Perhelatan Demokrasi di Depan Mata, Setwapres Gelar FGD “Meneropong Persiapan Pilkada Serentak 2024
Jakarta, wapresri.go.id – Dengan makin dekatnya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 November 2024, pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan terus memperkuat koordinasi demi kelancaran penyelenggaraannya. Pada pilkada 2024, akan dipilih sebanyak 271 kepala daerah yang terdiri atas 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati.
Terkait hal ini, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) melalui Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan dan Wawasan Kebangsaan (DKPWK), menggelar secara luring dan daring Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Meneropong Persiapan Pilkada Serentak 2024”, di Hotel Mercure Jakarta Sabang, Jl. H. Agus Salim No. 11, Jakarta Pusat, Kamis (04/07/2024). Berbagai isu krusial dan rekomendasi strategis dibahas secara mendalam pada acara tersebut.
Dalam sambutannya, Pelaksana Harian (Plh.) Deputi Bidang DKPWK Suprayoga Hadi mengemukakan, berkaca dari pengalaman pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari 2024, setidaknya ada enam tantangan besar yang harus dihadapi untuk memastikan pilkada berjalan dengan jujur, adil, dan demokratis. Pertama adalah profesionalitas penyelenggara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Saya rasa teman-teman di KPU dan Bawaslu ditantang untuk lebih profesional, mandiri, dan matang dalam menghadapi berbagai temuan di lapangan,” ujar Suprayoga.
“Kemudian, melaksanakan regulasi dengan baik dan benar menjadi salah satu kunci keberhasilan, dan juga netralitas yang kokoh,” tambahnya.
Kedua, Suprayoga mengungkapkan, perihal politik uang dan praktik jual beli suara (vote buying) di lapangan.
“Memang harus kita antisipasi bagaimanapun di lapangan. Karena kalau tidak, kualitas demokrasi kita tidak akan lebih baik,” tegasnya.
Ketiga, Suprayoga menuturkan, netralitas penyelenggara pilkada, TNI, Polri, aparatur sipil negara (ASN), terutama di pemerintah daerah, dan termasuk penggunaan fasilitas publik milik negara harus selalu diingatkan.
“Keempat, hoaks terkait dengan informasi pilkada. Saya rasa ini juga menjadi penting untuk kita perhatikan karena berpotensi mengganggu kenyamanan publik maupun juga yang dalam mengikuti kontestasi pilkada,” sambungnya.
Kelima, Suprayoga menekankan pentingnya perbaikan sistem rekapitulasi suara (sirekap) karena proses penghitungan suara ini akan diikuti oleh masyarakat, terlebih dipantau oleh para peserta kontestasi.
“Mudah-mudahan di pilkada ini bisa berjalan lebih baik, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan polemik di masyarakat,” harapnya.
Selanjutnya, secara khusus Suprayoga meminta masukan bagi penyelenggaraan pilkada di daerah-daerah otonomi baru di wilayah Papua mengingat dinamikanya cukup tinggi, terutama berkaitan dengan masalah keamanan.
“Kita harapkan pilkada serentak di Papua, khususnya di daerah otonomi baru, bisa berkontribusi secara nyata terhadap percepatan pembangunan kesejahteraan di Papua,” pintanya.
Dalam kesempatan ini, Anggota KPU Idham Holik menyampaikan, tahapan penyelenggaraan pemilu sudah berjalan. Sejumlah tugas yang menjadi kewenangan KPU telah dikerjakan, antara lain, pencocokan dan penelitian (coklit) untuk pemutakhiran data pemilih, verifikasi faktual bakal calon perseorangan, menormakan putusan Mahkamah Agung tentang batas usia calon kepala daerah, dan antisipasi calon tunggal melalui komunikasi dengan penyelenggara daerah.
“Tanggal 26 Januari 2024 yang lalu, kami mengundangkan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. Jadi, pilkada sedang running. Pilkada sedang berjalan. Mudah-mudahan kalau analogi pesawat, cuacanya terus bagus,” terangnya.
Idham pun memastikan, tahapan pilkada 2024 tidak akan terganggu dengan transisi kepemimpinan di internal KPU akibat diberhentikannya Hasyim Asy’ari dari jabatan Ketua KPU.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mencatat, isu krusial dalam pilkada 2024 berupa politik uang, potensi petahana, netralitas ASN/TNI/Polri, politisasi program kerja, netralitas penyelenggara, pemaknaan terhadap aturan, adaptasi teknologi informasi, dan hoaks/disinformasi.
Di samping itu, ia mengingatkan berbagai kerawanan dalam pengawasan pemilu, seperti pada verifikasi dukungan calon; Daftar Pemilih Tetap (DPT), baik dalam penyusunan DPT, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih), ataupun coklit data pemilih; kampanye yang berpotensi melibatkan ASN/TNI/Polri, para kepala desa, atau anak bawah umur; serta logistik.
“Yang menarik dari netralitas ASN, di pilkada jauh lebih besar pelanggarannya daripada pemilu. Misalnya, di 2020 yang hanya 270 [wilayah], ada sekitar 1.080 pelanggaran netralitas ASN. Pemilu 2024 berapa, yang seluruh wilayah? 600-an,” ungkap Bagja.
Sementara itu, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menyampaikan pokok-pokok critical dari policy assessment dalam penyelenggaraan pemilu 2024 di Indonesia. Dalam paparannya, ia menyoroti pentingnya manajemen penyelenggaraan pemilu yang baik dari aspek penyusunan daftar pemilih, aspek inklusi penyandang disabilitas, aspek kampanye dalam konteks formulasi kebijakan, serta aspek kampanye dalam konteks pengawasan.
Adinda menekankan, penyelenggara pemilu tentu tidak bisa bekerja sendirian dan perlu ada kolaborasi multipihak untuk menyukseskan agenda pesta demokrasi ini. Misalnya dalam pendataan pemilih, penyelenggara pemilu tentu perlu bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil ataupun Dinas Sosial.
“Data security adalah isu yang sangat penting dan kejadian kebocoran data ini bukan hanya sekali terjadi di republik ini. Bahkan juga di tahun lalu, kita mengalami kebocoran data, termasuk data pemilih, data BPJS, data dari bank, dari e-commerce, sehingga ini perlu menjadi perhatian bersama, jadi pembelajaran bersama untuk keamanan data dan kolaborasi, termasuk penyelenggara pemilu bekerja sama dengan misalnya komunitas IT,” tutur Adinda.
Terakhir, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan problem utama dalam pemilu, yaitu perilaku siap menang dan tidak siap kalah, yang juga perlu mendapatkan perhatian bersama.
“Perilaku siap menang dan tidak siap kalah inilah yang kemudian memudahkan konflik kekerasan dan benturan antarmassa,” sebut Titi.
“Di Indonesia Timur, Papua punya tantangan, terutama daerah-daerah misalnya Yahukimo dan seterusnya yang punya sejarah konflik,” imbuhnya.
Selain dari Setwapres, FGD ini dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Sekretariat Negara, Kantor Staf Presiden, Sekretariat Kabinet, dan juga anggota Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). (RR/SK- BPMI, Setwapres)