Jelang akhir bulan September 2015, Tim Asisten Deputi Hubungan Luar Negeri (Hublu), Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintah, Sekretariat Wakil Presiden, melakukan kunjungan ke Medan, Provinsi Sumatra Utara yang merupakan salah satu lokasi pengungsi/pencari suaka, di wilayah Barat Indonesia.

Pengungsi termasuk pencari suaka merupakan persoalan bagi setiap bangsa, hal ini muncul karena sifat dasar manusia yang berkeinginan mencari suatu kehidupan yang lebih baik – dari segi ekonomi, politik, dan keamanan. Indonesia, sebagai negara yang berada dalam posisi silang dunia, menjadi salah satu lokasi strategis untuk dijadikan tempat transit ataupun tujuan akhir dari para pengungsi/pencari suaka. Atas kondisi ini, Indonesia tidak bisa menghindar dari perhatian masyarakat internasional dalam proses penanganan dan penyelesaian masalah pengungsi.

Pengalaman Indonesia dalam menangani pengungsi Vietnam yang terjadi dalam skala besar periode tahun 1979 1996 sebagai akibat dari terjadinya perang saudara antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara (Vietkong), tercatat sekitar 250 ribu orang pengungsi terdampar di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Atas dasar kemanusiaan, Pemerintah RI saat itu memutuskan untuk berkerjasama dengan UNHCR dalam menangani masalah pengungsi Vietnam ini. Keberhasilan dan apresiasi dari masyarakat internasional dalam menangani pengungsi Vietnam di Pulau Galang, telah memunculkan gagasan dari beberapa kalangan untuk menyelesaikan masalah pengungsi sekarang ini dengan pendekatan model Pulau Galang.

Fakta di Lapangan

Sampai dengan akhir September 2015, jumlah pengungsi atau pencari suaka di wilayah Medan dan sekitarnya mencapai 1956 orang, yang tersebar di 20 rumah singgah (community house) dan 1 rumah detensi imigrasi (rudenim), Kementerian Hukum dan HAM. Pengungsi yang berada di wilayah Medan, Sumatra Utara, berasal dari 16 negara, yakni: Afganistan (384), Srilanka (372), Myanmar/Rohingya (321), Palestina (283), Somalia (271), Iran (147), Bangladesh (32), Pakistan (54), Iraq (31), Sudan (24), Mesir (12), Syiria (11), Etheria (4), Quwait (2), Jordania (2), dan Thailand (1).

Jumlah pengungsi yang relatif besar sekarang ini, ke depan diperkirakan akan terus bertambah. Peningkatan jumlah pengungsi pada gilirannya akan memberikan dampak yang harus diantisipasi dari waktu ke waktu, terutama beberapa permasalahan yang terkait dengan: ketersediaan tempat penampungan yang memadai; interakasi dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya, serta kegiatan koordinatif antar pemangku kepentingan, baik di pusat maupun di daerah.

Penampungan para pengungsi/pencari suaka di wilayah Medan dan sekitarnya berada di rudenim dan di beberapa community house. Berdasarkan pemantauan di lapangan, kondisi rudenim Belawan sangat memprihatinkan, hal ini terlihat dari kondisi fisik bangunan, ditambah dengan sarana dan prasarana yang sangat terbatas. Besarnya jumlah pengungsi tidak tertampung secara memadai di rudenim tersebut sehingga banyak diantara mereka tidur dengan fasilitas seadanya. Sementara, para pengungsi yang berdiam di community house — bangunan dan berbagai fasilitas yang disediakan relatif lebih baik dan layak bagi para penghuninya.

Apapun kondisinya, penampungan para pengungsi, baik di rudenim maupun di community house, tetap berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi para penghuni serta masyarakat sekitarnya. Dari pengamatan di lapangan, interaksi antara pengungsi dengan masyarakat sekitar kurang harmonis, bahkan menimbulkan kecemburuan dan kecurigaan dari masyarakat lokal. Tidak hanya itu, karena lemahnya pengawasan, pada tahun 2013, terjadi tindak pidana pengeroyokon dan pembunuhan di rudenim Belawan yang dilakukan oleh pengungsi Rohingya terhadap pengungsi Budha Myanmar, yang mengakibatkan 8 orang Budha Myanmar tewas. Untuk diketahui bahwa kehidupan sehari-hari para pengungsi dibiayai oleh International Organization for Immigration (IOM), sebuah organisasi internasional yang mengurusi penanganan pengungsi. IOM memberikan biaya hidup per-bulan sebesar Rp 1.250.000,- untuk dua anggota keluarga pertama, dan Rp 500.000,- untuk tambahan dari setiap anggota keluarga berikutnya. Pemberian donasi kepada para pengungsi ini telah menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat lokal Indonesia.

Pengungsi diberikan kebebasan untuk keluar dari tempat penampungannya pada pukul 06:00 22:00. Kebebasan pengungsi untuk keluar dari tempat penampungan selama periode waktu tersebut, dikhawatirkan akan dimanfaatkan untuk melakukan beragam kegiatan interaksi dalam konotasi negatif dengan masyarakat sekitar, seperti: menikah dengan WNI, menyebarkan faham-faham terorisme, bertransaksi narkoba, atau bekerja secara ilegal. Sulit untuk dipungkiri bahwa para pengungsi adalah orang-orang yang memiliki permasalahan secara ideologi, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan keamanan. Sementara, harus diakui bahwa koordinasi antar pemangku kepentingan belum begitu optimal, masih banyak permasalahan yang mewarnai proses penanganan pengungsi/pencari suaka.

