka Selatan, Senin, 7 September 2015.
Dalam acara yang mengambil tema Budaya Bahari dalam Ketahanan Nasional tersebut, Wapres memaparkan, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki perbedaan dengan negara pulau atau kontinental, sehingga bangsa Indonesia yang memiliki lautan sebesar 60% dan daratan 40% memiliki potensi lautan yang sangat besar. Otomatis sistem pemerintahan Indonesia berbeda, perkonomian berbeda, cara industri yang berbeda dan cara transportasi yang berbeda hingga dibutuhkan kebijakan umum yang menjadi bagian kesatuan. Itulah yang menjadi suatu harmoni bangsa Indonesia dengan cara mempersatukan bangsa dengan kondisi seperti ini,” tegas Wapres.
Menurut Wapres, sebagai negara maritim dan sebagai negara bahari, ada beberapa hal yang harus berbeda dengan masa lalu dan harus ditingkatkan, yaitu jalur perdagangan dan penyebaran jumlah penduduk, yang harus mengikuti kondisi bahari. Untuk itu hal utama yang harus diperhatikan adalah masalah transportasi, yang sampai saat ini menjadi masalah, karena menyebabkan ongkos logistik mahal. Wapres mencontohkan, ongkos logistik mahal menyebabkan harga-harga antar pulau menjadi mahal, contoh barang yang dikirim dari pulau Jawa ke Papua ataupun sebaliknya menjadi mahal karena terbebani di ongkos transportasinya, dan menyebabkan daya beli menurun. Oleh karena itu Wapres mengajak peserta PPSA dan PPRA memperhatikan distribusi perekonomian, dan adanya subsidi di setiap daerah agar perekonomian di daerah berjalan.
Wapres juga menjelaskan, Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang terluas dan terpanjang menjadikan bahari atau maritim selalu menjadi gaya, budaya, cara berpikir, atau cara hidup dalam menjalankan ekonomi. Untuk itu, Wapres mengharapkan para peserta PPSA dan PPRA lebih dapat memahami masalah-masalah maritim Indonesia, bukan hanya membanggakan masa lalu namun harus bisa berpikir bagaimana membanggakan masa depan. Kita sering salah kaprah tentang budaya. Budaya adalah cara berpikir, gaya hidup, dan kultur. Jadi jangan berhenti membanggakan warisan masa lalu, namun berupaya mengembangkannya dengan mengikuti teknologi masa kini, ungkap Wapres.
Pada kesempatan itu, Wapres juga menyoroti illegal fishing dan permasalahan perikanan. Wapres menjabarkan terdapat dua masalah dalam perikanan yaitu listrik dan pelabuhan. Listrik dalam hal ini berhubungan dengan penyimpanan ikan yang baik dan setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menangkap begitu banyak illegal fishing, yang harus dikerjakan adalah membangun pelabuhan-pelabuhan dengan dukungan listrik yang baik untuk penyimpanan ikan yang baik.
Sementara, terkait dengan ketahanan, Wapres berpandangan, bukanlah membeli kapal perang dan semacamnya, tetapi bagaimana wawasan nusantara dan keadilan ekonomi berjalan dengan sifat dan kekuatan bahari. “Penangkapan illegal fishing merupakan solusi yang bersifat shock theraphy, namun pada jangka panjang tanpa kemampuan pengolahan, tidak mampu memperkuat bahari, tegas Wapres.
Wapres menambahkan, sifat bahari juga dinamis, tidak berarti semua orang yang hidup di dekat pantai memiliki kemampuan maritim yang kuat. Meskipun cara hidup dan cara berpikir bersifat bahari, tapi belum tentu dalam kemajuan kemaritimannya. “Kemaritiman harus diimbangi dengan kemampuan lainnya melalui pendidikan dan teknologi, agar sistem biaya transportasi kemaritiman kita lebih efisien, ucap Wapres.
Sementara, lanjut Wapres, kekayaan bahari hanya membutuhkan dua hal yaitu teknologi yang hebat dan modal yang besar, serta cara mengelolanya. Jadi yang harus diperhatikan dalam memperkuat kemaritiman yaitu menyelesaikan transportasi singgah, dan biaya logistik yang adil.
Di akhir acara, Wapres sekali lagi mengharapkan agar peserta PPSA XX dan PPRA LIII Lemhanas lebih memperhatikan dunia bahari di Indonesia. Apa yang membedakan antara museum dan pendidikan? Museum melihat ke belakang, sedangkan pendidikan melihat ke depan. Lemhanas adalah lembaga pendidikan berarti melihat ke depan, tidak melihat ke masa lalu, tapi mempelajari masa lalu sebagai suatu pengalaman,” tegas Wapres.
Sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla menerima Gubernur Lemhanas Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Supandji, DEA. di ruang audiensi Istana Wakil Presiden. Gubernur melaporkan jumlah peserta dan model pendidikan PPSA dan PPRA Lemhanas. Saat ini Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XX diikuti 80 peserta dan Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LIII diikuti oleh 117 peserta yang berasal dari TNI, Polri, Kementerian/LPNK, Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan, Pemda serta 11 orang lainnya merupakan peserta tamu dari negara lain seperti dari Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, Zimbabwe, Aljazair dan Timor Leste. (Gita Savitri)