New York-wapresri.go.id–Saat menyampaikan pidatonya pada Pertemuan Tingkat Tinggi The Economic and Social Council (ECOSOC) tentang Pembiayaan Agenda 2030 Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Ecosoc Chamber gedung PBB, New York, Senin sore pukul 15.00 waktu setempat, 24/9 , Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK) mengatakan saat ini, negara-negara berkembang menghadapi tantangan serius dari arus keluar modal dan depresiasi mata uang. Kondisi seperti itu tidak hanya berpengaruh negatif terhadap prospek pertumbuhan negara-negara ini, tetapi juga agenda pembangunan jangka panjang mereka. Kesenjangan pendanaan untuk mencapai SDGs sangat besar.

“Kita harus menemukan cara untuk mempersempit celah yang semakin berkembang ini,” ujarnya.

Wapres JK mengungkapkan bahwa untuk sebagian besar negara berkembang, mengandalkan anggaran publik saja tidak akan cukup, termasuk di Indonesia. Setidaknya, kata Wapres JK membutuhkan sekitar USD 460 miliar untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur untuk periode 2015-2019.

Soal untuk mempersempit kesenjangan, terang Wapres JK, telah memobilisasi sumber daya keuangan dari berbagai sumber lain, baik dari sektor publik dan swasta, domestik dan internasional.

Dalam hubungan ini, lanjutnya, Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain menciptakan dan mempertahankan iklim ekonomi yang kondusif untuk diversifikasi dan peningkatan sumber daya keuangan.

“Untuk tujuan ini, Indonesia telah melakukan sejumlah strategi,” jelasnya.

Pertama, kata Wapres JK, Indonesia sedang melakukan langkah-langkah moneter dan fiskal yang cepat tanggap. Hal ini ditujukan untuk mempromosikan ketahanan dan pertumbuhan ekonomi bersama.

Kedua, lanjutnya, untuk meningkatkan partisipasi investor domestik dan asing, pemerintah Indonesia telah menempatkan kebijakan dan kerangka hukum yang diperlukan. “Misalnya, peraturan presiden dikeluarkan untuk menjamin tingkat pengembalian tetap bagi investor,” paparnya.

Kemitraan Pemerintah Swasta juga dipromosikan melalui skema pembiayaan investasi infrastruktur non-negara anggaran, atau PINA. Skema tersebut saat ini sedang dikembangkan untuk mendanai sebagian besar proyek infrastruktur Indonesia.

Ketiga, terang Wapres JK, untuk meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia, pemerintah Indonesia telah mempertahankan upaya untuk lebih meningkatkan kinerja birokrasi Pemerintah.

“Ini termasuk perjuangan kami yang berkelanjutan melawan korupsi dan proses birokrasi yang lebih baik,” ucapnya.

Keempat, tutur Wapres JK, untuk menciptakan pembiayaan inovatif untuk pembangunan, Indonesia mengeksplorasi berbagai metode, termasuk melalui peluncuran peta jalan untuk mengembangkan keuangan Islam lebih lanjut.

Ada potensi besar dalam pembiayaan Islam untuk mendukung pelaksanaan SDG, termasuk untuk keperluan infrastruktur,” paparnya.

Dan kelima, kata Wapres JK, untuk memastikan pendekatan yang seimbang, upaya pengembangan dan penyediaan sumber daya keuangan tersedia tidak hanya di daerah pertumbuhan, tetapi juga di daerah pedesaan, kurang berkembang dan perbatasan.

 “Hanya dengan menghubungkan dan memberdayakan mereka yang terjauh di belakang, akan kami pastikan bahwa tidak ada yang tertinggal,” tuturnya.

Mengakhiri pidato singkatnya, Wapres JK, menyatakan bahwa secara keseluruhan, Indonesia telah mengembangkan kebijakan untuk melindungi perekonomiannya dari aliran modal yang tidak stabil. Indonesia juga telah melibatkan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya dalam kemitraan yang efektif dan saling menguntungkan.

SDGs, kata Wapres JK, hanya dapat dicapai ketika mereka bermanfaat bagi semua, dan tidak hanya beberapa.

“Memang, pengalaman kami unik, dan mungkin tidak sepenuhnya direplikasi untuk tujuan negara lain. Namun, pelajaran ini mungkin berharga dalam menyoroti perlunya negara berkembang untuk mendiversifikasi sumber mereka untuk membiayai SDG,” pungkas Wapres JK. (RN, KIP Setwapres).