Asalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, bismillahirrahmanirrahim.

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, beserta segenap sivitas akademika, para pembicara, pengamat ekonomi, dan seluruh mahasiswa yang hadir.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita semua dapat menghadiri acara ini dalam keadaan sehat.

Pembangunan ekonomi secara sistematis yang kurang lebih telah berumur 500 tahun memberikan pelajaran penting dalam satu hal pembangunan tidak seluruhnya berjalan secara stabil. Kemajuan memang sudah dicapai dari waktu ke waktu, tetapi diikuti juga dengan gelombang krisis yang terus berulang, meski dengan sebab yang berbeda.

Krisis ekonomi 1997/1998 dan juga krisis 2008, termasuk multikrisis akibat pandemi, memberi pesan kuat: dunia telah menyatu. Tiap peristiwa ekonomi di satu negara dengan cepat memberi efek tular ke negara lain. Robohnya bursa saham di bursa efek negara tertentu akan menjadi wabah kejatuhan saham di kawasan lain. Itu semua bisa berlangsung dalam hitungan menit atau jam.

Tentu saja sumber bencana bisa muncul dari bidang mana pun, bukan hanya ekonomi. Faktor politik, perang, terorisme, kelaparan, perpecahan sosial, dan pandemi (seperti sekarang ini) dapat menjadi hulu ledak global. Isolasi antar-negara nyaris tak mungkin dikerjakan lagi karena kian rekatnya interaksi, juga jejaring antar-aktor yang sudah terlalu rumit diurai.

Sejarah pembangunan ekonomi sendiri sekurangnya bisa dibagi dalam empat babakan. Pertama, pada abad merkantilisme, yang kemudian dilanjutkan periode kolonialisme dan imperialisme, kesejahteraan diperoleh dengan cara penguasaan sumber daya ekonomi (sumber daya alam). Ekspansi ekonomi dilakukan dengan cara penaklukan sehingga melahirkan penjajahan.

Negara yang berlimpah SDA berjaya pada awalnya, tetapi setelahnya alpa mengurus pengembangan ekonomi yang tak bersandar dari pemberian Allah. Pada laman ekonomi dikenal istilah kutukan SDA (resource curse hypothesis) dan Penyakit Belanda (Dutch Disease). Belanda dulunya negara makmur karena kekayaan sumber daya alamnya, tetapi kemudian merosot derajat ekonominya begitu cadangan sumber daya ekonomi terkikis.

Kedua, ditengarai pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk. Negara yang memiliki tingkat intensitas penduduk rendah dianggap memiliki peluang menyejahterakan rakyatnya. Kegiatan ekonomi negara dengan kepadatan penduduk yang tinggi berada pada level subsistensi karena rendahnya rasio penduduk dan lahan (man-land ratio). Namun, fakta ini terbantahkan sebab negara dengan tingkat kerapatan penduduk penuh, seperti Jepang dan Hongkong, mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi.

Ketiga, pandangan mutakhir menganggap pendidikan dan teknologi sebagai faktor penjelas suatu negara bisa mengakumulasi kekayaan dan pertumbuhan ekonomi. Teknologi membawa suatu negara selalu memperbarui kegiatan ekonomi menjadi efisien dan membuat pekerjaan lebih produktif. Inilah pangkal rujukan dari abad “knowledge-based economy” (Ekonomi Berbasis Pengetahuan/EBP).

Terakhir, muncul diskursus mengenai pentingnya faktor “kelembagaan”/aturan main (institutions) sebagai variabel yang mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Negara yang kelembagaannya inklusif (inclusive economic institutions) cenderung kinerja ekonominya bagus. Sebaliknya, negara yang kelembagaannya ekstraktif (extractive economic institutions) mempunyai kinerja ekonomi yang buruk. Negara yang berhasil menggabungkan ekonomi berbasis pengetahuan (EBP) dengan kelembagaan yang solid terbukti menghasilkan capaian yang gemilang, misalnya Korsel dan Finlandia.

Secara singkat, sekurangnya terdapat lima karakter pokok dari negara yang mengombinasikan antara pengembangan teknologi dan kelembagaan yang inklusif. Pertama, mengonstruksi karakter manusia sebagai pencipta, bukan pengekor. Tujuan inovasi melampaui efisiensi (pada tahap awal). Yang kedua, pendidikan formal dan informal ditujukan menambah stok pengetahuan (kedalaman terhadap bidang yang ditekuni), bukan sekadar gelar kesarjanaan.

Yang ketiga, insentif kelembagaan inovasi mesti lebih besar ketimbang aturan main spesialisasi, baik pada lingkup negara, korporasi, maupun komunitas. Yang keeempat, alokasi dan jenis kegiatan di dalam mata anggaran publik dirombak supaya menghasilkan inovasi, bukan semata-mata bersandar pada Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). Yang kelimanya adalah, institusi pendidikan dan riset menjadi jangkar ekonomi. Institusi pendidikan memimpin dan mendorong arah pembangunan ekonomi.

Tepat pada titik inilah pekerjaan rumah transformasi ekonomi tengah menanti di Indonesia. Data menunjukkan, jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah dibanding negara lain. Jumlah peneliti setara penuh waktu per satu juta penduduk di Indonesia hanya sebanyak 216 pada tahun 2018, sedangkan Cina dan Rusia jumlah penelitinya masing-masing berurutan sebanyak 1.307 dan 2.784 per satu juta penduduk pada tahun 2018. Indonesia tertinggal jauh puluhan kali lipat dibanding ketersediaan peneliti di Jepang dan Korea Selatan pada tahun 2018, yakni berurutan sebanyak 5.331 dan 7.980. (UNESCO Institute for Statistics, 2016–2018).

