Jakarta, wapresri.go.id – Energi baru terbarukan (EBT) menjadi satu-satunya pilihan untuk mengurangi emisi karbon dunia. Penggunaan EBT semakin tak terelakkan terlebih karena Indonesia telah meneken Perjanjian Paris yang salah satunya mewajibkan negara-negara penandatanganannya untuk mulai mengurangi penggunaan batu bara sebagai sumber energi pada tahun 2020.

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menyatakan hal ini saat menerima asosiasi pengusaha EBT di Istana Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan No. 2, Jakarta, Jumat (22/12) siang.

Pada pertemuan itu, Wapres mendengar berbagai keluhan tentang pengembangan industri EBT di Indonesia.

Halim Kalla dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), misalnya, meminta agar pemerintah memberikan insentif dan menyediakan kredit dengan bunga rendah kepada industri EBT lokal.

Wakil Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul mengeluhkan regulasi yang dinilai menghambat EBT untuk berkembang.

“Regulasi yang kuat dan tidak berganti-ganti akan menjamin kepastian bagi investor,” kata Paul.

Selain mempersoalkan regulasi, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni juga menangkap adanya ketidakadilan dalam pola kerja sama build, own, operate, and transfer (BOOT) antara independent power producer (IPP) dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) serta harga beli listrik yang dipatok maksimal 85% dari biaya pokok produksi pembangkit (BPP) setempat.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM) Arcandra Tahar yang turut hadir siang itu menyatakan komitmen pemerintah dalam mendukung pengembangan EBT.

“Kita tidak punya pilihan lain selain EBT di masa depan. Tetapi, kita menghadapi banyak kendala dalam pengembangannya,” ujarnya.

Beberapa kendala itu di antaranya lahan untuk pembangunan pembangkit listrik EBT terutama di pulau Jawa yang relatif mahal, bank-bank nasional yang tidak menyediakan kredit dengan bunga rendah kepada industri EBT, dan kapasitas produksi listrik dari pembangkit EBT yang masih rendah.

Namun, tegasnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM berusaha keras untuk mengatasi berbagai kendala itu dan mencatat semua keluhan yang disampaikan untuk ditindaklanjuti.   

Sementara itu, Wapres mengatakan faktor keekonomian menjadi salah satu isu utama dalam pengembangan EBT. Itulah mengapa, lanjutnya, pembangkit listrik di Indonesia saat ini masih menggunakan batu bara yang dinilai lebih ekonomis.

“Jangan sampai energi terbarukan ditujukan untuk mengurangi tarif. Tidak mungkin energi terbarukan lebih murah daripada batu bara,” ujarnya.

Wapres juga mengingatkan kebutuhan listrik dalam negeri ke depan akan semakin tinggi.

“Selain penyediaan listrik, kita juga harus memberi perhatian khusus pada pembangunan transmisi. Saat ini, transmisi kita hanya sepanjang 46 kilometer, seperempat dari yang dimiliki Malaysia,” kata Wapres.

Mengkahiri pertemuan itu, Wapres menyarankan pertemuan lanjutan antara Kementerian ESDM dan asosiasi pengusaha EBT untuk mencari solusi yang saling menguntungkan dan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi jangka panjang terutama di bidang energi. (FM, KIP Setwapres)