Hiroshima, wapresri.go.id – Seiring dengan perkembangan dunia yang sangat dinamis, paradigma tentang perdamaian harus diubah. Perdamaian tidak boleh dipahami sebatas tidak terjadinya kekerasan, tetapi lebih dari itu.
”Perdamaian harus dipahami dan diyakini sebagai kondisi di mana keadilan ditegakkan, persamaan hak dan kebebasan terjamin, kemakmuran terwujud, toleransi menjadi praktik keseharian, serta alam demokrasi dan hak asasi manusia tercipta,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla saat menyampaikan kuliah umum berjudul “Ketidasesuaian antara Konflik dan Peradaban” usai menerima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Hiroshima di Jepang, Rabu (21/2).
Di abad sebelumnya, kata Wapres, selama lebih dari 80 tahun komunisme dan fasisme telah menimbulkan konflik dan kekerasan di banyak negara. Kini, katanya, dunia menghadapi ancaman sebuah ideologi utopis tak berbasis negara yang menyulut berbagai tindakan intoleran.
“Para pelakunya berasal dari berbagai belahan dunia. Mereka menyatakan perang terhadap negara, terhadap orang biasa dan tidak berdosa, dan terhadap siapa pun yang bukan anggota kelompok mereka. Mereka menyebut diri mereka kekuatan dunia, padahal sesungguhnya mereka adalah monster dunia,” tegas Wapres.
Akar Konflik
Menurut Wapres, seringkali yang menjadi pemicu utama konflik di berbagai belahan dunia adalah ketidakadilan, baik di bidang politik, sosial, hukum, maupun ekonomi. Tanpa pemahaman yang baik tentang akar penyebab konflik ini, lanjutnya, berbagai upaya perdamaian tidak akan membuahkan hasil.
Ia kemudian mencontohkan, organisasi penyebar teror seperti Alqaedah dan Taliban di Afganistan, ISIS di Irak dan Suriah, dan Boko Haram di Afrika tumbuh subur di “negara-negara yang gagal” (failed states). Awalnya, kata Wapres, organisasi-organisasi ini terbentuk merespon hadirnya negara-negara asing di negeri mereka. Dengan dalih membawa misi kemanusiaan serta perlindungan atas hak asasi manusia dan demokrasi, terangnya, negara-negara kuat dunia itu membawa kepentingan mereka sendiri ke negeri-negeri itu.
“Inilah yang sebenarnya menjadi akar konflik. Karena “negara-negara gagal” tersebut sengaja diciptakan, negara-negara kuat dunia itu harus ikut bertanggung jawab. Tidak ada alasan untuk menyalahkan pihak lain,” ujar Wapres.
Perkembangan teknologi komunikasi yang sangat cepat akhir-akhir ini, Wapres mengingatkan, juga harus diwaspadai. Selain menjadi sarana yang efektif untuk menghubungkan sesama manusia, ujarnya, teknologi juga berpotensi menjadi instrumen paling efektif untuk memicu konflik.
“Penyebaran hoaks dapat dengan mudah memprovokasi orang untuk berseteru satu sama lain. Dalam kaitan ini, rasionalitas, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk mengendalikan diri dalam menggunakan teknologi sangat diperlukan,” pesan Wapres.
Tragedi Paling Menakutkan
Pada kesempatan itu, Wapres juga menyampaikan empatinya atas tragedi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki 78 tahun silam yang tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga peradaban manusia. Ia pun menyebut insiden ini sebagai “tragedi paling menakutkan” di sepanjang sejarah.
Ia kemudian menandaskan kejadian ini menjadi peringatan yang mahal agar tidak ada lagi perang di dunia.
“Tiga puluh enam rencana untuk memenangkan pertempuran tidak sebaik satu rencana untuk menarik diri darinya,” pungkas Wapres menyitir peribahasa Jepang yang berbunyi, Tatakai nikatsu ho ho no 36 no keikaku wa tatakai kera tettai suru itsu no keikaku hodo umaku ikanai. (RN/FM, KIP Setwapres)