Jakarta. Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengadakan pertemuan dengan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Panjaitan, Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Badrodin Haiti, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution dan sejumlah tokoh-tokoh Islam di Kediaman Wapres, Rabu malam, 16 Desember 2015. Pertemuan dilakukan untuk membahas sejauh mana upaya yang telah dilakukan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait lainnya dalam menanggulangi terorisme dan radikalisme.
Mengawali pertemuan, Wapres menyampaikan konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, seperti sunni-syiah di Yaman, demokrasi di Mesir, ISIS di Syria dan Iraq, tidak dapat dibiarkan. “Dampaknya akan menjadi masalah dalam negeri,” ungkap Wapres.
Padahal, lanjut Wapres, Indonesia adalah bangsa yang toleran. Dengan penduduk 90 persen beragama Islam, pariwisata yang sering ditonjolkan adalah Bali yang penduduknya mayoritas Hindu, dan Borobudur, yang merupakan candi Budha. “Tetapi kita menerimanya. Bahkan kita jarang mempromosikan masjid Istiqlal,” ujar Wapres.
Toleransi yang tinggi di Indonesia ini akan terancam apabila dimasuki dengan ideologi radikal, seperti ISIS. Menurut Wapres, teroris adalah sekelompok pemuda yang marah yang pemahaman tentang keislamannya kurang. Pemimpin ISIS, kata Wapres, bahkan sebelumnya adalah seorang preman.
Hal ini, lanjut Wapres, sama seperti konflik yang terjadi di Ambon. Para pelakunya adalah pemuda-pemuda yang jarang ke Mesjid. Namun mendadak dimasuki pemahaman radikal dan diimingi-imingi dengan surga, maka mereka melawan siapapun yang bertentangan dengan ideologi mereka.
Untuk itu Wapres mengimbau agar ideologi-ideologi garis keras yang masuk ke Indonesia dapat dicegah. Wapres menegaskan upaya yang dilakukan tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga didukung semua elemen masyarakat. “Bisa dimulai dari pendidikan, dakwah dan ekonomi,” ucap wapres.
Selanjutnya Menkopolhukam, Kapolri, dan Kepala BNPT memberikan paparan tentang sejauh mana usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mencegah berkembangnya paham radikalisme di Indonesia.
Menkopolhukam Luhut Panjaitan menjelaskan kelompok ISIS menggunakan media sebagai propaganda. Didalam kelompok tersebut juga banyak orang-orang intelektual yang mampu mendoktrin masyarakat untuk mengikuti ajaran mereka. Untuk itu upaya yang dilakukan deradikalisasi, mengajak mereka untuk meninggalkan paham-paham radikal. Luhut mengharapkan semua unsur ikut berperan ke bawah. “Peran alim ulama untuk mensosialisasikan,” kata Luhut.
Sama halnya dengan Monkopolhukam, Kapolri Badrodin Haiti juga menjelaskan penyebaran paham ISIS banyak dilakukan melalui media sosial. Ia mencontohkan, seoarang anak di Sukabumi berusia 14 tahun dapat terpengaruh ajaran ISIS. Tidak ada jaringan komunikasi orang perorang, hanya melalui internet. “Ini hebatnya media propaganda mereka,” jelas Badrodin.
Kapolri memaparkan, ISIS terbagi ke dalam 3 kelompok, kelompok inti, pendukung, serta simpatisan dan tidak mengenal status sosial. Ada yang direktur, ibu rumah tangga, bahkan mantan anggota polisi. Untuk bergabung dengan kelompok ISIS mereka melakukan berbagai jalur, bisa melalui travel umroh, tur, ataupun TKI. Untuk itu, kerjasama luar negeri telah dilakukan khususnya dibagian imigrasi.
Badrodin mengungkapkan dari ketiga kelompok yang tergabung dalam ISIS, kelompok inti yang paling sulit ditaklukan. “Harapan kami dibantu [deradikalisasi] terhadap kelompok-kelompok tadi baik yang pendukung maupun simpatisan. Kalau yang inti sudah susah dipengaruhi,” ungkap Badrodin.
Sementara dalam paparannya, Kepala BNPT menekankan bagaimana melakukan soft approach untuk merubah mindset kelompok-kelompok radikalisme. Pertama profiling, kemudian dialog bahkan dengan mengundang mantan teroris, selanjutnya diberikan pelatihan wawasan kebangsaan.
Saud mengimbau diperlukan pembinaan yang berkesinambungan, baik bagi teroris yang sudah masuk penjara, maupun bagi pendukung, simpatisan, atau keluarganya yang berada di luar penjara. “Kita harus menyelesaikan masalahnya dari hilir ke hulu,” imbau Saud.
Saud menyampaikan, masih banyak tantangan yang dihadapi sehingga sulit dilakukan pencegahan terhadap organisasi masyarakat yang melakukan radikalisme. Dalam undag-undang keormasan, apabila ormas terdaftar melakukan tindakan menyimpang, hanya diberikan sanksi pembekuan. Bahkan untuk ormas-ormas yang tidak terdaftar tidak diberikan sanksi apa-apa. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk mencegahnya. “Dibutuhkan koordinasi dan kerjasama antar kelembagaan,” tegas Saud.
Usai pemaparan, para tokoh-tokoh Islam yang hadir diberikan kesempatan untuk melakukan tanya jawab dengan dimoderatori Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hadir sebagai undangan antara lain Ketum PBNU Said Aqil Siradj, Ketum PP Muhammdiyah Haedar Nashir, mantan Ketum PP Muhammadiyah Syafi’i Maarif dan Din Syamsudin, Ketum ICMI Jimly Asshiddiqie, Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dan Utusan Khusus Presiden untuk Negara-negara Timur Tengah Alwi Shihab.
*****