Kantor Wakil Presiden. Indonesia adalah negara terbesar ketiga penghasil kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun disayangkan, dari sisi produktivitas, Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara penghasil kakao lainnya. Indonesia lebih banyak mengekspor dalam bentuk biji kering kakao dibandingkan hasil olahannya. Hal ini mengakibatkan nilai tambah untuk pertumbuhan ekonomi dalam negeri tidak terlalu tinggi. Ada beberapa tantangan yang dihadapi petani dan juga pengusaha coklat tanah air. Untuk itulah Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Pieter Jasman menemui Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Rabu, 29 April 2015.
Jasman menjelaskan bahwa produksi biji kakao atau biji coklat menurun karena minimnya lahan untuk menanam kakao. Saat ini kebun-kebun milik perusahaan swasta telah diganti dengan kelapa sawit. Penyebabnya antara lain, perkebunan kakao dengan lahan yang luas sulit dijaga keberadaannya. Padahal, ucap Jasman, menurut data International Cocoa Organization (ICCO), konsumsi coklat di Eropa semakin meningkat 2-4 % pertahun. Asia juga demikian, permintaan coklat semakin pesat. India dan Cina yang sebelumnya tidak banyak mengkonsumsi coklat, saat ini termasuk negara dengan permintaan yang sangat tinggi. “Hasil biji kakao Indonesia untuk memenuhi kebutuhan coklat dunia,” ujar Jasman.
Bahkan tahun lalu, Jasman menambahkan, negara-negara Eropa yang biasanya memasok kakao dari Ivory Coast dan Ghana, karena isu virus Ebola yang menyebar di Afrika, beralih mengimpor dari Indonesia. “Target pemerintah adalah 2 juta ton pertahun, namun rata-rata kakao di Indonesia baru mencapai 500 ribu kilogram pertahun,” ungkap Jasman.
Tantangan lainnya yang diutarakan oleh Jasman adalah biaya coklat olahan yang masuk negara lain sangat tinggi. Lebih jauh Jasman mencontohkan coklat dari Ivory Coast dan Ghana yang masuk ke pasar Eropa tidak dikenakan biaya, sementara coklat Indonesia dikenakan biaya masuk 7 sampai 9 persen. Sama halnya di Tiongkok, Malaysia tidak dikenakan biaya, sementara Indonesia diharuskan membayar 7 persen. “Untuk itu, kami berharap pemerintah dapat melobi negara-negara pengimpor coklat olahan Indonesia untuk membebaskan biaya masuk,” ujar Jasman.
Wapres sangat mendukung berkembangnya industri kakao dan coklat di Indonesia ini. Menurut Wapres ada perbedaan antara usaha kelapa sawit dengan usaha coklat. Kelapa sawit membutuhkan lahan yang luas dan harus dikelola dengan manajemen yang lebih besar. Namun, untuk coklat, biji kakao dapat tumbuh di lahan yang kecil dan dapat dikelola oleh pengusaha perorangan.
Karena itulah, kata Wapres, orang-orang di Sulawesi lebih kaya dibandingkan orang-orang Sumatera. Mengapa? Karena lahan-lahan di Sumatera banyak ditanam kelapa sawit yang pemiliknya berasal dari Malaysia, sementara di Sulawesi, walaupun perkebunan coklat tidak sebesar kelapa sawit, tetapi pemiliknya adalah orang Sulawesi sendiri. “Di Sulawesi perkebunan sawit dan tebu tidak pernah jalan, karena orang Sulawesi tidak mau bekerja untuk orang lain. Tetapi usaha coklat walaupun kecil pasti berjalan, karena orang Sulawesi rata-rata mau jadi bos semua,” gurau Wapres mengundang tawa.
Wapres menegaskan, yang harus menjadi perhatian ketiga stakeholder harus mendapatkan keuntungan, baik petani, pemerintah, maupun industri itu sendiri. Upaya untuk mengembangkan coklat harus selalu diupayakan dengan mekanisme yang jelas.
Di akhir pertemuan, Direktur PT Olam Indonesia Saurabh Suri mengundang Wapres untuk menghadiri Federation of Cocoa Commerce (FCC) Dinner yang akan diselenggarakan pada tanggal 15 Mei 2015 di Grosvenor House, London, United Kingdom.
FCC adalah organisasi kakao terbesar di dunia. Organisasi ini bertujuan selain menjadi platform untuk sektor perdagangan dan industri kakao di dunia, juga bagaimana mendukung sustainability. Organisasi ini juga concern dengan masalah-masalah sosial seperti isu child labor dan rain forest. FCC Dinner merupakan pertemuan antara negara-negara Timur dan Barat yang terkait dengan industri kakao sekali dalam 2 tahun. Tahun ini, direncanakan Presiden Ghana akan hadir dan menjadi pembicara. “Keberadaan Indonesia dalam FCC Dinner ini diharapkan dapat membuka mata dunia terhadap peran Indonesia sebagai negara penghasil kakao dalam mendukung perekonomian dunia” ucap Suri. (Siti Khodijah)
****