Pemerintah daerah melalui Kesatuan Pengembangan Politik Lintas Masyarakat menyadari tentang kesulitan menangani ribuan pengungsi sebagai akibat dari tidak ada pos anggaran yang tersedia, serta tidak ada payung hukum yang jelas untuk menggerakan kegiatan. Dengan tidak adanya dua faktor tersebut menyebabkan penanganan pengungsi dilakukan secara sporadis berdasarkan inisiatif daerah masing-masing. Kepala Kesbangpolinmas menambahkan bahwa Pemerintah Darah Sumatera Utara sudah menangani ribuan pengungsi sudah sejak tahun 2009. Sebagai pembanding, perhatian pemerintah pusat dalam menangani boat people dari Rohingya dan Bangladesh yang tiba di Aceh, baru dimulai pada pertengahan tahun 2015.

Penanganan pengungsi/pencari suaka oleh Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Imigrasi dengan rudenim bersama IOM dan UNHCR perlu dicermati dan dikaji lebih lanjut. Meskipun proses penanganannya sudah berjalan relatif baik, namun masih dapat lebih disempurnakan lagi, misalnya dalam hal penentuan community house. Perlu diciptakan keseragaman persepsi dan keserasian kerjasama dari pihak imigrasi yang beranggapan bahwa tidak jarang pihak IOM menentukan sendiri rumah singgah tanpa berkoordinasi terlebih dahulu, sementara pihak IOM menegaskan bahwa penentuan rumah singgah sudah melalui proses yang benar dan disetujui oleh pihak Imigrasi. Terkait dengan periode waktu yang tidak terbatas bagi para pengungsi untuk berada di tempat penampung hingga ada kesediaan dari pihak negara ketiga yang akan menerimanya, Pemerintah RI perlu mengintensifkan lagi mekanisme kerjasama yang sudah ada dengan para pemangku kepentingan di Pusat dan Daerah, termasuk IOM dan UNHCR. Apapun situasinya di lapangan, pihak IOM dan UNHCR mengapresiasi sikap Pemerintah RI dalam menangani pengungsi/pencari suaka dalam semangat penegakan prinsip-prinsip hukum internasional mengenai pengungsi, dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) mengingat permasalahan pengungsi itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan.

Perlukah Pulau Penampungan?

Untuk mengantisipai dan meminimalkan dampak negatif dari keberadaan dan penanganan pengungsi/pencari suaka, wacana tentang kebijakan agar para pengungsi sebaiknya ditempatkan dalam sebuah pulau — pendekatan model Pulau Galang — menarik untuk dikaji secara lebih cermat dan bijak. Kebijakan ini sangat bernilai strategis bagi kepentingan nasional Indonesia apabila direncanakan secara cermat dan terukur, terutama dalam mengefisienkan beban anggaran untuk menopang keberhasilan kebijakan tersebut. Terlepas dari konsekuensi tanggung-jawab dan anggaran yang harus disediakan, setidaknya ada 3 (tiga) keuntungan jika para pengungsi ditempatkan di sebuah pulau, yakni: (1) Mengurangi pull factor seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan pengungsi/pencari suaka; (2) Meningkatkan fungsi pengawasan dan pengendalian, khususnya bagi para pengungsi yang bertempat tinggal mandiri dengan penyebarannya di seluruh wilayah Indonesia; dan (3) Mengurangi atau bahkan menghilangkan dampak negatif bagi masyarakat lokal Indonesia yang berdiam di sekitar rudenim atau community house.

Apapun konsekuensi logis dari opsi kebijakan model Pulau Galang ini, seperti kebutuhan anggaran yang sangat besar untuk membangun infrastruktur dan berbagai fasilitas sarana dan prasarana bagi para pengungsi dalam rangka pemenuhan HAM, jalan masih panjang dan berliku untuk melakukan kajian secara cermat dan komprehensif tentang opsi pendekatan model Pulau Galang ini, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik di Pusat maupun di Daerah, termasuk kerjasama dengan pihak IOM dan UNHCR.

Meskipun Indonesia belum meratifikasi 1951 Convention and 1967 Protocol relating to the Status of Refugees, keberadaan pengungsi di Indonesia harus ditangani secara baik dan terintegratif. Indonesia selama ini menjadi negara yang melaksanakan kewajiban hukum kebiasaan internasional untuk memfasilitasi perlindungan sementara bagi pengungsi yang telah masuk dan berada di wilayah Indonesia.

Untuk kelancaran penyelesaian masalah pengungsi/pencari suaka, pemerintah perlu segera menuntaskan berbagai aturan hukum secara nasional yang mengatur tentang pengungsi/pencari suaka. Sejalan dengan itu, dibutuhkan koordinasi yang lebih erat antara Desk Penanganan Penyelundupan Manusia, Pengungsi dan Pencari Suaka (P2MP2S) sebagai tim yang bertugas untuk menangani monitoring, mengsinkronkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan tentang pengungsi/pencari suaka dengan K/L terkait lainnya, seperti Imigrasi, Kemlu, Kemsos, Kementerian PPPA, dan Pemerintah Daerah, serta pihak UNHCR dan IOM.

*****