Demikian pula, ketersediaan ilmuwan dan insinyur yang diketahui dari persentase lulusan pendidikan tinggi di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) di Indonesia juga masih rendah. Persentase lulusan bidang STEM di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 18,62%; 2017 sebanyak 18,55%; dan 2018 meningkat menjadi 19,42%. Situasi ini tergolong rendah dibandingkan negara anggota G20, seperti India dan Rusia pada tahun 2018 berurutan sebanyak 32,65% dan 31,06% (Education Statistics World Bank, 2016–2018).

Kondisi itulah yang menjadi penyebab jumlah paten di Indonesia juga belum banyak. Pada tahun 2020 jumlah paten di Indonesia hanya 1.309, sementara itu jumlah paten di Brasil pada tahun yang sama mencapai 5.280, India 23.141, Amerika Serikat 269.586, dan Tiongkok bahkan telah mencapai 1.344.817 aplikasi paten. (World Intellectual Property Organization 2021).

Implikasi dari faktor-faktor tersebut menyebabkan inovasi belum menjadi praktik keseharian dalam banyak lapangan kehidupan, khususnya di bidang ekonomi. Dalam laporan bertajuk Global Innovation Index (GII) 2021 yang dirilis oleh The World Intellectual Property Organization (WIPO), disebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat empat terbawah negara inovatif di Asia Tenggara. Ranking indeks inovasi global Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Brunei. Padahal slogan populer hari ini adalah inovasi atau mati.

Oleh karena itu, salah satu yang wajib didorong ke depan adalah peningkatan pengeluaran domestik bruto untuk Research and Development/R&D (GERD) sebagai persentase dari PDB yang masih sangat rendah. Berdasarkan data UNESCO Institute for Statistics (2018), GERD Indonesia hanya 0,23% pada 2018. Intensitas investasi penelitian dan pengembangan di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara industri maju, seperti Korea Selatan yang telah berinvestasi sebesar 4,81%; Jepang sebesar 3,26%; dan Amerika Serikat sebesar 2,84% dari PDB-nya pada tahun 2018.

Perkembangan global yang sarat dengan perkembangan teknologi tersebut juga terpantul dalam perubahan peta korporasi raksasa global. Pada dua dekade lalu, perusahan kakap dunia didominasi oleh korporasi yang berbasis sumber daya alam (misalnya pertambangan) dan makanan-minuman (seperti Coca Cola dan Pepsi). Namun, saat ini 9 dari 10 perusahaan terbesar di dunia adalah badan usaha yang berbasis teknologi informasi, seperti Apple, Microsoft, Amazon, Google, Facebook, Tencent, dan Alibaba. Hanya satu saja korporasi yang berbasis SDA (minyak) masuk 10 besar, yaitu Saudi Aramco. (Brett King dan Richard Petty, 2021).

Jadi, kita sekarang berada dalam abad teknologi informasi. Pilihan model pembangunan menjadi amat terbatas, yakni mengikuti gelombang perubahan teknologi agar bisa mencapai kemajuan dan kesejahteraan, atau menjalankan pembangunan dengan cara yang biasa (tradisional) sehingga makin ketinggalan dan memproduksi kemelaratan.

Pemerintah sangat menyadari hal ini, sehingga seluruh sumber daya kebijakan, anggaran, dan pelaksanaan pembangunan dikerahkan untuk memastikan agar peningkatan mutu sumber daya manusia terus terjadi. Peningkatan keterampilan digerakkan, salah satunya lewat Kartu Prakerja dan BLK Komunitas; penyediaan dana abadi riset; beasiswa mahasiswa di dalam dan luar negeri dinaikkan, juga pertukaran pelajar;, fasilitas digitalisasi, misalnya pembangunan serat optik; dan masih banyak lagi.

Mengakhiri sambutan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal terkait isu perkembangan teknologi dan abad perubahan ini kepada para mahasiswa, khususnya mahasiswa Univesitas Indonesia. Pertama, kuasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan baik. Ilmu pengetahuan adalah bahasa kemajuan. Tanpa pengetahuan, kita akan selalu menjadi bangsa pengekor, bukan pencipta.

Kedua, perubahan selalu berimpit dengan krisis. Krisis pada semua bidang akan makin kerap terjadi. Inovasi menjadi satu-satunya kesempatan terbaik untuk memitigasi perubahan. Gunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai untuk menciptakan inovasi tiada henti.

Yang ketiga, bekali kemampuan diri dengan kapasitas kewirausahaan. Ilmu pengetahuan dan inovasi akan memiliki efek yang luar biasa bagi perubahan masyarakat apabila dikaitkan dengan dunia usaha. Kewirausahaan akan menjadi medium inovasi untuk membiakkan produk dan lapangan kerja. Itulah bahan bakar utama kesejahteraan.

Mahasiswa ialah pemilik masa depan. Generasi akan terus berganti, demikian pula para pemimpin bangsa. Indonesia akan makin gemilang bila pemilik masa depan telah menyiapkan diri sejak dini dengan menguasai ilmu pengetahuan secara memadai, juga pengalaman yang mencukupi. Jangan lupa pula untuk terus membekali diri dengan akhlak yang mulia (akhlakul karimah) agar ilmu pengetahuan menjadi sumber keberkahan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan inayah-Nya, dan meridai segala ikhtiar kita. Terima kasih.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
***