Jakarta, wapresri.go.id – Bank Dunia dalam laporannya bertajuk “Indonesia Poverty Assessment: Pathways Towards Economic Security” yang dirilis awal Mei 2023, menyebutkan bahwa Indonesia dinilai berhasil dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem, dimana kemiskinan ekstrem di Indonesia per Maret 2022 tinggal 1,5%. Meskipun angka ini sedikit berbeda dengan hasil Susenas BPS pada Maret 2022 yakni 2,04%, tetapi hal tersebut tetap menunjukkan bahwa upaya penurunan kemiskinan ekstrem di tanah air mengalami kemajuan yang menggembirakan, setelah tahun sebelumnya berada di angka 2,14%.
Oleh sebab itu, untuk mencapai target angka kemiskinan ekstrem 0% pada 2024, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin meminta seluruh pihak yang terkait agar terus melakukan konvergensi, integrasi, dan peningkatan kualitas pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan ekstrem dengan memanfaatkan Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).
“Sesuai dengan arahan Presiden, Data P3KE agar digunakan untuk mempertajam data pensasaran yang sudah ada dan meningkatkan akurasi pensasaran program, khususnya untuk menjangkau keluarga miskin ekstrem yang belum menerima program,” pinta Wapres saat memimpin Rapat Pleno Khusus Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Tingkat Menteri yang membahas Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE) di Istana Wapres, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 6, Jakarta Pusat, Rabu (24/05/2023).
Sebagaimana dalam rapat sebelumnya, sambung Wapres, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) telah melaporkan pengembangan Data P3KE untuk memastikan ketepatan sasaran penerima bantuan.
“Data P3KE ini memiliki informasi yang lengkap by name-by address (berbasis nama dan alamat), bahkan by NIK (berbasis Nomor Induk Kependudukan), juga karakteristik sosial-ekonomi keluarga yang relatif baru, dan juga peringkat kesejahteraan keluarga,” ujarnya.
Lebih lanjut, selain pemanfaatan Data P3KE, Wapres juga menekankan pentingnya kolaborasi antar kementerian dan lembaga dalam melakukan konvergensi penganggaran penanggulangan kemiskinan ekstrem, termasuk untuk menambah anggaran bantuan sosial (bansos).
“Penanganan kemiskinan ekstrem ini ada yang hanya dengan bansos dan juga melalui pemberdayaan [masyarakat]. Nah karena anggaran bansos relatif kecil, maka perlu ada penggeseran anggaran [untuk bansos] supaya sasarannya menjadi lebih besar,” pintanya.
Kemudian, pada kesempatan ini Wapres juga menyoroti peran pemerintah daerah (pemda) dalam menganggarkan APBD untuk penanggulangan kemiskinan ekstrem, termasuk masalah belum adanya penetapan standar besaran anggaran untuk masing-masing daerah.
“Bagaimana supaya ada standar, sehingga pemda tidak menentukan sendiri anggaran untuk menanggulangi kemiskinan ekstrem itu,” tandasnya.
Menanggapi arahan Wapres, Menko PMK Muhadjir Effendy dalam laporannya menyebutkan bahwa penyempurnaan Data P3KE dilakukan dengan kolaborasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan BKKBN.
“Sehingga bisa dipastikan bahwa Data P3KE ini sudah by name – by address, kemudian juga sudah terstratifikasi,” ujarnya.
Menurut Muhadjir, Data P3KE saat ini sudah diturunkan ke desa-desa untuk verifikasi ulang melalui musyawarah desa.
“Sekarang progresnya sudah 70% dari data yang ada, sudah diverifikasi dan validasi oleh desa dan kelurahan, yang kemudian akan kita jadikan pedoman untuk penanganan kemiskinan ekstrem, baik di tingkat daerah maupun pusat,” ungkapnya.
Sejalan dengan Menko PMK, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan bahwa Kemendagri saat ini telah melakukan pemadanan data NIK penduduk miskin ekstrem hampir di seluruh daerah.
“Kecuali Papua dan daerah otonom baru yang empat itu belum merekonsiliasikan atau memadankan data dengan data NIK dari pembukuan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil),” sebutnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Menteri Sosial Tri Rismaharini memaparkan pentingnya pemberdayaan masyarakat untuk memberantas kemiskinan ekstrem. Sebab, menurutnya kalau hanya mengandalkan bansos saja tidak akan cukup.
“Pemberian bansos kepada masyarakat miskin saat ini masih jauh dari standar kebutuhan keluarga per bulan yang ditetapkan World Bank yakni sebesar Rp 3,2 juta. Kalau kita memberikan bansos, misalnya dari program BPNT atau PKH yang diterima keluarga miskin maksimal hanya Rp 500 ribu per bulan. Itu tidak akan cukup,” terang Risma.
“Oleh karena itu, Kemensos melakukan pemberdayaan sesuai dengan amanat instruksi Presiden (Nomor 4 Tahun 2022),” imbuhnya.
Sebagai contoh, sambung Risma, pemberdayaan masyarakat di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) dilakukan bukan dengan membangun rumah, tetapi dengan memberikan bantuan usaha, seperti binatang ternak, alat transportasi, atau alat produksi.
“Kalau kita bangun rumah sedangkan penghasilannya tetap kecil, ketika disurvey mereka akan tetap tergolong masyarakat miskin,” pungkasnya.
Selain Menko PMK, Mendagri, dan Mensos, tampak hadir pada rapat kali ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah; Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi A. Halim Iskandar; Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa; Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara; Kepala Staf Presiden Moeldoko; serta Staf Khusus Presiden Arif Budimanta.
Sementara Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing Guntur Iman Nefianto, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Suprayoga Hadi, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan dan Wawasan Kebangsaan Velix Wanggai, Deputi Bidang Administrasi Sapto Harjono W.S., Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi, serta Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah Muhammad Imam Aziz. (EP/AS – BPMI Setwapres)