Jakarta-wapresri.go.id. Tujuan pemberantasan korupsi adalah untuk mencegah kerugian negara dan kerugian masyarakat. Untuk itu perlunya mengambil tindakan/aturan sesuai dengan tujuan itu. Namun, kadang-kadang aturan yang diambil tidak proporsional, sehingga menyebabkan ketakutan yang besar di kalangan pengambilan kebijakan atau keputusan. Hal ini justru bukan mempercepat pembangunan, melainkan memperlambat pembangunan.

“Jadi bagaimana mengharmoniskan ini bersama? Keseimbangannya apa? Bahwa kita harus memberantas korupsi, tapi jangan memberantas korupsi itu menyebabkan ketakutan luar biasa sehingga orang tidak bertindak. Karena ujung daripada pembangunan ini, tujuan bernegara adil dan makmur, ialah bagaimana kita semua meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan kemakmuran, meningkatkan pendapatan usaha kita,” seru Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada Peluncuran Buku “Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Antikorupsi: Fakta dan Analisis”, di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (12/5/2016).

Wapres mengungkapkan, bangsa Indonesia sangat merasakan akibat-akibat dari korupsi yang setiap hari menjadi bagian dalam diskusi dan harus diselesaikan. Untuk itu, kini, telah ditetapkan undang-undang yang lebih keras dari sebelumnya. Lalu mengapa isu atau masalah korupsi ini kelihatan makin besar?

Menurut Wapres, ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, sebagian besar yang dikorupsi adalah anggaran, karena anggaran yang naik 100% setiap lima tahun, sehingga yang dikorupsi juga makin besar.

Kedua, formula atau hukum korupsi semakin melebar juga menyebabkan makin banyak orang yang terjerat korupsi. Dulu, kata Wapres, korupsi hanya sebatas yang merugikan negara dan memperkaya diri sendiri, namun sekarang double, merugikan atau dapat merugikan itu sama dengan korupsi, belum terjadi pun dapat dianggap sudah korupsi.

Ketiga, kewenangan yang makin melebar juga menjadi faktor meningkatnya tingkat korupsi.

“Dulu yang korupsi hanya eksekutif itu pun lebih banyak di tingkat pusat karena segala kendali, segala keputusan ada di Jakarta.  Begitu otonomi yang meluas dan demokrasi yang menyebabkan eksekutif, yudikatif, legislatif berfungsi sama maka berarti yang korupsi yang memiliki kewenangan, yang punya hak tandatangan,” ungkap Wapres.

“Pelaksanaan otonomi juga membuat kewenangan terbagi sehingga yang masuk KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] ada menteri, ada gubernur, ada kepala daerah, ada juga karena yudikatif mempunyai peranan yang luas, ada juga hakim, jadi semuanya sekarang merata korupsi,” lanjutnya.

Faktor keempat, media juga dapat dianggap sebagai sumber yang membuat korupsi terlihat semakin meningkat. Wapres mencontohkan, dulu saat seorang keluarga presiden atau menteri datang ke bisnis biasa saja, tapi sekarang jika seperti itu akan dicurigai dan diberitakan media.

Wapres mengakui, pemerintah saat ini menghadapi dilema. Di satu sisi, ingin mengurangi birokrasi atau aturan, tapi di sisi lain, aturan tetap bertambah karena ketakutan di jajaran bawah.

“Bikin pelabuhan minta Keppres, nambah listrik minta Keppres, bikin jalan tol minta Keppres,” ungkap Wapres.

Lebih jauh Wapres menjelaskan, ketakutan tersebut disebabkan apabila salah dalam mengambil keputusan, dapat berakibat masuk penjara.

“Banyak hal-hal yang menjadi contoh, bagaimana seorang pejabat yang korup harus dihukum, dan bagaimana dengan maksud baik mungkin saja ada kekeliruan dalam bertindak maka terjadilah dia masuk penjara,” ungkap Wapres.

Untuk itu Wapres berharap, perlu adanya evaluasi agar hukum yang ditegakkan proporsional.

“Hukum yang emosional perlu kita evaluasi kembali karena hukum harus mendapatkan keadilan,” tegas Wapres.

Dengan begitu, lanjut Wapres, kedua hal tersebut tetap dapat berjalan seimbang, korupsi dapat diberantas, namun percepatan pembangunan tetap berjalan.

“Memang ini rumusan gampang diucapkan tapi bagaimana ini mensinkronkannya. Tentu pekerjaan rumah Pak Agus [Ketua KPK] dan Bapak-bapak sekalian di MA [Mahkamah Agung] dan Kejaksaan sehingga negeri ini dapat berjalan sesuai tujuan,” ucap Wapres.

Untuk itu Wapres menekankan agar pihak-pihak yang terkait dapat membuat aturan yang proporsional sehingga tidak menimbulkan ketakutan dalam mengambil keputusan, yang pada akhirnya bertujuan menyejahterakan rakyat.

“Inilah faktor yang sebenarnya saya ingin sampaikan dari sisi pemerintah, bahwa tolong diberikan suatu batasan supaya tidak timbul ketakutan. Inilah satu bahagian dari upaya kita semua untuk melaksanakan sebaik-baiknya tugas kita dalam satu negara  tapi jangan lupa semua kita disini dengan satu tujuan. Tujuan bernegara mencapai masyarakat yang adil dan makmur,” pungkas Wapres.

Sebelumnya Direktur Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik Kesejahteraan-Persatuan-Keadilan Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa peluncuran buku ini merupakan upaya menyebarluaskan informasi secara santun dan sosialisasi pembelajaran pada masyarakat umum tentang perlunya kesadaran akan unsur obyektifitas dan nalar sehat dalam semangat nasional pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Acara peluncuran dan bedah buku ini dihadiri pula oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali, dan  Ketua KPK Agus Rahardjo. (KIP, Setwapres)