Kantor Wakil Presiden. Indonesia dan Australia memiliki kerjasama yang cukup lama dalam bidang keamanan, terutama pasca terjadinya bom Bali. “Situasi kita sekarang ini sama seperti waktu itu, bagaimana menanggulangi terorisme dan radikalisme. Karena negara kita sangat dekat, kita memiliki pengalaman yang sama, tidak hanya dalam menanggulangi terorisme tetapi juga kejahatan lainnya,” ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika menerima Jaksa Agung Australia The Hon George Brandis di Kantor Wakil Presiden, Merdeka Utara, Senin, 21 Desember 2015.

Kedatangan Jaksa Agung Brandis dan rombongan untuk membahas isu keamanan dan hukum, khususnya kerjasama dalam bidang, penanggulangan terorisme, cyber, dan intelejen. Brandis menyampaikan, akan dilakukan pertemuan tahunan para menteri dan pejabat senior dari kedua negara untuk membahas lebih intens kerjasama dalam tiga hal tersebut. Pertemuan akan dilakukan dalam bentuk working group mengenai koordinasi penanganan kejahatan cyber, pendanaan terorisme, dan berbagi informasi intelejen. “Kita memiliki kepentingan yang sama untuk meningkatkan kerjasama dalam berbagi informasi intelegen,” ungkap Jaksa Agung.

Menurut Wapres, berdasarkan pengalaman, ideologi radikalisme seperti Alqaidah, datang dari orang-orang yang kembali dari perang di Afghanistan. Begitu juga dengan ISIS, harus diwaspadai orang-orang yang kembali dari perang di Syria atau negara-negara di Timur Tengah. “Pada dasarnya orang-orang Indonesia sangat moderat dan toleran satu dengan lainnya,” jelas Wapres.

Brandis berpendapat, hal ini juga ditemui di Australia. Pelaku terorisme adalah orang-orang terlatih yang kemudian kembali ke rumah mereka dan membentuk ideologi yang sama, sehingga kejahatan terorisme meningkat. “Kita tau hal tersebut terjadi di Indonesia dan juga di Australia,” tutur Brandis.

Wapres mencermati, masalah utama dari terorisme dan radikalisme adalah tidak adanya keadilan, kemiskinan, dan pendidikan yang tidak merata. Wapres menjelaskan, Al-Qaidah dan ISIS berasal dari negara-negara yang gagal. Menurut Wapres, hal ini patut dipertanyakan. “Negara-negara tersebut gagal karena dipaksa untuk berdemokrasi tetapi waktunya tidak tepat. Demokrasi harus dibangun dengan cara-cara yang demokratis pula,” ucap Wapres.

Sama seperti di Australia, kata Brandis, pelaku teroris adalah kebanyakan masyarakat menengah dari generasi kedua. “Mereka adalah orang-orang yang tidak diuntungkan secara ekonomi,” ungkap Brandis.

Wapres berpandangan, orang-orang yang melakukan tindakan radikalisme selalu dianggap teroris. Namun pelaku teroris berpendapat, mereka adalah pejuang untuk ideologi meraka. “Menurut pendapat saya pribadi, mereka adalah sekelompok pemuda yang marah yang mengharapkan keadilan di negara mereka,” ucap Wapres.

Kemudian Wapres menjelaskan, berdasarkan pengalaman konflik yang terjadi di Poso, aksi-aksi teror yang terjadi bukanlah gerakan agama. “Mereka marah namun menggunakan agama sebagai medianya, karena dengan agama paling mudah memobilisasi kelompok,” ujar Wapres.

Wapres mengungkapkan, pelaku teroris di Poso, sebelum melakukan aksinya tidak pergi ke Mesjid, tetapi malah minum alkohol. Lalu, apa yang membuat mereka mau melakukan terorisme? “Ternyata mereka melakukan aksi terorisme bukan karena uang ataupun jabatan, tetapi karena diiming-imingi surga. Menurut mereka, itu jalan termudah masuk surga,” ungkap Wapres.

Wapres menambahkan, pemimpin-pemimpin kelompok terorisme adalah bukan dari orang-orang religius, yang memahami agama. Lebih jauh Wapres mencontohkan, pemimpin Al-Qaidah Al-Zarkawi adalah ketua gank, begitu juga pemimpin ISIS Al-Baghdadi bukanlah orang yang religius. Bahkan pelaku terorisme di Paris Abdelsam, memiliki bar di Belgia dan mengkonsumsi alkohol.

Menteri Kehakiman Australia The Hon Michael Keenan yang merangkap sebagai Menteri yang menangani penanggulangan terorisme di Australia mengatakan, pelaku ISIS menggunakan media sosial sebagai platform propaganda aksi mereka untuk menarik pengikut lebih banyak lagi. “Mereka sangat cepat, sehingga kita mengalami kesulitan untuk melacaknya. Untuk itu kita bekerjasama dengan Indonesia,” ungkap Keenan.

Sementara Komisioner dari Kepolisian Federal Australia Andrew Colvin menyampaikan, fakta menunjukkan bahwa pelaku terorisme merasa mereka adalah orang-orang terpinggirkan dari masyarakat. Masyarakat tidak memberikan banyak kesempatan kepada mereka. Untuk mencari pengikutnya, mereka menggunakan teknik khusus melaui media online, seperti halnya kejahatan sex pada anak-anak. “Saat ini, ISIS menarik pengikutnya dengan brosur-brosur yang sangat menarik bagi anak-anak muda,” jelas Colvin.

Direktur Jenderal Keamanan Duncan Lewis yang turut hadir bersama George Brandis menjelaskan, sangat sulit memonitor seluruh kegiatan ISIS. Menurutnya, salah satu karekteristik dari kelompok ISIS adalah, mereka ahli teknologi, terutama sosial media dan enkripsi data. “Untuk itu kami berharap dapat bekerjasama berbasis teknologi. Kami memiliki sejarah yang panjang dengan BIN,” terang Lewis.

Wapres menyambut baik kerjasama tersebut. Melalui teknologi, kelompok ISIS ini dapat dengan mudah mengirim pesan mereka dalam hitungan detik. Untuk itu dibutuhkan ahli-ahli IT yang mampu mencegah aksi ISIS dalam menyebarkan propaganda mereka melalui cyber terrorism. “Jangan sampai mereka lebih baik dari kita,” pungkas Wapres.

Hadir mendampingi Wapres Menteri Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonnal Laoli, serta Kepala Badan Intelejen Negara Sutiyoso.

*****